Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Operasi Gagal Ransel Hitam

Rencana tangkap tangan KPK di Hotel Borobudur berantakan setelah anggota tim tepergok di lapangan. Berujung pada penganiayaan.

8 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi solidaritas pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi melawan teror, di gedung KPK, Jakarta, Kamis pekan lalu./TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Delapan jam seusai peristiwa penganiayaan menimpa dua penyelidik lembaganya di Hotel Borobudur, Jakarta, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menerjunkan tim ke lokasi kejadian. Mereka menuju hotel di bilangan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, itu guna mengumpulkan barang bukti pengania-yaan pada Sabtu dua pekan lalu tersebut. “Kami kirimkan tim ke sana untuk meminta rekaman CCTV di hotel tersebut,” ujar Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK, Kamis pekan lalu.

Saat datang ke lokasi, tim hanya bisa gigit jari. Sebelas kamera pengintai atau CCTV di sekitar area lobi hotel diklaim dalam kondisi rusak. Saut mengatakan tim yang ditugasi ke sana mendapat informasi dari staf Hotel Borobudur bahwa kamera pengintai hotel dalam perbaikan dan programnya diformat ulang. “Pihak Borobudur menyebut CCTV-nya telah beberapa hari tidak berfungsi dan dilakukan format atas CCTV mereka,” kata Saut.

Manajer Pemasaran dan Komunikasi Hotel Borobudur Rizki Permata Sari mengatakan kamera CCTV Borobudur rusak beberapa hari sebelum kejadian. Ia membantah jika kamera CCTV di Hotel Borobudur disebut sengaja dirusak atau diformat ulang untuk menghapus rekaman di dalamnya. Rizki juga berkilah tidak semua kamera pengintai hotel dalam keadaan rusak. “Ibarat channel atau jaringan, hanya channel tertentu yang rusak,” ujarnya.

Manajemen hotel, kata Rizki, mengetahui peristiwa dugaan penganiayaan itu beberapa jam seusai kejadian. Namun ia enggan membeberkan kronologi peristiwa itu dengan dalih cerita versi manajemen Borobudur telah disampaikan kepada Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, yang menangani kasus tersebut. “Kami serahkan semuanya ke Polda Metro Jaya. Kami tunggu saja seperti apa penjelasan polisi,” ucap Rizki.

Ihwal rekaman CCTV ini, penyidik Polda Metro Jaya tengah mendalaminya. Tiga saksi pertama yang diperiksa polisi terkait dengan insiden Borobudur itu adalah pegawai hotel, satu di antaranya bertugas mengawasi CCTV. Polisi juga sudah menyita kamera pengintai hotel. “CCTV itu kami kirim ke Laboratorium Forensik untuk dianalisis,” kata juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono.

SABTU malam dua pekan lalu, tim penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang terbagi dalam beberapa tim bergerak ke Hotel Borobudur. Di dalamnya terdapat tim pemantau, penyelidik, dan eksekutor. Mereka menuju Lapangan Banteng karena lembaganya menerima laporan akan ada indikasi penyerahan uang atau penyuapan pejabat Pemerintah Provinsi Papua kepada pejabat di Jakarta.

Dua penegak hukum di KPK menceritakan bahwa anggota tim yang dikirim ke Hotel Borobudur malam itu semuanya berasal dari unsur sipil. “KPK menugasi mereka untuk memastikan validitas informasi dan kepentingan penegak hukum,” ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah, Jumat pekan lalu. Tapi Febri tidak bersedia membuka laporan yang masuk ke lembaganya itu. Ia hanya memastikan informasi itu terkait dengan kegiatan Pemerintah Provinsi Papua.

Malam itu, Gubernur Papua Lukas Enembe sedang menggelar pertemuan tertutup dengan Direktur Perencanaan Anggaran Daerah Kementerian Dalam Negeri Arsan Latif. Hadir dalam rapat di lantai 19 Hotel Borobudur itu di antaranya beberapa kepala dinas Pemerintah Provinsi Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua Yunus Wonda, dan beberapa anggota Dewan. Rapat ini dimulai pada pukul delapan malam, yang dipimpin oleh Lukas.

Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Papua Gilberd R. Yakwart mengatakan agenda pertemuan itu adalah Gubernur Papua dan rombongan hendak mengetahui hasil evaluasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Papua oleh Kementerian Dalam Negeri. “Kami ingin mengetahui seperti apa hasil evaluasi dari Kemendagri terhadap RAPBD 2019,” kata Gilberd.

Juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar Baharuddin, mengatakan rapat itu didahului kunjungan beberapa pejabat Papua ke Kementerian Dalam Negeri pada Jumat siang. Mereka datang untuk menanyakan hasil evaluasi RAPBD Papua 2019 di Direktorat Perencanaan Anggaran Daerah. “Hasil evaluasi itu sudah selesai. Ada aturan dalam tujuh hari harus dilaksanakan oleh pemerintah provinsi,” ucap Bahtiar.

Bahtiar mengatakan rapat di Hotel Borobudur adalah kegiatan resmi yang diprakarsai Pemerintah Provinsi Papua. Meskipun begitu, ia juga menyatakan rapat membahas urusan dinas sebaiknya dilangsungkan di kantor Kementerian. “Seyogianya memang di kantor,” katanya.

Sekitar 30 menit menjelang pergantian hari, rapat itu tuntas. Arsan Latif meninggalkan hotel lebih dulu. Menyusul Lukas Enembe dan rombongan turun ke lobi hotel. Saat Lukas dan staf hendak naik ke atas mobilnya yang berada di depan lobi hotel, Muhammad Gilang Wicaksono, anggota tim pemantau KPK yang ditugasi memantau pergerakan pejabat Papua di lobi hotel, mengabadikan beberapa suasana di hadapannya. Ia sempat memotret Lukas dan mobil yang akan digunakan serta anggota staf Pemerintah Provinsi Papua yang dicurigai.

Saat itu posisi Gilang berada di luar gedung, tidak jauh dari detektor logam di pintu masuk hotel. Saat Gilang memotret secara sembunyi-sembunyi, seorang anggota staf Pemerintah Provinsi Papua mencurigai gerak-geriknya, lalu menghampirinya. Menurut Gilberd, para pejabat Papua curiga karena Gilang terlihat sempat mendokumentasikan aktivitas mereka di lobi hotel. “Kami curiga karena ia mengambil foto-foto tanpa izin,” ujar Gilberd.

Kemudian Gilang digiring masuk ke lobi hotel. Beberapa pejabat Papua, termasuk Ketua DPR Papua Yunus Wonda, menginterogasinya. Gilang sempat memperlihatkan identitas diri berupa surat izin mengemudi. Di situ tertulis statusnya sebagai pelajar atau mahasiswa. Tidak puas, beberapa pejabat Papua memaksa Gilang memperlihatkan isi telepon selulernya untuk memastikan apakah ia betul-betul telah memotret mereka atau tidak.

Setelah ponsel dibuka, kata Gilberd, didapati sebuah grup WhatsApp yang di dalamnya telah diunggah beberapa foto kegiatan rapat Pemerintah Provinsi Papua di lantai 19. Ada juga foto Gubernur Papua dan staf yang sedang berjalan di lobi hotel. Yang membuat mereka terkejut adalah terdapat sebuah foto disertai tulisan di bawahnya. Foto itu menampilkan seorang anggota staf Gubernur Papua sedang membawa ransel hitam. “Di situ disebutkan ‘fokus yang pakai ransel’,” ujar Gilberd.

Kalimat itu yang membuat beberapa pejabat Pemerintah Provinsi Papua berkesimpulan bahwa kegiatan mereka sedang dimata-matai dan dicurigai akan menyuap pejabat di Jakarta. Maka, kata Gilberd, beberapa orang di antara mereka marah dan kesal kepada Gilang. Tapi Gilberd berdalih luapan amarah itu tidak sampai ada pemukulan terhadap Gilang walau sempat terjadi aksi saling dorong. “Yang terjadi, ada saling dorong dan gesek-gesekan,” ujarnya.

Informasi berbeda diperoleh dari dua pejabat di KPK yang mendapat cerita dari Gilang. Keduanya mengatakan, saat Gilang dikerubuti belasan pejabat Papua, di antara mereka ada yang sempat memukul bagian muka Gilang sehingga membuat hidungnya retak. Selain memukul, ada yang mendorong dan melemparkan suatu benda ke arah Gilang. “Hidungnya retak walau tidak berdarah,” kata pejabat ini.

Karena identitas Gilang terbongkar, anggota tim KPK lain memilih putar haluan, kembali ke Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, alamat kantor KPK. Ini sekaligus menandakan operasi penangkapan malam itu tak membuahkan hasil.

Penegak hukum di KPK ini mengatakan operasi itu sudah berjalan sesuai dengan prosedur operasi standar (SOP) lembaganya. Tapi, saat akan beralih dari tahap pemantauan ke tahap eksekusi, tiba-tiba identitas Gilang terbongkar sehingga membuat rencana operasi tangkap tangan malam itu buyar di tengah jalan. “Di lingkup internal juga sedang mencari tahu kenapa operasi ini sampai ketahuan,” ujarnya.

Aksi solidaritas pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi melawan teror, di gedung KPK, Kamis pekan lalu./TEMPO/Imam Sukamto

Ia mengatakan, setelah anggota tim lain menarik diri, Fajar, ketua satuan tugas operasi malam itu, memilih bergabung dengan Gilang. Saat Gilang dikelilingi pejabat Pemerintah Provinsi Papua, Fajar menerobos masuk ke dalam kerumunan tersebut dan mengaku sebagai teman Gilang. Keduanya pun mengaku bertugas di KPK setelah kartu identitas KPK milik Gilang ketahuan. Tapi pejabat pemerintah Papua tidak percaya begitu saja sehingga tetap membawanya ke Polda Metro Jaya.

Buntut penganiayaan ini, Gilang mengadukan beberapa pejabat Pemerintah Provinsi Papua ke Polda Metro Jaya dengan dugaan melanggar Pasal 170, 211, dan 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aturan ini mengatur perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pejabat yang sedang bertugas diancam pidana lima setengah tahun penjara. Satu hari berikutnya, giliran Kepala Badan Penghubung Pemerintah Provinsi Papua Alexander Kapisa yang melaporkan Gilang ke polisi. Ia menuduh Gilang telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama.

SATU hari setelah peristiwa penganiayaan dua pegawai tersebut, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar rapat mendadak. Lima pemimpin KPK dan beberapa deputi hadir dalam pertemuan. Seorang penegak hukum di KPK yang mengetahui pertemuan ini mengatakan pimpinan mengevaluasi kelemahan dalam operasi penangkapan sehingga berujung pada kegagalan tersebut. Salah satu bentuk evaluasinya, kata dia, pimpinan menanyakan ke Bagian Penindakan mengenai proses operasi di lapangan dan tindakan setelah mengetahui identitas tim tersingkap.

Menurut sumber ini, Deputi Bidang Penindakan KPK Brigadir Jenderal Firli menjelaskan bahwa ia baru mengetahui informasi penganiayaan itu setelah membuka pesan WhatsApp, Ahad pagi. Informasi itu ia peroleh dari seorang anggota satuan pengamanan Hotel Borobudur. “Padahal saat itu pimpinan mencoba menghubungi dia, tapi HP-nya tidak bisa dikontak,” ujarnya.

Firli tidak membantah informasi ini. Ia sempat membalas konfirmasi Tempo via WhatsApp dan mengatakan baru mengetahui peristiwa itu sekitar pukul 06.30 saat ia membuka pesan WhatsApp di ponselnya. Hanya beberapa detik, Firli tiba-tiba menghapus pesan WhatsApp itu dan meralatnya. Ia pun meminta Tempo mengkonfirmasikannya kepada Febri Diansyah. “Silakan menghubungi Karo Humas KPK,” kata Firli.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang membenarkan adanya rapat tersebut. Ia mengatakan pimpinan menyimpulkan lembaganya akan melakukan beberapa upaya terstruktur dan nonstruktur untuk menyi-kapi kejadian tersebut. Pimpinan KPK juga akan menyusun teknis pola pengamanan pegawai KPK secara detail. “Ada beberapa upaya teknis detail yang akan dilakukan dalam kaitan dengan pengamanan banyak hal,” ucap Saut.

Di luar evaluasi internal, salah satu kesimpulan rapat lainnya, pimpinan KPK bersepakat agar dugaan penganiayaan terhadap pegawai KPK harus diusut tuntas. “KPK berharap pelakunya segera ditindak,” ujarnya.

RUSMAN PARAQBUEQ, FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus