Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar birokrasi lebih ramping deregulasi apa ?

Mendagri rudini mendukung penuh deregulasi sampai kelurahan. instrumen yang ampuh saat ini dibanding devaluasi. di tingkat daerah masih ada pungutan dan perda. di pusat ada monopoli & distorsi harga.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEVALUASI, itu instrumen yang senng diayunkan para pejabat Ekuin di bawah Menko Ali Wardhana, mungkin tidak lagi akan dipakai Menko Ekuin Radius Prawiro. Menko yang baru ini tampaknya condong memakai deregulasi sebagai instrumen ampuh, untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi sekarang. Ia menegaskan awal bulan ini bahwa kebijaksanaan deregulasi yang telah dicanangkan di pusat akan diterapkan sampai ke tingkat kelurahan. Pernyataan Radius ternyata didukung Menteri Dalam Negeri Rudini. Dalam rapat koordinasi dengan BKPM dan BKPMD pekan lalu, ia lantang mengataan akan menertibkan berbagai pungutan di daerah. "Bagaimana mungkin investor mau investasi ke daerah, jika modalnya Rp 100 juta sedangkan pungutan yang diminta Rp 100 juta. Ini memang wewenang kepala daerah, tapi jelas harus ada pembatasan," kata Mendagri kepada TEMPO, Senin pekan ini. Kata-kata Mendagri itu seakan regulasi baru, yang "dititahkan" pusat pada pemerintah daerah. Namun, pada dasarnya, regulasi itu lebih tepat disebut sebagai deregulasi yang disempurnakan. Seperti kata Menko Ekuin Radius Prawiro, arti deregulasi adalah, "mengurangi hambatan-hambatan yang tidak perlu, yang disebabkan oleh produk hukum yang diciptakan oleh aparatur pemerintah." Radius lalu mengemukakan soal perizinan, sebagai contoh. Sudah bukan rahasia lagi, kebijaksanaan deregulasi yang sudah dicanangkan pemerintah hampir lima tahun silam sebagian terbentur di daerah. Jika urusan perizinan dipangkas seperti yang didukung Rudini - tak syak lagi, ini bakal menciutkan penerimaan daerah. Namun, pemangkasan yang diniatkan oleh seorang Menko dan Mendagri itu tidak mudah untuk diterapkan di lapangan. Masalahnya, kata seorang pejabat tinggi, perda (peraturan daerah) dewasa ini sangat banyak dan sulit dikontrol oleh Departemen Dalam Negeri. "Perda-perda itu terbit setiap saat. Seharusnya mendapatkan izin Depdagri. Tetapi saking banyaknya, sehingga menumpuk begitu saja di Depdagri. Lalu bagaimana kontrolnya bisa jalan?" tutur pejabat tadi. Mungkin karena itu tidak salah kalau ada pihak-pihak yang sejak pagi-pagi mengingatkan, agar setiap peraturan deregulasi mempunyai kepastian hukum - maksudnya tidak sembarang dibuat dan seenaknya dilaksanakan. Tapi,katakanlah, deregulasi akhirnya mencapai kelurahan, tentu para oknum akan jatuh sebagai korban. Dan tidak cuma itu. Penghasilan pemerintah daerah pun mungkin akan banyak berkurang - ini berat memang. Tapi di lain pihak, ekonomi daerah itu secara bertahap akan berkembang. Hal ini disinyalir oleh para pakar ekonomi dari ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) cabang Banda Aceh. Dalam seminar di ibu kota Daerah Istimewa Aceh itu, awal April, terlontar optimisme yang perlu digarisbawahi. Mengapa? Karena mereka melihat, deregulasi akan membawa dampak positif bagi ekonomi daerah. Sembilan pakar ekonomi, dalam suatu diskusi yang diselenggarakan TEMPO baru-baru im, Juga berpendapat serupa. Diskusi dua hari yang dipimpin Sjahrir - doktor ekonomi lulusan Harvard, AS - berlangsung akhir bulan lalu di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Dalam kesempatan itu antara lain disimpulkan adanya tiga masalah besar yang dihadapi Kabinet Pembangunan V sekarang. Pertama, beban utang luar negeri yang begitu fantastis menelan anggaran pemerintah. Kedua, masalah penciptaan kesempatan kerja, yang kemungkinan bisa meledak. Dan ketiga, masalah di sektor moneter perkreditan. Sesudah mengupas tiga persoalan itu dan membolak-baliknya, Forum ekonom TEMPo kembali pada jalan keluar yang satu itu: deregulasi. Sementara itu, Menteri Perdagangan Arifin Siregar barubaru ini (TEMPO, 9 April 1988) menyuarakan, bahwa jalan terbaik untuk melumpuhkan berbagai kendala ekonomi, ialah dengan meningkatkan ekspor nonmigas. Ini bukan saja akan meringankan beban neraca pembayaran luar negeri, tapi juga bisa merangsang penciptaan kesempatan kerja. Untuk meningkatkan ekspor nonmigas akhir-akhir ini, ada dua instrumen yang biasa dipakai pemerintah, yakni devaluasi dan eregulasi. Menurut analisa Mari Pangestu, doktor ekonomi dari University of California - yang berperan serta dalam forum ekonom TEMPO - kedua instrumen yang dimanfaatkan pemerintah secara berbarengan pada 1986 terbukti ampuh. Ini terlihat pada ekspor nonmigas semester akhir 1987, yang melonjak dari rata-rata US$ 600 juta sampai mendekati US$ 1 milyar. Tapi sebaiknya diingat, keampuhan devaluasi tidak tahan lama. Menurut penelitiannya, devaluasi 1978 dan 1983 hanya bisa menciptakan daya saing bagi produk lokal selama 1-2 tahun. Lalu pudarlah keampuhan itu, antara lain karena inflasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan inflasi di negaranegara industri. Akan halnya deregulasi, yakni usaha menciptakan iklim usaha yang lebih baik bagi kalangan pengusaha, dampaknya baru terasa beberapa bulan kemudian. Tetapi, Mari dan forum yakin bahwa dampak itu akan menimbulkan daya saing yang bisa bertahan lama, selama ada kemauan politik dari para pejabat untuk meneruskan iklim deregulasi. Sedang devaluasi yang dulu sering dikatakan (bekas) Menko Ekuin Ali Wardhana sebaai instrumen yang ampuh untuk meningkatkan ekspor nonmigas, dewasa ini tampaknya sudah tidak sakti lagi. Jika alat itu masih akan dipakai, jelas bakal memperberat beban utang yang sudah menelan sekitar sepertiga dari APBN. Masalahnya, penerimaan pemerintah dari sektor luar negeri, yakni dari ekspor minyak dan gas, sudah lebih kecil dan beban utang ltU sendiri. Penerimaan migas diperkirakan sekitar Rp 8,8 trilyun, sedangkan pengeluaran untuk membayar utang luar negeri sudah sekitar Rp 10,6 trilyun. Jadi, bila pemerintah melakukan devaluasi, celah antara kedua angka itu jelas bakal lebih lebar. Devaluasi memang alat untuk manajemen sektor transfer modal. Tetapi sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia, seperti dikatakan seorang pakar ekonoml - kini sudah menjabat menteri muda - sektor alih modal itu erat berkaitan dengan sektor moneter perbankan, dan juga sektor anggaran pemerintah. Sehingga, dewasa ini jika terJadi devaluasi, beban utang luar negeri pemerintah pun terpukul. Karena itu, menurut mereka, instrumen deregulasilah yang paling tepat untuk dipakai pemerintah. Satu hal yang harus diakui, devaluasi Mei 1983, berikut kampanye "cintailah produk dalam negeri" telah membawa dampak berupa restrukturisasi ekonomi. Ekonomi yang tadinya mengarah pada program substusi impor mulai beralih ke arah orientasi pasar ekspor. Hal itu ditunjang oleh Inpres No. 4/1985. Kebijaksanaan pemerintah ini merupakan deregulasi kedua yang melancarkan kegiatan ekspedisi di pelabuhan, dan pemotongan meja-meja birokrasi di bea cukai, dengan memindahkan tugas pemeriksaan barang kepada surveyor SGS. Tapi aJakan pemerintah agar swasta berpartisipasi lebih besar dalam perekonomian - yang dicanangkan sejak 1983 - bagaikan gaung di tengah padang pasir. Hilang berderai entah ke mana. Soalnya, ketergantungan dunia usaha pada anggaran pemerintah sangat sulit berubah. Apalagi di tengah rimba raya macam-macam instansi. Apa boleh buat, turunnya pengeluaran pemerintah yang menyusutkan agregat permintaan menyebabkan kelesuan dunia usaha. Investasipun lesu. Baru pada tahun 1986, pemerintah mulai mengembuskan angin deregulasi lebih kencang. Ginandjar Kartasmita, yang tiba-tiba memimpin BKPM, mulai mengambil langkah-langkah kejutan. Di kantor urusan perizinan investasi itu, mulai berembus deregulasi dan debirokratisasi. Paket 6 Mei 1986 mulai melonggarkan kembali izin impor barang modal dan penunjang, termasuk pemakaian tenaga kerja asing, asalkan untuk investasi yang berorientasi ekspor atau membuka usaha di daerah. Paket itu, ternyata, belum begitu ditanggapi investor, sehingga masih harus diperlonggar lagi oleh paket kebijaksanaan Juni 1987. Iklim deregulasi yang bertiup dari instanSi di bawah Sekneg itu ternyata kemudian menular ke Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian. Maka kebijaksanaan deregulasi Oktober 1986 dan Januari 1987 terasa mulai menggigit. Lebih hebat lagi, paket 24 Desember 1987 ternyata memangkas berbagai peraturan dari beberapa departemen sekaligus. Misalnya soal izin pariwisata yang memangkas penzman dari Departemen Penerangan, Perdagangan, Dalam Negeri, Pendidikan dan Kebudayaan, serta Perindustrian. Paket Desember itu juga mendorong pembentukan pasar modal swasta (OTC). Cuma disayangkan, OTC, yang semula ditargetkan beroperasi bulan April ini, ternyata masih belum bisa direalisasikan. Agaknya, memang masih perlu persiapan yang matang. Sementara itu, monopoli baja pada Krakatau Steel pun sudah mulai dilonggarkan. Rangkaian kebijaksanaan deregulasi terakhir itu, konon, merupakan buntut dari devaluasi September 1987. Kebijaksanaan yang diumumkan Radius Prawiro (waktu itu Menteri Keuangan), ternyata dikritik dari berbagai kalangan pengamat, baik dari kalangan pakar ekonomi maupun dari ilmuwan sosial. Radius Prawiro, tampaknya, kini tak ingin mengulanginya. Sehingga, instrumen yang bakal dipakainya hanya satu itu: deregulasi. Seperti yang dikatakan Menko Ekuin Radius Prawiro, deregulasi adalah pemangkasan peraturan-peraturan yang berlebih. Bertumpuknya peraturan pemerintah yang mengendalikan dunia usaha sebenarnya tak lepas dari iklim di zaman boom minyak. Waktu itu anggaran pemerintah menggelembung, hingga berkembanglah dunia usaha. Dan, ternyata, sebagian besar, baik investasi asing maupun lokal, sangat menggantungkan hidupnya pada aliran dana pemerintah. Menghadapi ini, para pejabat pun mulai memasang berbagai meja dan peraturan. Maka, lahirlah berbagai macam regulasi dan birokratisasi. Tapi umum juga diketahui bahwa semua itu dimaksudkan untuk mendapatkan retribusi. Regulasi yang berlebihan menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi kaku dan tidak dinamis. "Hal itu didukung data empiris berupa angka indeks distorsi," kata Thee Kian Wie, Kepala Pusat Studi Ekonomi pada LIPI. Dalam Laporan Pembangunan Dunia 1983, yang disusun Bank Dunia, angka indeks distorsi harga di Indonesia tercatat paling tinggi di kawasan ASEAN yakni 1,66. Buruknya keadaan itu dipergunakan pula oleh sejumlah pengusaha untuk mendapatkan fasilitas tertentu. "Terdapat berbagai pengaturan pemerintah yang sebenarnya dikeluarkan karena usaha lobbying dari kelompok kepentingan bercokol, untuk memajukan kepentingan ekonomi mereka," kata Thee. Thee mengaku sering mendengar keluhan dari pengusaha swasta, baik lokal maupun asing, bahwa niat mereka untuk melakukan investasi terbentur oleh sistem perizinan berbelit, serta pengendalian kapasitas dan jumlah produksi industri bersangkutan. Oleh siapa lagi kalau bukan kaum birokrat. Maksudnya apa lagi kalau bukan monopoli atau oligopoli. Monopoli itu sendiri, menurut teori ekonomi mikro, memang tidak selalu buruk. "Suatu monopoli alamiah, di mana skala ekonomi meliputi seluruh pasar domestik, penguasaan oleh perusahaan negara sering dapat dibenarkan atas dasar kepentingan umum," kata Thee. Sumber daya alam dapat digali sebaik mungkin, asalkan unit produksinya sangat besar dan mempekerjakan mesin-mesin berat, mahal, dan buruh yang banyak. Contoh yang relevan di Indonesia mungkin Pertamina. Tapi teori juga mengatakan bahwa monopoli di mana-mana selalu berbahaya. Suatu badan monopoli dapat mengontrol produksi untuk mendapatkan harga yang sangat menguntungkan. Monopoli mempromosikan ketidakefisienan, dan monopoli dapat mengeksploatasi konsumen. Sehingga, monopoli perlu dikontrol rakyat (dengan undang-undang) dan pajak. Menurut Thee Kian Wie, teori kepentingan umum ini sebenarnya sudah mulai ditinggalkan sejak 1970-an. "Menurut penelitian beberapa ahli sejak 1970-an, pengaturan pemerintah dan teori-teori kepentingan umum, ternyata, sering dibajak oleh gelintir-gelintir vested interests, sehingga merugikan umum," kata Thee. Apakah swastanisasi BUMN-BUMN di Inggris dan Jepang dapat dikemukan sebagai bukti? "Swastanisasi itu belum merupakan deregulasi. Swastanisasi malah memerlukan regulasi, jika aset produksi yang dijual kepada swasta itu dianggap mempunyai nilai strategis," ujar Thee. Ternyata, regulasi dan monopoli atau oligopoli sudah mulai dipangkas pemerintah pada tahun-tahun terakhir. Iklim ini mulai terasa sejak 1983, ketika masa boom minyak telah berlalu, dan penerimaan pemerintah mulai menyusut. Tahun itu juga pemerintah mulai mengetatkan anggaran. Serentak dengan itu, swasta mulai diajak untuk lebih berperan dalam roda ekonomi. Seperti diketahui, adalah Gubernur Bank Sentral Arifin Siregar pejabat pertama yang melaksanakan deregulasi. Pada 1 Juni 1983, Arifin mengeluarkan kebijaksanaan perbankan. Kebijaksanaan itu merangsang bankbank mengumpulkan dana dari masyarakat. Bank-bank itulah yang diandalkan untuk membiayai swasta. Jelas, langkah Arifin itu adalah untuk menciptakan sumber dana baru bagi swasta, pengganti cucuran anggaran pemerintah yang semakin berkurang. Dalam pidatonya pada jamuan makan malam bersama para bankir yang terakhir 14 Januari 1988, ia mengungkapkan sejumlah data menggembirakan dari perkembangan ekonomi. Kendati APBN 1987/1988 telah mengalami penurunan 5,1% dibandingkan APBN sebelumnya, ternyata, kegiatan perekonomian masyarakat mengalami peningkatan. Misalnya ekspor nonmigas yang meningkat. Tentu itu tidak lepas dari peranan perbankan. Bank-bank berhasil menghimpun dana lebih dari Rp 29 trilyun pada akhir Desember 1987, dan menyalurkan kredit berjumlah sekitar Rp 33 trilyun. Dampak positif dari deregulasi perbankan memang banyak. Tetapi bukan tidak ada negatifnya. "Ada kesan dewasa ini misi utama bank-bank pemerintah sebagai agen pembangunan kini sudah tergeser oleh komersialisasi," kata seorang bankir swasta kepada TEMPO. Soalnya, deregulasi perbankan telah menyebabkan bank-bank pemerintah bukan hanya bersaing dengan swasta dalam menghimpun dana masyarakat, tetapi juga dalam mencari laba. Akibatnya, semakin sulit bagi calon investor mendapatkan bunga murah. "Seandainya laba meeka digunakan untuk kredit investasi para investor kecil dan menengah, 'kan bisa menghasilkan telur lebih banyak? Bisa menambah kesempatan kerja, dan menambah wajib pajak," kata bankir swasta tadi. Tetapi, Soekarno, doktor ekonomi moneter dari Clairmont Graduate School, California, melihat lain. Masalahnya bukan pada suku bunga yang tinggi, tetapi pada persyaratan-persyaratan urusan kredit yang ruwet. "Tingkat suku bunga kredit di desa-desa berkisar antara 40% dan 6% per tahun," kata dosen UI yang juga bekerja di Bappenas itu. Kendati bank-bank sudah, mulai menjangkau pedesaan dengan program Kupedes dan Simpedes, kenyataan bank-bank sebenarnya masih sangat asing bagi sebagian besar pengusaha di kota-kota besar. Sebenarnya tak usah jauh-jauh ke pedesaan. Sebagian pengusaha di Jakarta Kota (Glodok), dewasa ini berani meminjam dengan pinjaman berbunga 40% per tahun. Pinjaman semahal itu bukan hanya untuk modal kerja atau modal dagang satu dua bulan, tetapi bisa untuk jangka lama. Beberapa sumber TEMPO mengatakan bahwa ada kompleks gedung perkantoran di sekitar Harmoni dan Gunung Sahari aakarta) dibangun oleh investor dengan pinjaman berbunga sekitar 4% per bulan. "Risikonya, sulit bagi pemberi pinjaman untuk menagih pinjaman pokok," tutur sebuah sumber. Pasar uang informal, ternyata, memang sangat digandrungi masyarakat, kendati mengandung unsur spekulasi. Buktinya, organisasi KAM ciptaan Jusuf Ongkowidjaja yang kini telah dibekukan itu. Bagaimana cara mengatasi masalah pasar informal itu mungkin masih perlu dipikirkan otoritas moneter dan para pakar ekonomi. Diskusi sembilan pakar dari Forum Ekonom TEMPO memang melihat masih cukup banyak hal yang perlu dideregulasikan. Mereka berpendapat, menurunnya kegiatan Inpres - instrumen yang dinilai sangat banyak menciptakan kesempatan kerja seharusnya diimbangi dengan rangsangan lain. Misalnya mekanisme dalam bentuk pasar perbankan dalam kaitannya pada investasi perumahan dan konstruksi. Logikanya, kalau ekonomi sedang lesu, tingkat suku bunga akan terdorong turun Pada saat itu, orang biasanya beramai-ramai meminta kredit perumahan. Kabinet Pembangunan V, tampaknya, masih akan terus mengembuskan iklim deregulasi, debirokratisasi, demonopoli, dan deoligopoli. Hal itu ditegaskan Ketua Bappenas/ Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Saleh Afiff (lihat Deregulasi itu Mirip Warung). Menurut Afiff, prioritas deregulasi adalah pada sektor perdagangan dan industri. Di sini, makna Ferdagangan dan industri itu tampaknya perlu dijelaskan. Karena beberapa sektor pelayanan, dewasa ini sudah mulai berkembang menjadi semacam industri. Seperti sektor pelayanan yang bergerak di bidang pendidikan, dan kesehatan, tampaknya sudah mulai mengarah ke bentuk pelayanan jasa seperti Perumtel. Praktek-praktek komersialime tampak di sana, sehingga pendidikan dan kesehatan telah merupakan barang komoditi baru. Di bidang kesehatan, misalnya, kini bermunculan klinik-klinik medis. Sementara itu, program M.B.A., yang tadinya dirasa tak perlu diatur pemerintah, kini mulai diikuti universitas-universitas pemerintah. Tentu saja satu waktu kelak juga akan mengundang campur tangan pemerintah. Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah industri pers. Menurut pengamatan forum TEMPO, pers adalah industri yang padat karya. Tetapi iklim usaha di situ masih diliputi berbagai macam regulasi. Misalnya yang menyangkut jumlah halaman, jatah iklan, atau kemungkinan membuka percetakan di daerah. Jadi, harus deregulasi juga? Ya, begitulah. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus