Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sunatan pak wali

Lima penggarap tanah di Bintaro, Jakarta, menggugat wali kota Mochtar Zakaria dan Rachmat. uang ganti rugi tanah sekitar rp 470 juta hanya dibayarkan rp 38 juta. separuh masuk ke kas wali kota.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRAKTEK sunat-menyunat ganti rugi pembebasan tanah ternyata luar biasa. Itulah yang dialami H. Moh. Jasin dan empat penggarap lainnya di Bintaro, Jakarta Selatan. Dari uang ganti rugi sekitar Rp 470 juta atas tanah seluas 37.612 m2, hanya Rp 38 juta yang masuk ke kantung mereka. Sisanya, separuh dari jumlah ganti rugi itu masuk ke kas Wali Kota, dan selebihnya tercecer di kantung para perantara. Areal yang kini menjadi lokasi instalasi dan fasilitas perhubungan Departemen Hankam itu semula merupakan tanah bengkok desa, yang kemudian digarap kelima orang tadi. Sejak tahun 1972 tanah itu disewa Departemen Hankam selama 20 tahun dari Moh. Jasin, selaku lurah Desa Bintaro. Belakangan rupanya Hankam sangat membutuhkan tanah tersebut. Sebab itu, pihak Hankam melakukan pembebasan tanah, dengan ganti rugi Rp 12.500,00 per m2. Ganti rugi itu disepekati dibayar Hankam dalam dua tahap, melalui perantara Rachmat H.S. - Rp 235 juta untuk setiap tahap. Sekitar Februari 1984, Hankam melaksanakan pembayaran pertama. Tapi kelima penggarap ternyata cuma menerima Rp 38 juta. Alasan Rachmat, sebagian besar uang itu untuk komisi dan pembayaran katabelece kepada para pejabat. Kendati mulai resah, para penggarap, ketika itu, menerima saja uang itu. Sebab, masih akan diterima pembayaran tahap kedua, Rp 235 juta. Ternyata, penantian kelima penggarap itu sia-sia, karena pembayaran tahap kedua tak kunjung muncul. Belakangan diketahui, uang sekitar Rp 235 juta itu telah masuk ke kas Wali Kota Jakarta Selatan. Menurut Sahala Pangaribuan, pengacara kelima penggarap, pemotongan setengah dari jumlah ganti rugi itu oleh Wali Kota Mochtar Zakaria, "tak ada dasar hukumnya." Apalagi menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, untuk ganti rugi semacam itu hanya dikenai pungutan biaya pembebasan dan sumbangan prasarana. Kebijaksanaan pemotongan itu sendiri, katanya, diusulkan wali kota sebelumnya, Oetomo. Ketika Mochtar Zakaria menggantikan Oetomo, ia tidak setuju dengan kebijaksanaan itu. Tapi gubernur DKI Jakarta, lewat surat yang ditandatangani bekas Wakil Gubernur Bunyamin Ramto, 4 September 1986, menegaskan kembali diperkenankannya pengambilan uang itu untuk kas Pemda. Mochtar Zakaria pun melaksanakan pemotongan tersebut. "Jelas, Wali Kota tidak konsisten dengan sikapnya semula," kata Pangaribuan. Karena itu, Sahala Pangaribuan, mewakili kelima penggarap, kini menggugat Mochtar Zakaria dan Rachmat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bagi Pangaribuan, nasib kelima penggarap itu benar-benar pahit. "Sudah pembayaran pertama kena potongan besar, pembayaran kedua hilang begitu saja," ucapnya. Menurut Rachmat, 45 tahun, ia sudah berusaha menolong kelima penggarap itu. Misalnya, pembayaran ganti rugi tahap pertama sudah terwujud kendati uang yang sampai pada penggarap hanya Rp 38 juta. Sisanya, hampir Rp 200 juta? "Ya, untuk biaya macam-macam. Biaya administrasi operasional, dan sekadar terima kasih kepada beberapa kawan yang membantu," ujar Rachmat, direktur tiga perusahaan, di antaranya PT Cakra Agung. Rachmat juga mengaku telah mengupayakan pembayaran ganti rugi tahap kedua. Namun, usahanya gagal lantaran Wali Kota tetap memutuskan mengambil uang tersebut. Dengan begitu, "saya kira persoalannya sudah selesai," kata Rachmat. Buktinya, katanya, salah seorang penggarap, Chotib Mas'ud, berjanji tak akan menuntut sisa pembayaran ganti rugi itu. Mochtar Zakaria kaget mendengar berita gugatan itu. "Itu 'kan tanah negara, mereka cuma penggarap saja. Tak ada dasar hukumnya untuk menuntut," ujar Mochtar Zakaria. Menurut Mochtar, kebijaksanaan pemotongan setengah dari jumlah ganti rugi itu sudah dlsepakati para penggarap sewaktu panitia pembebasan menetapkan besar ganti rugi itu. Wali kota itu malah menganggap uang ganti rugi yang diterima para penggarap tadi sudah cukup tinggi. "Mereka bisa menerima 50 persen, biasanya ganti rugi untuk penggarap paling besar cuma 25 persen," kata Mochtar. Semua uang potongan yang masuk kas wali kota itu, katanya, sudah habis untuk biaya "perjuangan" Golkar di wilayahnya. Hp. S., Linda Djalil, Tri BUdianto Soekarno (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus