Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ekspansi Kredit yang Mengkhawatirkan

Bank Mandiri ditengarai kurang berhati-hati dalam mengucurkan kredit ke perusahaan besar. Tapi direksi menganggap tindakannya sudah sesuai dengan prosedur.

6 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Mandiri mungkin ibarat pohon beringin, besar dan rindang. Banyak orang berteduh di bawahnya. Namun, ketika angin kencang bertiup, batangnya doyong ke kiri dan ke kanan. Belakangan ini, angin itu kian keras menerpa lantaran ekspansi kreditnya juga menggebu-gebu.

Dalam hitungan waktu yang relatif singkat, bank hasil merger empat bank pemerintah yang sakit itu diketahui telah menyalurkan kredit triliunan rupiah kepada sejumlah perusahaan besar. Sebut misalnya kredit US$ 100 juta (setara Rp 1 triliun) kepada Bumi Resources—untuk membeli tambang batu bara Arutmin—dan Rp 300 miliar kepada Trans TV.

Ada lagi kredit kepada pengusaha Yusuf Merukh sejumlah US$ 75 juta (setara Rp 750 miliar) untuk proyek pemanfaatan dan diversifikasi kelapa di Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya. Cukup? Belum. Bank Mandiri juga diketahui mengucurkan duit US$ 125 juta (setara Rp 1,25 triliun) untuk proyek Fero Nikel III milik PT Aneka Tambang, serta memberikan pinjaman senilai Rp 1,8 triliun kepada PT Domba Mas—perusahaan pembuat kacamata di Medan yang kesehatannya masih dirawat oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Pembiayaan yang dikucurkan kepada aset-aset yang sudah direstrukturisasi di BPPN bahkan disisipi aroma tak sedap. Bank Mandiri kabarnya kerap memberikan kredit dengan jumlah lebih besar dari nilai aset tersebut. Ambil contoh, perusahaan A direstrukturisasi di BPPN. Hasilnya menunjukkan nilai asetnya tak lagi US$ 1, tapi cuma US$ 0,22.

Selanjutnya, ada pihak ketiga yang membeli aset itu, tapi duitnya diperoleh dari Bank Mandiri dengan jaminan aset tersebut. Lebih dahsyat lagi, orang ini bisa "meyakinkan" Bank Mandiri bahwa nilai aset tersebut adalah US$ 0,42. Alhasil, dengan cara begitu, si pembeli mendapat keuntungan US$ 0,20.

Ada kecurigaan, pihak ketiga yang membeli aset-aset tersebut tak lain adalah para pemilik lama. Berkat restrukturisasi di BPPN, dia mendapat diskon 78 persen. Kemudian, dari kredit Bank Mandiri, ia mendapat keuntungan 20 persen. Jadi, dengan kata lain, dia berhasil "mengakali" pemerintah untuk mendapat potongan utang sampai 98 persen.

Praktek itu membuat analis perbankan Lin Che Wei jengkel. Apalagi ia mendengar Bank Mandiri sering digunakan para pemilik lama untuk membeli kembali aset-aset mereka di BPPN. Saking geregetannya, Che Wei, yang kini bekerja di Singapura, mengaku pernah "menantang" Direktur Utama Bank Mandiri, Eddy Neloe. "Saya katakan, kalau Bank Mandiri berhenti menyalurkan kredit, penjualan aset di BPPN akan tersendat," katanya.

Maka kekhawatiran kian merebak. Guyuran duit kepada sejumlah perusahaan diperkirakan akan bermuara pada kredit macet, persis seperti yang terjadi di masa lalu. Apalagi ditengarai penyaluran kredit kepada perusahaan besar biasanya menyimpan praktek kotor. "Pinjaman seperti itu biasanya dilakukan karena ada intervensi politik dan suap," kata Lin Che Wei.

Kabar tak sedap pun bertiup lantaran di tingkat bawah saja—misalnya level wilayah—ada kabar bahwa di Bank Mandiri mulai kambuh penyakit meminta "upeti" dari debitor yang ingin mendapat kredit. Untuk kredit yang jumlahnya maksimal cuma Rp 10 miliar, seorang debitor biasanya diminta memberikan komisi lima persen.

Padahal, empat tahun lalu, harga kesembronoan semacam itu membuat pemerintah harus menyuntikkan obligasi rekapitalisasi Rp 178 triliun kepada Bank Mandiri—jumlah yang mesti ditanggung rakyat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tak terbayang bila kesembronoan itu terjadi lagi dan pemerintah mesti membayar dengan menginjeksikan dana baru.

Tapi Bank Mandiri punya dalih. Berdasarkan laporan keuangan 2001, direksi justru "disarankan" mengobral kredit lebih banyak. Soalnya, hingga tahun lalu, dari Rp 190,4 triliun dana pihak ketiga yang ada, Bank Mandiri baru berhasil menyalurkan kredit Rp 48,2 triliun alias loan to deposit ratio (LDR)-nya baru 30 persen.

Hal itu membuat pemasukan dari bunga kredit cuma sekitar Rp 8,36 triliun, sementara biaya bunga mencapai Rp 24,39 triliun. Nasib baik, masih ada pemasukan bunga dari obligasi rekap sebesar Rp 23,14 triliun, sehingga pendapatan bunga bersihnya surplus Rp 7,11 triliun. Karena itu, untuk menyeimbangkan sumber penerimaan, Bank Mandiri harus lebih banyak lagi mengucurkan pinjaman.

Bahwa di sisi lain Bank Mandiri terlihat jorjoran menjaring dana pihak ketiga—misalnya lewat acara Mandiri Fiesta—hal itu lebih didorong oleh kebutuhan untuk mengubah sumber dana. Sebelumnya, dana pihak ketiga Bank Mandiri berasal dari deposito lembaga-lembaga pemerintah ataupun BUMN, yang bunganya tinggi. Nah, sekarang mereka ingin dana pihak ketiga lebih banyak berasal dari masyarakat, yang biaya bunganya lebih rendah.

Perkara kehati-hatian dalam menyalurkan kredit, Eddy Neloe menjelaskan semuanya telah dijalankan sesuai dengan prosedur. Contohnya dalam pemberian kredit kepada stasiun televisi. Selama ini, semua stasiun TV di Indonesia pernah dibiayai oleh Bank Mandiri, kecuali Indosiar. "Kami sudah membuat studi, prospeknya bagus, dan kami sudah memiliki pengalaman bahwa kreditnya lancar," kata Neloe seperti pernah dikutip Koran Tempo. Apalagi agunan yang diberikan sudah cukup berupa proyek itu sendiri ditambah aset-aset lain.

Adapun mengenai kredit kepada PT Bumi Resources, seorang pejabat Bank Mandiri mengungkapkan bahwa sekarang yang memiliki utang adalah Arutmin, bukan Bumi. Dan agunan kredit itu adalah proyek dan aset milik Arutmin. "Itu bisa saja terjadi karena Bumi melakukan merger jadi satu dengan Arutmin. Aset Bumi juga aset Arutmin," kata Soeswidijono, Kepala Humas Bank Mandiri.

Masuknya Bank Mandiri ke bidang tambang merupakan saran Boston Consulting Group (BCG). Konsultan keuangan kenamaan itulah yang menegaskan bahwa perusahaan tambang non-minyak dan gas, seperti batu bara, memiliki prospek yang bagus.

Pembiayaan kepada Arutmin, menurut Soeswidijono, bakal menjadi proyek yang menguntungkan bagi Bank Mandiri. Soalnya, tahun lalu, hasil penjualan batu bara Arutmin mencapai US$ 248 juta. Dan pendapatan sebelum pajaknya adalah US$ 56 juta. Selain itu, Bank Mandiri dipakai Arutmin dalam transaksi perdagangan, sehingga keuntungannya tak hanya berasal dari bunga. "Jadi, ini nasabah bagus," kata Soeswidijono yakin.

Tuduhan praktek patgulipat dalam penjualan aset yang direstrukturisasi di BPPN juga tegas ditampik oleh seorang pejabat Bank Mandiri yang mengurus transaksi tersebut. "Saya tahu persis harga aset tersebut dan membayarnya langsung ke BPPN," kata pejabat yang tak mau di-sebut namanya itu. Dan pembelian aset tersebut lebih banyak dilakukan untuk kemudian dikelola oleh nasabahnya sendiri.

Ia juga menambahkan, Bank Mandiri kini sedang membangun infrastruktur untuk menopang pertumbuhan kredit. "Kami menekankan tiga prinsip dalam melayani nasabah, yaitu no error, no special payment, dan no delay," ujarnya. Jadi, tak benar perlu suap agar kredit bisa mengucur? "Kalau ada yang minta suap, laporkan saja. Dia bisa kena sanksi pemecatan," katanya.

Nah, ada yang mau lapor?

Nugroho Dewanto, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus