Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memo dan Misteri Tender BCA

Babak akhir penjualan saham BCA masih diwarnai perang opini. BPPN diduga berpihak, dan Oversight Committee menegur lewat memo.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Babak pertama tender Bank Central Asia (BCA) telah menampilkan dua finalis: Farallon Capital Management dan Standard Chartered Bank (Stanchart). Dua calon dari dalam negeri, yakni konsorsium GKBI dan konsorsium Bank Mega, gugur dalam drop dead test. Uji terakhir ini antara lain menyangkut keterkaitan dengan pemilik lama, kualitas pemimpin konsorsium, kemampuan menyediakan standby Letter of Credit senilai US$ 50 juta, dan beberapa yang lain. Di sinilah kedua investor lokal itu gagal. Konsorsium GKBI dianggap bukan lembaga keuangan, sementara Bank Mega dipertanyakan kemampuan penyediaan dananya. Tapi pertandingan belum usai. Bagi kedua finalis, masih ada waktu 1-2 pekan untuk memainkan trik-trik agar bisa mendapatkan pohon rindang berbuah rupiah yang bernama BCA. Pengumuman pemenang diharapkan bisa dilakukan pekan depan. Kabarnya, Stanchart menyodorkan revisi mengenai term and conditions (syarat-syarat pembayaran) dalam perjanjian pembelian (shares purchase agreement) 51 persen saham pemerintah di BCA. Semula, dalam penawaran final yang diajukan 28 Januari lalu, Stanchart dinilai banyak mengajukan persyaratan yang memberatkan pemerintah. Kini bank asal Inggris itu konon memperlunak persyaratan dalam revisi yang diajukan 21 Februari lalu. Tujuannya bisa di-tebak, yaitu agar posisinya lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya. Sumber TEMPO mengungkapkan bahwa yang dihapus Stanchart dalam persyaratan yang baru antara lain penempatan 15 persen dana hasil transaksi di escrow account (rekening bersama) selama dua setengah tahun dan management fee 3 persen dari pendapatan BCA. Selain itu, Stanchart tetap akan melakukan pembayaran 51 persen saham BCA itu bertahap sebanyak dua kali. Tapi syarat ini tidak diikuti embel-embel "tidak ada kegagalan pembayaran (no default) bunga obligasi". Apakah tiga syarat yang berlebihan itu memang diajukan Stanchart atau tidak, belum ada kejelasannya hingga kini. Namun Chief Executive Officer (CEO) Stanchart Indonesia, Ray Ferguson, membantah keras soal itu. "Kami tidak mengajukan persyaratan seperti itu," sangkalnya. Stanchart memang pantas khawatir. Pesaingnya terlihat lebih cerdik. Konsorsium asal Amerika Serikat itu memang kalah dalam soal harga dan kualitas lembaga. Stanchart mengajukan harga Rp 1.780 per lembar, sementara Farallon Indonesia lima rupiah lebih rendah. Dilihat dari kualitas lembaga, Stanchart juga unggul jauh karena dia lembaga perbankan yang punya pengalaman panjang. Tapi, dalam term and conditions, Farallon Indonesia unggul mutlak. "Dia tidak neko-neko (berbuat aneh-aneh)," kata sumber TEMPO. Bahkan, dalam pembayaran pun, Farallon bersedia membayar tunai. "Kita akan langsung menyediakan US$ 530 juta," kata Raymond Zage III, menjanjikan. Farallon juga telah mengajukan pertanyaan resmi kepada BPPN mengenai revisi itu. Zage sendiri sudah bertemu dengan para petinggi BPPN, Senin pekan lalu. Sekeluar dari pertemuan yang berlangsung selama empat jam itu, wajah Zage kelihatan gusar. Tak jelas apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu. Namun Farallon sempat menyebut-nyebut kemungkinan untuk mundur dari tender ini. Tampaknya calon investor dari Amerika itu kecewa dengan tingkah polah BPPN, yang terkesan memberi angin pada Stanchart, pesaingnya. BPPN sendiri dituding banyak kalangan sudah memihak Stanchart jauh sebelum tender dilakukan. "Ini seperti guru yang membiarkan muridnya mengubah jawaban setelah ujian selesai," kata sumber TEMPO. Pernyataan itu dibenarkan Rosan P. Roeslani, Presiden Direktur Rifan Financindo Securities, anggota konsorsium GKBI. "BPPN tidak memberikan perlakuan yang sama kepada calon investor," katanya. Komite Pemantau Pelaksanaan Tugas (Oversight Committee/OC) BPPN sendiri sudah mengajukan memo kepada Kepala BPPN, I P.G. Ary Suta. Pada prinsipnya, Komite Pemantau Pelaksanaan meminta BPPN agar tender dilakukan secara transparan. "Yang penting bukan hasil akhirnya, melainkan prosesnya," demikian ditulis dalam memo yang disampaikan pada Rabu pekan lalu. Sayangnya, memo ini tidak bisa mempercantik citra BPPN yang telanjur coreng-moreng. Namun pernyataan keras itu diperlukan juga untuk menanggapi berbagai rumor yang menggunjingkan betapa BPPN telah memberi peluang kepada calon investor, khususnya untuk revisi. Komite yang dipimpin Mar'ie Muhammad itu minta agar BPPN berpegang pada final bid pada 28 Januari lalu, dan juga menyarankan agar perubahan term and conditions dilakukan setelah pemenang ditentukan. Sejauh ini tak ada tanggapan, konon pula penjelasan yang terang-benderang, dari BPPN. Juru bicara BPPN, Suryo Susilo, juga tak bersedia menjawab pertanyaan mengenai rumor yang berseliweran itu. Dan kabut misteri yang membungkus tender BCA, lagi-lagi, membuat masyarakat menaruh syak wasangka. M. Taufiqurohman, Iwan Setiawan, Dewi Rina, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus