KALAU seorang direktur utama bank pemerintah dipanggil Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, tentu ada yang amat penting. Adalah Sasonotomo, Dirut Bank Tabungan Negara (BTN), yang mendapat kejutan itu. Hanya empat hari setelah Sasonotomo menghadap, 1 Juli lalu, di Graha Sawala Departemen Keuangan, Sumarlin melantik direksi baru BTN. Kedudukan Sasonotomo digantikan Mahfud Jakile, yang diperkuat tiga direktur baru: Asmuadji, Soerojo, dan Marsetyo M. Paham. Keempat tokoh itu bukan orang baru di BTN. Seusai pelantikan, pada hari yang sama langsung diselenggarakan serah terima jabatan di Gedung BTN, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta. Segalanya berlangsung ringkas, bahkan tanpa pidato. Sasonotomo tampak sedih campur haru. Tapi, "Saya lego lilo (ikhlas) meninggalkan BTN, dan saya sudah siap," ujar bekas dirut yang harus melepaskan iabatannya sebelum lima tahun masa kerjanya berakhir itu. Ia tampaknya tak mengerti, mengapa pergantian pimpinan BTN harus dilakukan begitu tiba-tiba. Tapi ia cenderung menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Ada saatnya bertemu dan berpisah. "Yang jelas, bukan karena saya," tambahnya. Apakah Sasonotomo dinilai gagal atau tak mencapai target? Tak jelas benar. "Tujuan pergantian itu agar BTN lebih efisien dan efektif," tutur Sumarlin. Di samping itu, BTN diharapkan tidak ketinggalan dengan bank lamnya, dalam pengerahan dana masyarakat. Maklum, program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) memerlukan investasi cukup besar. Dana itu, menurut Sumarlin, mesti digalang dari masyarakat. Produk-produk baru yang produktif dan merangsang harus diciptakan. Apalagi masih banyak dana masyarakat yang ditabung tak produktif. "Untuk itulah BTN diharapkan tidak tertinggal," katanya. Di samping itu, bank pemerintah mestinya tak lagi cuma mengandalkan suplai dana Bank Indonesia. Memang, BTN masih memanfaatkan kredit likuiditas Bank Indonesia sebesar 11,34%, atau Rp 116 milyar, dari total sumber dana BTN tahun lalu. Saat itu, dana yang digali BTN sekitar 32% atau Rp 329 milyar. Di antara dana BTN ini, hanya sebagian kecil -- sekitar Rp 10 milyar berasal dari Tabungan Uang Muka (TUM) yang sudah berjalan selama setahun. TUM berkurang menjadi Rp 15,5 milyar Maret lalu, padahal Februari mencapai Rp 17,8 milyar. Mungkin pengerahan dana masyarakat dari TUM ini yang dianggap kurang berhasil. Maklum, bunga TUM cuma 12%, dan daya tarik satu-satunya adalah harapan memperoleh rumah idaman. Sementara TUM belum memperlihatkan hasil yang nyata, tunggakan KPR sudah melejit sampai sekitar Rp 84,4 milyar. Padahal, seperti dikatakan Menteri Perumahan Rakyat Ir. Siswono Judo, husodo kepada TEMPO, uang sebesar itu bisa dipakai membangun 25 ribu unit rumah. Akibatnya, 25 ribu kepala keluarga terpaksa menunggu lebih lama untuk mendapatkan rumah. Lalu? Sasonotomo mengakui hal itu. Katanya, penyebab utama ada pada debitur yang kurang disiplin. Karena itulah TUM digerakkan. Dan BTN juga tak tinggal diam. Sejak awal tahun ini, nasabah yang menunggak didatangi petugas BTN. Kini banyak rumah BTN yang ditempeli stiker berwarna dasar merah, bertuliskan, "rumah ini dalam pengawasan BTN". Ini masih dilanjutkan dengan penagihan door to door, yang melibatkan polisi. "Kalau datangnya bersama polisi, 'kan debitur merasa segan," tutur Sasonotomo. Hasilnya lumayan. Sampai dengan Mei lalu, tunggakan yang bisa cair mencapai Rp 23 milyar. Sementara itu, ke dalam dilancarkan tertib administrasi dengan komputerisasi. Hal itu dilakukan setelah kantor pusatnya pindah dari Harmoni, tempat yang listriknya sering mati. Tapi kebijaksanaan yang muncul semasa Sasonotomo memimpin BTN membuat para developer jadi ketar-ketir. Misalnya, tipe rumah yang boleh dibangun kemudian dibatasi. Juga BTN menetapkan, pembangunan perumahan pada suatu lokasi tidak boleh lebih dari 30% tipe di atas T-36 (luas bangunan 36 m2). Malah, tipe terbesar, yakni T-70, tak lagi mendapat fasilitas kredit dari BTN. Ketentuan itu memang dimaksudkan untuk merangsang pembangunan tipe rumah kecil, seperti T-21. Maklum, target pemerintah dalam Pelita IV, yang akan berakhir Maret 1989, tidak kurang dari 300 ribu unit rumah -- Maret lalu sudah mencapai 229.555 unit. Tapi, "Developer hanya sering diminta mentoleransi keadaan intern BTN, sedangkan BTN tak mau memahami permasalahan intern developer -- jadi kurang ada interaksi," komentar Mohamad S. Hidayat, 42 tahun, pengusaha real estate di Bandung. Kini urusan target berpindah pada Jakile, 55 tahun, yang waktu lalu menjabat Direktur Pengawasan BTN. Telepon di kantornya sebentar-sebentar berdering, bertubi-tubi ucapan selamat -- termasuk interlokal -- dari developer masuk telinganya. "Ndak usah formal-formalan,... ini style keroncong . . . " ujarnya sembari terbahak ketawanya. Sebelum di BTN, Jakile pernah menjabat Kepala Urusan Pasar Uang dan Modal BI, pun pernah bertugas di Tokyo. "Jek, selamat, Jek. Hati-hati, semoga sukses," bisik Sasonotomo ketika menjabat tangan Jakile pada serah terima jabatan Direktur Utama BTN. Setelah itu, Sasonotomo mohon diri, meninggalkan BTN yang sudah 14 tahun digelutinya. Suhardjo Hs, Budiono Darsono, Bachtiar Abdullah, Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini