Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Adu Kuat Pengelola Gas

PGN dan Pertagas berebut menjadi agregator gas. Penerbitan aturan tata kelola tertunda karena tak ada yang mau mengalah.

2 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno tak henti-hentinya memuji perusahaan pelat merah yang berada di bawah koordinasinya. Dalam rapat yang digelar di lantai 21 Kementerian BUMN, Senin pekan lalu, wajah Rini selalu tersenyum saat menyebutkan nama-nama perusahaan yang ia nilai turut berkontribusi membangun negara.

Ekspresi Rini agak berubah ketika menyebutkan nama PT PGN (Persero) Tbk dan PT Pertamina Gas, anak usaha Pertamina yang bergerak di sektor pengelolaan gas, yang dikenal dengan nama Pertagas. Pujian yang tadinya ia lontarkan berganti menjadi keluhan dan ungkapan kecewa. "Saya sedih. Sinergi antara PGN dan Pertagas belum lancar sampai saat ini," kata Rini.

Bukan cuma Rini yang pusing gara-gara ulah dua BUMN tersebut. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga kesal karena target mereka mengegolkan aturan tentang tata kelola gas bumi terus tertunda. Alasannya antara lain masih alotnya perdebatan para pemangku kepentingan, termasuk PGN dan Pertagas. "Masih berbeda pandangan," ucap Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Kementerian Energi Agus Cahyono.

Rencana pemerintah membenahi pengelolaan gas dalam negeri sebenarnya digagas sejak tahun lalu. Pemerintah berniat menata industri gas yang selama ini masih mengalami kendala infrastruktur. Skema pengembangan bisnisnya disamakan dengan industri minyak. Semula aturan ini akan dimasukkan dalam revisi undang-undang minyak dan gas. Namun, agar penataan bisa berjalan lebih cepat, Menteri Energi Sudirman Said memutuskan menerbitkan aturan dalam bentuk peraturan presiden pada Juni lalu. Targetnya aturan diberlakukan pada September tahun ini.

Dorongan penerbitan aturan makin kuat ketika Presiden Joko Widodo memasukkan poin itu ke paket kebijakan ekonomi jilid pertama, yang diumumkan awal September lalu. Presiden memberi tenggat, hingga akhir September, aturan harus sudah terbit. Tapi, sudah sebulan lewat dari tenggat, kementerian belum bisa memastikan kapan aturan bisa diteken Jokowi.

Rupanya, rancangan aturan ini mentok di satu poin, yakni soal rencana pemerintah membentuk badan penyangga gas atau agregator gas. "PGN dan Pertagas tidak ada yang mau mengalah," ujar seorang petinggi kementerian yang terlibat dalam perancangan aturan.

Badan penyangga dalam konsep pemerintah berfungsi menjamin ketersediaan pasokan dan menjaga harga gas nasional. Untuk itu, si agregator dibebani kewajiban membangun infrastruktur dan mengembangkan pasar pengguna gas di dalam negeri. Artinya, agar kebijakan ini bisa dijalankan, pemerintah perlu menentukan siapa yang akan ditunjuk sebagai agregator. "Di sinilah Pertagas dan PGN rebutan," kata pejabat tadi. Kedua perusahaan pelat merah itu mengaku sudah menjalankan fungsi agregator selama ini.

Rapat berlangsung hampir setiap bulan sejak Juni lalu. Berbagai pihak dan lembaga dipanggil untuk memberi pandangan tentang agregator, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), serta para pengamat migas dari dalam dan luar negeri. Rapat bahkan digelar di luar kota, dari Surabaya hingga Batam. "Tapi tetap saja buntu," ujar pejabat lain yang selalu mengikuti rapat tersebut. Sampai terakhir rapat dengan perwakilan Menteri Koordinator Perekonomian pun masih tak ada kata sepakat.

Kebuntuan ini, menurut dia, bukan berarti karena pemerintah tidak bisa memberi solusi. Pemerintah mencoba menawarkan jalan tengah kepada PGN dan Pertagas dengan membentuk agregator wilayah. Artinya, kedua perusahaan gas itu bisa menjadi agregator bersama-sama dengan pembagian wilayah pengelolaan. "Tetap saja keduanya menolak karena mereka beda mazhab soal konsep agregator yang bisa diterapkan," kata pejabat tersebut.

Pertagas ingin jadi agregator pasokan. Dengan konsep ini, badan usaha akan melakukan pemetaan potensi pasokan gas di dalam negeri dan menjadi importir gas tunggal. Setelah gas terkumpul, harga akan diagregasi. Baru setelah itu disalurkan ke konsumen dengan cara menerapkan kompetisi di antara pedagang dan distributor gas. "Karena dari sisi ini kami paling siap dan sudah menguasai sumber-sumber gas," ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro.

Adapun PGN mengajukan konsep agregator konsumen. Artinya, perseroan akan melakukan agregasi harga berdasarkan tingkat serapan dan daya beli pasar. Sedangkan pasokan tetap diatur pemerintah. "Intinya sama dengan yang dilakukan PGN selama ini," kata Kepala Divisi Strategis Manajemen PGN Adi Munandir.

Inilah yang bikin pemerintah pusing. Dalam rapat terakhir yang digelar di kantor Menteri Koordinator Perekonomian, awal Oktober lalu, Pertagas disebut-sebut paling berkeras menggunakan konsep agregator pasokan. "Mereka tidak mau jalan kalau bukan skema itu yang dipilih pemerintah," ujar salah satu peserta rapat.

Wianda membantah hal tersebut. Ia mengatakan konsep agregator wilayah yang ditawarkan pemerintah dirasa akan sulit diterapkan. Misalnya, Pertagas mendapat jatah pengelolaan di Sumatera, sementara pasokan banyak berada di Indonesia timur yang menjadi wilayah badan agregator lain. "Kalau seperti ini, bagaimana mengaturnya?" katanya. Karena itu, menurut Wianda, tidak mungkin agregator menguasai wilayah tertentu.

Ia mengklaim konsep yang diajukan Pertagas sangat ideal. Dengan dibantu induk usahanya yang menguasai sumber-sumber gas, Pertagas tinggal menyelaraskan pembangunan infrastruktur untuk menyebarkan gas ke berbagai daerah. "Dengan begitu, kami bisa memberi harga yang lebih kompetitif," ujarnya.

PGN berpandangan lain. Menurut Adi, skema agregator pasokan memiliki risiko terjadi pembengkakan harga di tingkat konsumen. Sebab, penjualan masih dibuka bebas. "Siapa pun bisa beli dari sana, termasuk trader yang tidak punya pipa," katanya.

Menurut Adi, tantangan terbesar dalam mengembangkan industri gas adalah mengatasi disparitas harga. Sebab, kondisi tiap wilayah berbeda, dari ketersediaan infrastruktur, serapan pasar, hingga ketersediaan pasokan. "Kalau seperti ini, mencacah wilayahnya saja susah," katanya. Adi menilai pemerintah juga berperan membuat buntu karena bingung membagi wilayah.

Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng mengatakan berlarutnya persaingan dua badan usaha ini akan membuat tata kelola migas semakin semrawut. "Padahal seharusnya mereka berfokus membangun infrastruktur," ujarnya. Soal harga gas yang tinggi bisa diatasi jika pipa yang dibangun dapat dimanfaatkan bersama-bersama. Prinsipnya, kata dia, mirip menara pemancar yang bisa digunakan berbagai operator telekomunikasi. "Lalu regulator mengawasi."

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi I G.N. Wiratmadja belum bisa menjawab soal siapa yang akan ditunjuk menjadi agregator. "Bisa saja nanti justru dibentuk badan baru," ucapnya. Intinya, Wirat menegaskan wacana penyangga gas ini muncul karena ia ingin badan usaha tidak mematok margin seenaknya, yang bisa melonjakkan harga di level konsumen.

Gustidha Budiartie, Robby Irfany, Ayu Primasandi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus