Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perpindahan kepemilikan saham Bank Central Asia (BCA)?dari pemerintah kepada pemenang tender, yang akan diumumkan dalam waktu dekat?tak hanya merisaukan karyawannya, yang khawatir terkena PHK, tapi juga berbagai pihak di luar BCA. Sejumlah pengamat pun menyuarakan keberatannya atas penjualan BCA yang dulu dimiliki oleh keluarga Liem Sioe Liong itu. Yang paling keras melancarkan protes adalah Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Beppenas), Kwik Kian Gie.
Sumber dari ketidaksetujuan mereka adalah pembayaran bunga obligasi rekap di BCA. Sebagai penyelenggara tender, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya terfokus pada bagaimana menjual 51 persen saham pemerintah di BCA, tanpa mempersiapkan skenario khusus yang menyangkut obligasi rekap. Secara sederhana bisa dikatakan begini: dari penjualan BCA, pemerintah memperoleh Rp 5 triliun-6 triliun, tapi pelepasan saham ini tidak menghapus kewajiban pemerintah untuk membayar bunga obligasi rekap BCA sebesar Rp 9 triliun-10 triliun per tahun. Dalam hal ini BPPN terkesan ceroboh sekali dan itulah yang disesali banyak orang. Implikasinya jelas, pemerintah kehilangan BCA, tapi tetap saja menyetor pembayaran bunga obligasi ke bank tersebut. Nah, apakah ada yang lebih konyol dari itu?
Tapi proses penjualan saham BCA tak bisa dihentikan di tengah jalan, karena akibatnya bisa semakin menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Investor asing juga akan kehilangan minat untuk mengikuti tender berikutnya, padahal masih banyak saham bank di tangan pemerintah yang bagaimanapun harus dilepas. Dalam waktu dekat ini, misalnya, akan dijual saham pemerintah di Bank Niaga dan Bank Danamon. Selain itu, pemerintah juga akan menjual belasan BUMN.
Untuk penjualan bank-bank rekapitalisasi yang lain, beberapa praktisi keuangan mengusulkan model penjualan saham yang berbeda dengan BCA. Pengamat pasar modal Dandossi Matram berpendapat, selain divestasi di bank-bank rekap, pemerintah seharusnya berusaha mengurangi beban bunga obligasi. Dengan obligasi rekap Rp 435 triliun, pemerintah tahun ini mesti menganggarkan Rp 59 triliun. Belum lagi jika obligasi itu jatuh tempo. Tahun depan surat utang yang jatuh tempo memang hanya Rp 14 triliun, tapi tahun 2003 melonjak jadi Rp 75 triliun.
Menurut Dandossi, beban bunga obligasi dapat dikurangi dengan cara memberi kesempatan kepada bank-bank rekap untuk mengakuisisi bank rekap yang lain. Pemerintah memang tidak akan mendapatkan dana tunai, tapi model ini memiliki banyak ke-lebihan daripada divestasi biasa. Dari sisi harga, cara ini bisa menghasilkan penjualan yang tinggi. Dengan catatan, rasio kecukupan modal (CAR) bank pembeli tidak berkurang dan membahayakan bank itu sendiri. Dan yang pasti, beban bunga obligasi pada bank pembeli akan berkurang. "Penghematan ini bisa dianggap sebagai setoran," kata Dandossi.
Model ini pernah direncanakan oleh Bank Mandiri, yang berniat mengakuisisi Bank Internasional Indonesia (BII). Pada Agustus tahun lalu, Direktur Utama Mandiri, E.C.W. Neloe, mengatakan bahwa pihaknya akan membeli BII dengan obligasi rekap. "Kalau dengan tunai, kita tak punya uang," katanya. Namun rencana ini batal karena pemerintah memilih melakukan rekap kedua terhadap BII. Menurut Neloe, cara ini lebih menguntungkan tapi harus tetap dilihat kekuatan bank pembeli dan apa alasan pembelian tersebut. "Kalau tidak kuat, percuma saja. Nanti malah jadi buruk," ia menambahkan.
Analis perbankan Mirza Adityaswara melihat bahwa cara itu memang bisa digunakan. Tapi dia mengingatkan bahwa ada banyak hal yang mesti diperhatikan. Kapitalisasi pasar bank-bank rekap di Indonesia sangat kecil, sehingga pembelian dengan obligasi rekap justru akan merepotkan bank pembeli, karena CAR-nya bisa turun. Model ini juga akan mengacaukan konsolidasi perbankan di Indonesia. Dalam soal penjaminan, misalnya. Jika bank itu dibeli asing, penjaminan akan beralih ke investor karena mereka sudah meneken letter of comfort. Hal yang sama akan sulit dilakukan jika pembelinya bank lokal. "Saya kira divestasi tetap lebih bagus," katanya.
Masalah ini muncul gara-gara pemerintah tak konsisten. Pada model rekap bank yang asli, hasil penjualan aset di BPPN mestinya dibelikan obligasi rekap di bank asal, sehingga jumlahnya berkurang. Tapi hasil penjualan itu dimasukkan ke anggaran. Akibatnya, jumlah obligasi di bank rekap tak berkurang, begitu pula beban bunganya. Semua jadi lebih buruk karena aset yang ada di BPPN juga menyusut. Semula nilai bukunya Rp 640 triliun, tapi kini nilai jualnya diperkirakan cuma Rp 167 triliun.
Lalu bagaimana mengurangi beban obligasi? Menurut Mirza, pemerintah harus memperbaiki kondisi perekonomian, politik, sosial, dan keamanan. Jika kondisinya membaik, rupiah akan stabil, sehingga inflasi akan terkendali dan bunga bisa diturunkan. Pada saat kondisi itu tercapai, pemerintah bisa me-roll over obligasi yang jatuh tempo dengan bunga yang lebih rendah. Cara ini lebih aman walaupun makan waktu lebih lama.
M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo