Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tanggapan ekonom

Pendapat soekarno, mari pengestu, winarno zain, dan thee kian wie tentang capital flight, informal financial market, devaluasi, deregulasi, komoditi ekspor swastanisasi, dll.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA ada capital flight? Pertama, tidak ada kepastian usaha kedua, accessability terhadap bank tidak dimiliki semua orang. Akibatnya, rentenir di pedesaan tumbuh subur dan petualangan seperti kasus KAM bisa terjadi. Tingkat bunga 10% atau 15% tergolong murah di desa, tapi yang 40% juga ada, bahkan bisa setinggi 60% setahun. Peran informal financial market ternyata cukup besar di Indonesia, begitu pula di Malaysia (40%) dan Muangthai (60%). Kalau kita melihat di Glodok, berapa persen modal yang beredar tidak melalui bank. Begitu juga di Surabaya. Di Solo saja banyak arisan call, tentu tidak melalui bank dan itu berputar setiap hari. Kesemuanya ..33 merupakan financial source, baik di kota, dan terlebih di desa. Mengapa demikian? Bank tidak pernah menjangkau jauh ke desa-desa. Kenyataan inilah yang perlu dipikirkan dalam menyusun kebijaksanaan, terutama yang berkaitan dengan UU Perbankan. SOEKARNO SULIT untuk mengetahui, dalam peningkatan ekspor nonmigas, faktor mana yang lebih berperan, deregulasi atau daya saing yang bertambah. Saya pikir, daya saing itu jelas akan berperan 1 atau 11/2 tahun sesudah devaluasi terjadi. Tapi deregulasi dampaknya lebih lama baru kelihatan. Jadi, dalam jangka panjang, memang deregulasi yang akan berperan, tapi untuk jangka pendek, devaluasi memang ada pengaruhnya terhadap peningkatan ekspor. Katakanlah seperti ada duet deregulasi dan peningkatan daya kompetisi. Bekas Menko Ekuin Ali Wardhana mengatakan, beberapa kali beliau mencoba melakukan export drive dengan melakukan tindak devaluasi, dari tahun 1978 sampai tahun 1981. Tapi tidak terasa. Kalaupun terasa, sebentar, lalu pudar. Kuncinya tampak baru ditemukan belakangan ini, dimulai dengan deregulasi 1983. Macam-macam deregulasi yang lain, yang disertai tindak Devaluasi September 1986, terasa betul efeknya. Saya pikir, ini karena sudah menyentuh sektor riil, lagi pula sekarang digerakkan oleh political will yang kuat. Dorongan untuk meningkatkan ekspor nonmigas di tahun 1978, misalnya, 'kan belum sekuat dorongan tahun 1986. MARI PANGESTU BESARNYA pasar domestik bisa menimbulkan implikasi tidak enak:industri barang konsumsi kurang bernafsu mengekspor, sekalipun peluang ada. Beberapa industri memang sudah mengekspor, tapi masih marginal. Dan ekspor yang dilakukan perusahaan multinasional kebanyakan berlangsung di antara mereka sendiri. Kecuali beberapa yang sejak awal berorientasi ekspor, imbauan agar menggalakkan ekspor kurang ditanggapi, karena industri barang konsumsi kebanyakan tetap berkonsentrasi pada pasar dalam negeri. Kalaupun merugi, mereka akan bertahan, karena tujuan jangka panjangnya mendapatkan profit. Jelas terlihat Indonesia cukup atraktif, apalagi kalau diingat tidak adanya price control. Di pihak lain, kecenderungan pemerintah untuk memaksakan Kesepakatan Kerja Bersama - untuk menjamin kesejahteraan karyawan semakin menjauhkan kaum industriwan dari investasi padat karya. Di samping itu, adanya biaya tinggi secara beruntun - devaluasi 2 kali dalam 3 tahun, deregulasi perbankan 1983 yang berakibat suku bunga tinggi, dan UU Perpajakan tahun 1984 terutama menyangkut PPh -- membuat prospek industri yang semula diperkirakan cerah jadi buram. WINARNO ZAIN PADA hemat saya, deregulasi berarti dibukanya pasar (jasa-jasa, dan faktor-faktor produksi) bagi kekuatan persaingan - pasar yang sebelumnya diatur ketat oleh pemerintah atau dikuasai perusahaan negara (BUMN). Deregulasi berbeda dengan swastanisasi yang berarti pengalihan hak milik atas aset produktif, yang dikuasai BUMN kepada perusahaan swasta atau perorangan. Jadi, swastanisasi belum merupakan deregulasi, malah swastanisasi bisa memerlukan regulasi. Bahwa deregulasi yang berlebihan membuat ekonomi , Indonesia menjadi kaku, didukung data empiris, yaitu angka indeks distorsi di 51 negara berkembang - disusun Bank Dunia, 1983. Angka ini didasarkan atas penyimpangan harga devisa, faktor produksi, barang dan jasa dari opportunity cost, yang diakibatkan oleh pengaturan pemerintah. Indonesia mencatat angka indeks distorsi tertinggi di ASEAN (1,66), menyusul Filipina dan Malaysia (masing-masing 1,57), lalu Muangthai (1,43). THEE KIAN WIE

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus