Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ada Apa dengan Putu dan Sjamsul?

Pegawai BPPN yang mengelola rekening Sjamsul Nursalim dimutasikan. Benarkah hal ini dilakukan agar keringanan utang bagi bos Gajah Tunggal itu bisa direalisasi?

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tampaknya BPPN tak jera-jera bermain api dengan konglomerat. Api kecil yang meletup gara-gara penjualan Indomobil belum padam, kini tersembul api baru yang bersumber pada keresahan di kalangan karyawan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Musababnya adalah perombakan personel di beberapa posisi penting yang ditengarai berbau korupsi dan kolusi. Kecurigaan merebak karena orang-orang yang tersingkir adalah karyawan yang tadinya mengelola rekening dan perusahaan milik Sjamsul Nursalim di BPPN. Contohnya Irsan Amir, salah satu ketua Divisi Asset Management Investment (AMI). Sebelumnya ia memegang rekening Sjamsul, tapi sekarang "dibuang" menjadi salah satu kepala kelompok di Bagian Risk Management. Nasib lebih jelek menimpa Dira Muchtar. Pegawai Asset Management Credit (AMC) yang tadinya menangani Dipasena?tambak udang milik Sjamsul di Lampung?ini dicopot, kemudian dipindah ke Risk Management tanpa pekerjaan yang jelas. Sementara karyawan yang "kaku" terhadap Sjamsul didepak, nah, yang membina hubungan dekat dengan bos kelompok Gajah Tunggal itu karirnya melesat bak meteor. Tengoklah peruntungan seorang karyawan wanita yang pernah menangani Gajah Tunggal?perusahaan ban milik Sjamsul. Belum lama ini kedudukannya melompat ke posisi yang tergolong "basah" lantaran ikut menjadi menjadi penentu perusahaan yang ingin menjadi konsultan BPPN. Demikian pula halnya dengan seorang karyawan lain, seorang bekas manajer senior Delloitte Touche Tohmatsu (DTT) yang dipromosikan menjadi unsur pimpinan teras. Untuk diketahui, DTT merupakan konsultan PT Tunas Sepadan Investama?induk per-usahaan-perusahaan milik Sjamsul yang diserahkan ke BPPN. Kabarnya, karyawan ini pula yang kini diserahi tugas mengelola rekening kepunyaan Sjamsul di agen penyehatan perbankan itu. Apakah semua demosi dan promosi ini ada kaitannya dengan sebuah konspirasi atau ternyata kebetulan belaka? Sulit diklarifikasi karena berbagai karyawan yang dimintai keterangan memilih tutup mulut. Kendati Sjamsul bermukim di Singapura, kepiawaiannya dalam melobi rupanya terus-menerus diasah. Konglomerat yang dikabarkan sakit-sakitan itu berupaya memperoleh keringanan pembayaran utang Rp 28,4 triliun. Dispensasi ini sangat diharapkannya, baik dalam bentuk potongan bunga maupun perpanjangan waktu pembayaran utang. Ternyata baru sekarang keinginan Sjamsul akan terwujud. Betapa tidak. Ketua BPPN I Putu Gde Ary Suta telah mengisyaratkan untuk memberi keringanan utang bagi semua konglomerat, termasuk Sjamsul, dalam bentuk perpanjangan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS). Hanya ada cacat, karena Sjamsul masih terlibat sengketa dengan BPPN menyangkut pembayaran utang di muka secara tunai (upfront cash). Menurut MSAA, ia mesti membayar kontan ke pemerintah Rp 1 triliun. Utang itu, menurut Sjamsul, sudah dibayarnya. Tapi, di mata BPPN, ia baru membayar tunai Rp 337 miliar. Sisanya berupa deposito dan pesangon untuk karyawan BDNI?yang oleh BPPN tak dihitung sebagai pembayaran, karena me-rupakan kewajiban pemegang saham. Bila sengketa itu terus menggayut, Sjamsul bisa-bisa tak kebagian perpanjangan PKPS yang diidam-idamkannya selama ini. Tapi ia pun akan bersorak girang kalau bisa memperoleh surat asli yang menunjukkan bahwa ia sudah membayar tunai kewajibannya. Dan caranya? Ya, surat tersebut harus dicari dan "ditukangi" oleh pemegang rekeningnya di BPPN. Untuk itu Putu sudah memberi lampu hijau, dengan alasan yang terkesan aneh. "Surat itu harus ditemukan untuk membujuk Sjamsul agar mau meneken perjanjian pembayaran utangnya," katanya. Tapi Irsan tak mau diajak kongkalikong untuk menemukan surat tersebut. Karena itulah, konon, ia dicopot. "Ia dinilai tak cocok melaksanakan misi baru BPPN dalam memberikan keringanan utang kepada konglomerat," kata sumber TEMPO. Sikap Putu yang begitu lunak terhadap Sjamsul, kabarnya, berkat peran Wismoyo Arismunandar. Jenderal bintang empat itu awal Januari lalu diangkat sebagai Presiden Komisaris Dipasena. Konon, Wismoyolah yang menjadi pelobi bagi Sjamsul agar mempengaruhi Putu. Untuk jasanya itu, Wismoyo yang Ketua KONI itu memperoleh sebuah mobil BMW. Namun Wismoyo menampik disebut sebagai pelobi. Ia malah mengungkapkan bahwa yang lebih mengenal Sjamsul adalah Putu, bukan dirinya. Dan sebagai mantan perwira tinggi, ia rupanya merasa cocok dengan posisi barunya di Dipasena. "Ini kan masa krisis. Yang paling menguasai manajemen krisis adalah militer, karena terbiasa untuk perang," ucapnya gagah. Mengenai mobil BMW, Wismoyo merasa wajar menerimanya sebagai seorang presiden komisaris. "Anak buah saya saja jadi komisaris di Bank BNI malah dapat Mercedes," katanya membandingkan. Wakil Direktur Eksekutif Gajah Tunggal, Chatarina Widjaja, juga membantah peran Wismoyo dalam urusan lobi. Soal BMW? "Kendaraan yang digunakan direksi dan komisaris," ujarnya menjelaskan, "merupakan fasilitas untuk menjalankan tugasnya masing-masing." Nugroho Dewanto, Gita Widya Laksmini, Rommy Fibri, Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus