FAKTA-fakta keras yang dihadapi Kabinet Pembangunan V telah diketahui dan tidak ada salahnya bila di sini dibuatkan ringkasan yang agak rinci. Pertama, beban utang luar negeri yang besar untuk tahun 1988, 1989, dan 1990. Jumlah utang sekitar 45 milyar dolar di tahun 1988 telah terasa efek politisnya dalam APBN 1988/1989. Currency realignment yang berlangsung terus akan meningkatkan lebih jauh utang Indonesia dalam dolar. Kedua, jumlah angkatan kerja yang masuk ke lapangan kerja di tahun 1988 hingga akhir Pelita V melebihi 2,3 juta setiap tahun. Ini karena besarnya angkatan kerja dari tahun-tahun sebelumnya dan tenaga kerja baru. Setelah zaman boom minyak, maka proyek yang paling bersifat padat karya dari pemerintah (proyek Inpres) semakin merosot jumlahnya secara relatif, (terhadap total anggaran) dan secara riil (pengeluaran absolut setelah dikurangi tingkat inflasi). Proyek Inpres perkreditan seperti KIK/KMKP/Candak Kulak, oleh pakar ekonomi yang kritis sekalipun, diakui faedahnya sebagai proyek yang padat karya. Merosotnya lapangan kerja (karena berkurangnya APBN sejak 1983 secara riil) dan program Inpres mempunyai dampak ganda pada mereka. Ini berarti ciutnya kesempatan kerja dan merosotnya penerimaan riil, yang pada gilirannya mengurangi daya beli mereka sekeluarga. Ketiga, upaya mobilisasi dana dan penyaluran dana-dana melalui deregulasi perbankan tetap terasa alot, yang nyata tercermin pada tingkat suku bunga pinjaman - rata-rata 20%-22% - yang tinggi, juga bila dibandingkan negara-negara tetangga. Toh tingkat suku bunga bagmnvestasi produktif bukan merupakan satu-satunya persoalan. Ekonomi biaya tinggi dalam bentuk tidak ajek dan kurang terjaganya kualitas jasa-jasa publik (Perumtel, PLN, PAM) dan "regulasi serta lisensi" telah menjadi ajang pertarungan yang tak kunjung henti, seraya terus mengacaukan struktur biaya bagi investor dan pengusaha. Di samping itu, masalah tingkat suku bunga masih tetap menjadi soal, karena selisih real rate of interest dengan luar negeri, untuk sebagian, merupakan pencerminan sikap berjaga-jaga (precautionary motive) terhadap bukan saja currency realgnment, tapi juga spekulasi devaluasi yang selalu muncul, bila terjadi kemerosotan harga minyak bumi. Secara bersamaan juga muncul spekulasi akan adanya capital flight - larinya modal ke luar Indonesia. Dengan ketiga isu pokok yang berdimensi politik itu - beban utang dihadapkan dengan isu nasionalisme retorika, angkatan kerja dengan stabilitas politik dan kriminalitas, serta suku bunga dengan isu devaluasi dan capital flight - pemerintah seperti terpaku dalam satu posisi dilematis, yang betul-betul memakan waktu, pikiran, dan pekerjaan besar. Siapkah pemerintah menghadapi situasi sepelik itu, inilah yang harus kita tunggu. Dalam kaitannya dengan itu, penting dipermasalahkm keberhasilan deregulasi. Seperti diketahui, selama Repelita IV, persisnya sejak 1983, muncullah semacam ideologi baru, yang namanya deregulasi. Devasa ini, pembicaraan mengenai deregulasi telah mencapai tingkat intensitas yang tinggi, sementara kompleksitas permasalahan pun kian muncul di permukaan. Karena itu, saya ingin mendefinisikan pengertian deregulasi itu sccara "sekena" mungkin. Sebagai kontras, deregulasi berhadapan dengan regu!asi. Tetapi tak cukup bila deregulasi diartikan sematamata sebagal proses pengurangan peraturan. Soalnya, di mana pun pemerintah selalu ada dan berfungsi mengatur. Maka, deregulasi bisa juga diartikan sebagai upaya pengurangan pengaturan dan kebijaksanaan yang dapat menghambat berfungsinya mekanisme pasar. Dengan kata lain, deregulasi dapat juga diartikan sebagai upaya pembebasan pasar dari distorsi-distorsi yang ditimbulkan oleh regulasi. Di pihak lain, deregulasi bukanlah free market dalam arti yang seluas-luasnya. Tanpa harus terjebak pada definisi, bagaimanapun deregulasi tetap diperlukan di: 1. Sektor Moneter - Perkreditan. Amat diperlukan kini mobilisasi dana yang memungkinkan investor memperoleh dana-dana murah di luar perkreditan. Pak Des dengan keputusan di bidang Pasar Modal dan Over the Counter (OTC)-nya baru merupakan langkah awal. Pengalaman pasar modal selama ini yang amat "berkutat" pada kestabilan hanya menyebabkan sulitnya mencari dana. Seyogyanya kita membuka semua avenue, yang memudahkan pengusaha untuk mencari dana-dana dari masyarakat. 2. Sektor Perdagangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan keputusan 25 Oktober 1986, 15 Januari 1987, dan juga Pak Des, tetap saja alot untuk menderegulasikan berbagai komoditi impor. Bahkan sebagian komoditi menjadi lebih di-"regulasi" justru dengan Pak Des. Ekspor nonmigas yang menjadi battle cry Menteri Perdagangan yang baru dengan semboyan Indonesia Incorpordted memang sejak Juni 1987 menunjukkan peningkatan yang berarti. Ada dua hal yang ternyata juga meningkatkan ekspor nonmigas, yaitu: a. Currency realignment yang merugikan di sektor pembayaran utang luar negeri di pihak lain juga meningkatkan penerimaan ekspor dalam dolar AS. b. Luar biasa baiknya harga-harga komoditi primer di akhir tahun 1986 hingga akhir tahun 1987. Ini belum tentu demikian untuk 1988 dan selanjutnya. Tesis Drucker mengenai uncoupling barang-barang primer dan industri di Barat mengacu pada merosotnya nilai komoditi ekspor primer. Karena itu, peningkatan ekspor nonmigas beserta perluasan basis ekspor dengan diversifikasi produk bukan saja amat penting, tetapi boleh jadi merupakan satu-satunya penyelamat bagi posisi neraca pembayaran Indonesia yang cukup "peka" itu. Maka, deregulasi di sektor ini sebaiknya tak tertunda-tunda lagi. 3 . Sektor Riil. Di sini restrukturisasi sektor industri dari tahap substitusi impor ke tahap yang mengacu pada ekspor dan pasar dalam negeri yang lebih realistis - dilihat dari harga dan kualitas yang untuk itu perlu dibandingkan dengan harga barang impor. Di sini proteksi yang diperkenankan hanya tinggal tarif. Di sektor pertanian, faktor pembentukan harga terutama tampak pada komoditi beras. Subsidi pupuk dan insektisida, KUD sebagai lembaga stabilitasi harga atau kepanjangan tangan dari Bulog, serta floor and ceiling price Bulog sendiri, semuanya secara bersama-sama dan sendiri-sendiri menciptakan harga. Sebenarnya, pada komoditi beras sekalipun, pembentukan harga yang pantas tetaplah penting Pemikiran ulang mengenai komoditi pangan lainnya dan seg penanganannya pun perlu dipikir menjelang masa-masa Pelita V.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini