Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang terakhir, pertolongan datang dari The Federal Reserve akhir Januari Lalu. The Fed memberikan sinyal bahwa tren kenaikan bunga sudah berakhir. Selain itu, program pemangkasan aset yang membuat likuiditas dolar Amerika Serikat mengerut bakal melambat. Dua beleid itu ibarat tonikum penguat pasar finansial negara berkembang, tentu termasuk Indonesia.
Kurs rupiah langsung menguat karena hal itu, yakni menjadi di bawah 14 ribu per dolar Amerika Serikat. Dolar pun masuk ke Indonesia dengan kencang. Sejak awal tahun hingga 6 Februari lalu, ada tambahan investasi sekitar Rp 30 triliun yang masuk ke berbagai surat berharga negara. Di pasar saham, hingga Jumat pekan lalu, investor asing secara bersih melakukan pembelian senilai Rp 14,3 triliun sejak awal tahun.
Jika bunga The Fed tidak naik dan likuiditas dolar melimpah, Indonesia memang pantas menjadi pilihan untuk membiakkan uang. Negeri ini punya rekam jejak ekonomi yang baik. Laju inflasi, misalnya. Selama empat tahun berturut-turut laju inflasi di bawah 4 persen. Sepanjang 2018, inflasi tahunan cuma 3,1. Inflasi yang relatif rendah ini berlangsung di tengah pertumbuhan ekonomi yang stabil 5,18 persen pada 2018—tertinggi sejak 2014.
Kemampuan pemerintah menjaga defisit anggaran juga sangat impresif. Realisasinya pada 2018 hanya 1,76 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), jauh lebih rendah ketimbang 2,19 persen yang dianggarkan.
Sayangnya, di tengah mencorongnya berbagai indikator ekonomi itu, ada satu persoalan yang hingga kini belum ada solusinya. Negeri ini masih tekor saat bertransaksi dengan masyarakat internasional: dolar yang masuk dari seluruh perdagangan barang dan jasa jauh lebih kecil nilainya daripada yang keluar. Inilah yang disebut dengan defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Untuk kuartal IV 2018, CAD tercatat 3,57 persen terhadap PDB atau senilai US$ 9,1 miliar. Ini defisit kuartalan yang sangat besar.
Otoritas keuangan Indonesia selalu berusaha meyakinkan pasar: tak perlu resah akan CAD sebesar itu. Alasannya, toh, masih ada aliran dana investasi portofolio yang masuk sebagai pengganjal. Itu ada benarnya. Karena masuknya dana itu, neraca pembayaran Indonesia pada akhirnya positif. Tapi neraca pembayaran yang bersandar pada aliran dana investasi portofolio sungguh sangat rapuh. Sebab, CAD yang terlalu besar juga dapat menjadi penghalang. Indonesia bisa dianggap tak layak lagi sebagai lahan ber-investasi meski inflasinya rendah, pertumbuhannya stabil, dan defisit anggarannya terkendali.
Di pasar finansial ada sebuah patokan: CAD suatu negara sebaiknya tidak melewati batas 3 persen terhadap PDB. Jika CAD melampaui batas itu, berarti risiko meningkat. Indonesia tidak lagi menjadi tujuan investasi terbaik dibanding negara lain. Aliran dana bisa pampat atau bahkan berbalik arah keluar dari Indonesia. Kalaupun manajer investasi tetap ingin membawa uangnya ke Indonesia, pasti ada permintaan imbal hasil yang lebih besar. Pada akhirnya, pemerintah harus membayar bunga yang lebih besar pula jika ingin menjual surat utang.
Yang juga patut menjadi catatan penting: besaran CAD Indonesia kini sangat bergantung pada satu hal yang sama sekali berada di luar kendali pemerintah, yakni harga minyak dunia. Tahun lalu, karena impor minyak mentah dan bahan bakar minyak terus meningkat, dari perdagangan minyak dan gas saja Indonesia harus tekor US$ 12,4 miliar.
Jika harga minyak bumi naik, CAD bakal turut meningkat. Dan rentetan akibatnya sudah bisa ditebak: kurs rupiah bakal tergerus. Maka kita jangan sampai lengah meskipun The Fed tidak menaikkan bunga dan tidak agresif lagi menyedot likuiditas dolar. Jika ingin selamat, perhatikanlah dengan saksama naik-turunnya harga minyak.
Kurs
Peringkat Kredit Indonesia​
Standard & Poor's
Rating ​BBB- Outlook​ Stable
Fitch Ratings
​Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service ​
Rating Baa2 Outlook ​Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating ​BBB Outlook ​​Stable
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo