Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERATUS menteri, nol kabinet. Barangkali ungkapan itu dapat melukiskan "pertikaian" Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi dengan Menteri Pertanian Bungaran Saragih soal gula impor. Hingga pekan lalu, kedua anggota kabinet itu bersitegang urat leher untuk mengegolkan keinginannya menyangkut jutaan ton gula impor yang menyerbu pasar Indonesia. "Aneh, sesama anggota kabinet kok berantem," kata Ketua Komisi III DPR, Awal Kusumah.
Silang pendapat antara Rini dan Bungaran bermula dari aksi ratusan petani tebu asal Jawa Timur, pekan lalu, yang menumpahkan satu truk tebu di halaman Kantor Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Para demonstran menuding kebijakan tarif bea masuk gula impor tak berpihak kepada nasib petani tebu. Akibatnya, gula lokal tak bisa bersaing melawan gula impor. Harga gula lokal rata-rata Rp 3.400 per kilogram, sedangkan gula impor hanya Rp 2.500 per kilogram.
Menghadapi persoalan pelik ini, Bungaran Saragih langsung memasang kuda-kuda untuk memproteksi petani tebu. "Tak ada jalan lain, gula impor harus membayar bea masuk lebih dari 110 persen," katanya. Sebenarnya, sikap Bungaran ini berubah 180 derajat dibandingkan dengan sikapnya dulu, ketika ia getol menolak bea masuk tinggi atas produk pertanian impor. Waktu itu, Bungaran masih menjabat sebagai guru besar di Institut Pertanian Bogor.
Adapun kubu Rini M.S. Soewandi memang tak setuju dengan proteksi melalui mekanisme bea masuk tinggi. "Yang harus dilindungi bukan cuma petani, tapi juga konsumen," kata bekas Direktur Utama Astra International ini. Memang, bila harga gula bisa ditekan, konsumen akan menikmati berkahnya.
Nah, Rini lalu menawarkan jalan tengah dengan menerapkan sistem "kuota tarif". Dalam sistem ini, kebutuhan gula nasional akan dihitung secara detail. Menurut catatan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, kebutuhan gula setiap tahun sekitar 3,5 juta ton. Sebanyak 50 persen dari 3,5 juta ton itu masih harus diimpor. Gula sebanyak 1,75 juta ton itulah yang boleh masuk dengan tarif bea masuk 20 persen. Bila ada importir yang tetap berminat memasukkan gula, mereka akan dikenai tarif bea masuk yang tinggi. "Ini baru usulan. Keputusannya ada di rapat kabinet," kata Rini.
Bungaran dengan cepat menolak ide Rini. Bagi doktor ekonomi dan sosiologi dari North Carolina State University di Amerika ini, bea masuk yang tinggi tak hanya menguntungkan petani tebu. "Pajak yang masuk kas negara akan bertambah," ujarnya.
Sebenarnya, persoalan tarif bea masuk gula impor merupakan persoalan lawas. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 568/KMK.01/1999, tarif impor gula mentah (raw sugar) ditetapkan sebesar 20 persen dan gula masak (refine sugar) sebesar 25 persen. Setahun kemudian, pemerintah kembali mengeluarkan keputusan yang menguntungkan importir gula. Lewat SK Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.105/2000, industri yang memerlukan gula impor mendapat fasilitas khusus dengan tarif bea masuk 0-5 persen.
Didukung permintaan yang tinggi dan harga gula impor yang lumayan rendah, tentu saja banyak yang mengadu nasib dengan memasukkan gula secara gelap. Komisi III DPR dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat, misalnya, beberapa waktu lalu berhasil menangkap basah penyelundup gula sebanyak 50 ribu ton di Pelabuhan Cigading, Banten. "Setiap tahun, sekitar 2 juta ton gula masuk secara gelap," kata Awal Kusumah, yang ikut membongkar penyelundupan di Pelabuhan Cigading.
Tapi para penyelundup gula juga tak kehabisan akal. Fasilitas tarif bea masuk 0-5 persen bagi dunia industri, misalnya, acap ditumpangi berton-ton gula yang akhirnya masuk pasar domestik. Asosiasi Gula Nasional beberapa waktu lalu melaporkan bahwa PT Yosilindo Aneka Cokelat telah mengimpor 550 ribu ton gula. Padahal kapasitas produksi maksimal perusahaan makanan ini hanya 125 ribu ton per tahun. "Itu cuma akal-akalan busuk," ujar Awal Kusumah.
Persoalan gula impor memang klasik. Di satu sisi, petani tebu marah, tapi tidak mampu memperbaiki kualitas dan efisiensi pabrik gula. Di sisi lain, pemerintah bersikap menggampangkan dengan alasan melindungi konsumen. Padahal, sebagai wasit yang baik, selain melindungi konsumen, pemerintah diharapkan "menolong" petani—satu hal yang memang tidak mudah.
Namun, untuk kepentingan jangka panjang, harus dibuatkan cetak biru pengadaan gula dalam negeri. Dengan blueprint itu, pemerintah mempersiapkan beberapa sentra penanaman tebu di luar Jawa—sehingga pasok gula lokal cukup besar dan Indonesia tak perlu menghamburkan devisa untuk mengimpor gula—atau membiarkan pemerintah daerah mengurus pengadaan gula di da-erahnya masing-masing. Dengan demikian, pemerintah pusat tak perlu pusing dan para menteri tidak perlu saling tuding seperti yang terjadi antara Rini Soewandi dan Bungaran Saragih. Adu argumentasi tentu boleh-boleh saja, tapi carilah lebih dulu jalan keluarnya.
Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo