Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMPU indikator suhu gas buang mesin kedua pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LFQ itu berkedip kencang. Panah indikatornya bergeser ke titik maksimal, dari 500 derajat ke 900 derajat Celsius. Padahal mesin pesawat Boeing 737-900ER pembelian enam tahun lalu itu baru dinyalakan beberapa detik.
Kapten Oliver Siburian, pilot yang bertugas di Bandar Udara Soekarno-Hatta pada Sabtu, 27 Desember 2014, langsung mematikan mesin pesawat. Ia takut mesin kepanasan dan meledak bila dibiarkan terus menyala. Apalagi di dalam pesawat rute Jakarta-Jambi (JT-602) yang dijadwalkan terbang pukul 14.00 itu sudah duduk 207 penumpang. "Untuk mencegah delay terlalu lama, saya meminta ganti pesawat," kata Oliver ketika menceritakan lagi kejadian itu pada Selasa pekan lalu.
Pesawat pengganti, Boeing 737-800NG dengan nomor registrasi PK-LFS, ternyata mengalami kendala serupa: mesin nomor duanya kepanasan. Dua kali mendapat pesawat dengan kerusakan yang sama membuat Oliver ketakutan. "Saya merasa seperti disabotase," ucapnya. Oliver memutuskan batal menerbangkan pesawat, lalu memilih pulang meski tim teknisi meyakinkan dia bahwa pesawat kedua masih laik terbang. "Rasanya tak aman. Lagi pula ada pilot pengganti," ujar Oliver.
Oliver tak menyangka ketakutannya mengudara kala itu bakal berujung pada perkara. Sejak Januari 2015, ia tak mendapat kesempatan terbang. Mulai Maret lalu, gaji dan tunjangan sebagai pilot pun tak dia terima. Status Oliver menggantung: tidak terbang, tidak juga dipecat.
Pada Mei lalu, Oliver membawa perkara perdata ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kamis pekan ini, gugatan Oliver memasuki sidang ketiga. Ia menuntut statusnya sebagai pilot maskapai penerbangan itu diperjelas. "Kalau dipecat, ya, dipecat. Kalau tidak, tolong gaji saya dibayarkan dan lisensi penerbangan saya diperpanjang," kata Oliver, yang sudah 23 tahun menjadi pilot di berbagai maskapai.
Dalam gugatannya, Oliver juga menuntut pembayaran gaji sejak Maret lalu sebesar Rp 400 juta dan ganti rugi imaterial Rp 5 miliar. Ia pun meminta surat referensi kerja apabila Lion Air memang ingin memecat dirinya.
Hanya sehari setelah Oliver memasukkan gugatan, manajemen Lion Air menggugat balik. Mereka menuduh sang pilot tidak memiliki iktikad baik. Pengacara perusahaan, Harris Arthur Hedar, menyebut Oliver sebagai pilot dengan banyak catatan buruk selama dua tahun bekerja di Lion Air. "Sebelumnya kami beri dia surat peringatan, tapi tak ada satu pun yang ditanggapi," ujar Harris.
Dalam gugatan baliknya, Lion Air meminta Oliver mengganti biaya pendidikan dan pelatihan sebesar US$ 98.266 dan pinjaman ikatan dinas Rp 595,9 juta. Selain itu, ada tuntutan Rp 155 miliar yang dihitung dari potensi pendapatan Lion Air bila Oliver tetap bekerja selama enam tahun sesuai dengan kontrak. "Kami memohon sita jaminan terhadap aset Oliver agar gugatan ini tak sia-sia," kata Harris.
SEHARI setelah menolak menerbangkan pesawat akhir tahun lalu, Oliver bertubi-tubi menerima surat peringatan dari manajemen Lion Air. Peringatan pertama berupa surat elektronik yang melayang via e-mail perusahaan. Surat yang ditandatangani Deputy Fleet Manager Kapten Robinson Tulong pada 28 Desember 2014 itu berisi peringatan bahwa Oliver telah melakukan pelanggaran dengan dua kali mengembalikan pesawat ke apron tanpa alasan yang jelas.
Dua hari berikutnya, pada 29 dan 30 Desember 2014, Fleet Manager Lion Air Kapten Destyo Usodo mengirimkan dua surat peringatan yang intinya menyatakan Oliver absen tugas tanpa alasan yang jelas.
Mengajukan izin sakit selama empat hari, Oliver mengaku tak mengetahui surat-surat peringatan dari Lion Air tersebut. Apalagi semua surat peringatan tak dikirimkan ke e-mail pribadi, tapi ke e-mail perusahaan, yang jarang dia buka. Oliver pun tak menerima pemberitahuan via telepon atau pesan pendek bahwa dia harus terbang pada hari-hari itu. "Biasanya diberitahukan lewat telepon," ujarnya.
Oliver baru menyadari keberadaan surat peringatan itu pada 5 Januari 2015 ketika ia menunggu tugas terbang yang tak kunjung datang. "Kagetlah saya mendapat surat seperti itu," katanya. Apalagi, pada surat peringatan pertama, ia disebut mengembalikan dua pesawat tanpa alasan yang jelas. Padahal, menurut Oliver, sebelum pulang, dia telah membuat laporan bahwa kedua pesawat itu bermasalah.
Dalam salinan surat laporan Oliver kepada teknisi yang diperoleh Tempo, tertulis jelas pada kolom gangguan bahwa mesin nomor dua pesawat PK-LFQ dan PK-LFS gagal stabil dan mengalami hot start. Namun, pada kolom perbaikan, tertulis kedua mesin pesawat itu dalam kondisi normal setelah dicek kembali dengan pengujian putaran mesin rendah yang mengacu pada manual perbaikan Boeing 737-900ER. "Suhu gas buang stabil di angka 515-525 derajat Celsius," demikian tertulis pada formulir Maintenance Log itu.
Berbekal salinan formulir laporan yang dia isi, Oliver mengirim surat sanggahan bahwa ia mangkir dari tugas. Ia mengirimkan tiga surat sanggahan sekaligus untuk masing-masing surat peringatan. Namun surat yang dikirim pada 12 Januari 2015 untuk Robinson dan Destyo itu tak langsung mendapat respons.
Oliver kembali mengirim surat sanggahan pada 22 Januari 2015. Upaya kedua pun tak membuahkan hasil. Ia kemudian bergerilya melobi beberapa pemimpin Lion Air agar mendapat kesempatan mediasi. Kesempatan mediasi baru terbuka pada 6 April 2015.
Menurut kuasa hukum Oliver, Bertua Hutapea, mediasi itu digelar di kantor Lion Air di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Dalam mediasi itu, Oliver menyampaikan niat tetap ingin terbang dengan Lion. "Namun, jika tak diberi kesempatan, ia minta diberi surat referensi dan sisa gaji," ujar Bertua.
Mediasi itu buntu. Menurut Bertua, Lion Air menolak memenuhi permintaan Oliver. Manajemen malah meminta Oliver membayar biaya pendidikan dan pinjaman ikatan dinas yang sudah dikeluarkan mereka. "Di perjanjian ikatan dinas, ganti rugi hanya dibayarkan jika Oliver mengundurkan diri. Kenyataannya, Oliver tak diberi kesempatan terbang," ujar Bertua.
Karena mediasi gagal, Oliver mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Mei 2015. Di pengadilan, kesempatan mediasi diberikan hakim selama 40 hari, mulai Juni hingga Juli lalu. Karena mediasi kembali buntu, perkara ini berlanjut ke persidangan, yang dimulai Kamis dua pekan lalu.
Kuasa hukum Lion Air, Harris, membantah pernyataan Oliver dan pengacaranya. Soal alasan Oliver menolak menerbangkan pesawat, misalnya. Berbeda dengan klaim Oliver bahwa dia sudah melaporkan kondisi pesawat dan surat izin pulang, menurut Harris, Lion Air hanya menerima surat laporan kondisi pesawat. Laporan itu pun menyebutkan bahwa pesawat kembali normal setelah diuji coba oleh teknisi. "Oliver paranoid saja. Pesawat hanya rusak kecil dan masih bisa terbang," ucap Harris, Rabu pekan lalu.
Adapun status Oliver, menurut Harris, otomatis diberhentikan ketika tak menanggapi peringatan ketiga. Pemberhentian itu sudah disinggung pada surat peringatan terakhir tersebut. "Tinggal dibuka saja suratnya," kata Harris. Namun Harris tak bersedia menunjukkan surat dengan alasan merupakan urusan internal perusahaan.
Pada salinan e-mail surat peringatan ketiga yang ditunjukkan Oliver tak tertulis klausul yang menyatakan bahwa status sang pilot otomatis diberhentikan oleh Lion Air. Salah satu poin surat itu hanya menyatakan tindakan tegas akan diambil perusahaan yang bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Mengenai surat referensi, Harris membenarkan bahwa Lion memang tak mau memberikannya. Alasannya, Oliver belum mengganti kerugian bagi Lion sebagaimana diatur dalam Perjanjian Ikatan Dinas. Pasal 7 perjanjian tersebut menyatakan pilot yang mengundurkan diri atau dikeluarkan wajib membayar ganti rugi sebagaimana diatur pasal 6. Adapun pasal 6 menyebutkan besar ganti rugi adalah US$ 98.266 dari biaya pendidikan dan Rp 595,9 juta dari pinjaman dinas. "Simpel saja, bayar ganti rugi, surat referensi pasti kami keluarkan," ucap Harris.
Kalaupun Oliver membayar ganti rugi, menurut Harris, dalam surat referensinya Lion Air tak akan menyatakan dia sudah bertugas dengan baik. "Tapi sudah menyelesaikan tugasnya saja," ujar Harris. Lalu bagaimana dengan tuntutan ganti rugi potensi pendapatan sebesar Rp 155 miliar? "Itu tergantung putusan hakim," kata Harris.
Tak bersua di udara, di darat perseteruan Lion Air dengan sang pilot tampaknya masih panjang.
Istman M.P.
Terbang Jauh dengan Gangguan
DALAM sepuluh tahun terakhir, pesawat milik maskapai penerbangan Lion Air mengalami gangguan dan kecelakaan di berbagai tempat. Inilah sebagian kejadian yang sempat diberitakan media.
9 Mei 2009
Lion Air nomor penerbangan MD-90 dan nomor registrasi PK-LIL tergelincir di Bandara Soekarno Hatta.
3 November 2010
Lion Air penerbangan 712, dengan nomor registrasi PK-LIQ, tipe Boeing 737-400 tergelincir di Bandara Supadio, Pontianak.
23 Oktober 2011
Pesawat Boeing 737-900ER milik Lion Air dengan nomor registrasi PK-LHO tergelincir sejauh 15 meter hingga ujung landasan di Bandara Sepinggan, Balikpapan.
15 Februari 2011
Pesawat Lion Air penerbangan 295, jenis Boeing 737-900ER, rute Medan-Pekanbaru-Jakarta tergelincir di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru.
14 Februari 2011
Lion Air penerbangan 598, Boeing 737-900ER, rute Jakarta-Pekanbaru tergelincir saat mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru. Sejak itu, Kementerian Perhubungan melarang semua pesawat jenis Boeing 737-900ER mendarat di Pekanbaru bila landasan dalam kondisi basah.
30 Desember 2012
Pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Supadio, Pontianak, pada pukul 22.00 WIB.
13 April 2013
Lion Air penerbangan 904 jatuh di perairan saat akan mendarat di Bandara Ngurai Rai, Denpasar. Sebanyak 45 orang mengalami luka-luka.
24 April 2015
Pesawat Lion Air jenis Boeing 737-900ER dengan nomor JT-303 terbakar di Bandar Udara Kualanamu, Medan, ketika hendak lepas landas.
17-20 Februari 2015
Tiga pesawat milik Lion Air mengalami kerusakan di Bandara Soekarno-Hatta. Hal itu menimbulkan efek berantai terhadap jadwal penerbangan. Sampai 20 Februari 2015, Lion Air membatalkan 100 penerbangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo