JEPANG, lagi-lagi, meniupkan rasa aman buat Indonesia. Di kantor Departemen Pertambangan dan Energi, pekan lalu, Menteri Ginandjar Kartasasmita mengumumkan harga minyak yang dijual ke Jepang masih sesuai dengan yang dianggarkan dalam APBN, yakni diatas 16 dolar AS per barel. Atau, tepatnya, 16,45 dolar per barel untuk penyerahan Juni dan Juli 1988. Tapi ini tidak berarti pemerintah telah menurunkan harga patokannya yang 17,56 dolar per barel. Ada dua perusahaan importir patungan antara Pertamina dan perusahaan Jepang FEOT dan JIOC, yang harus menanggung selisihnya. Menurut seorang sumber FEOT (Far East Oil Trading Co. Ltd.), belum lama ini Pertamina sudah sepakat untuk memberikan potongan harga sebesar 1,11 dolar per barel. Artinya, konsumen. Jepang membeli dengan harga, ya 16,45 tadi. Dan itu bukan untuk yang pertama kalinya. Menuru sumber tersebut kendati pemerintah Indonesia tidak mengumumkan dengan resmi, korting model ini juga terjadi pada penjualan bulan April dan Mei -- masing-masing 1,56 dan 0,96 dolar per barel. Sebelumnya, potongan ini tidak diumumkan, hingga banyak konsumen Jepang yang bingung, karena munculnya dua harga. Yang pertama, harga yang ditetapkan JIOC (Japan Indonesia Oil Company) dan FEOT yang kedua, harga lain dari Indonesia. Sekarang tidak perlu bingung, sebab semuanya diberitakan jelas dan gamblang. Maka, tenanglah pasar Jepang. "Soalnya, di antara negara-negara anggota OPEC, hanya Indonesia-lah yang menegaskan harga patokan," ujar sumber tadi. Terjadinya angka 1,11 dolar sebagai potongan, tentu, sesudah melalui diskusi yang cukup panjang, alot, dan seru. Jepang menginginkan, harga setingkat bulan April dengan diskon 1,56 dolar, sementara pihak Indonesia tetap bertahan pada harga bulan Mei, yang diskonnya hanya 0,96 dolar AS. "Akhirnya, kami sepakat di pertengahan kedua angka itu," kata sumber FEOT. Tiap hari FEOT dan JIOC mengimpor minyak Indonesia sekitar 258 ribu barel sekitar 50,5% dari total ekspor minyak Indonesia ke Jepang, yang mencapai 511 ribu barel sehari. Jadi, wajar kalau penawaran yang diajukannya dipertimbangkan dengan matang. Apalagi, terhitung 1 Agustus depan, pemerintah Jepang akan memberlakukan pajak impor yang baru. Kelak, bea masuk minyak mentah 530 yen per satu kiloliter. Ditambah pajak minyak impor 2.040 yen untuk setiap satu kiloliter. Maka, tidaklah aneh kalau akhir-akhir ini, menjelang berlakunya pajak baru, permintaan Jepang cenderung meningkat. Mereka yang sementara ingin mengelak dari kenaikan pajak harus membeli dengan pemuatan ke kapal paling lambat pertengahan Juli ini. Setelah itu volume permintaan akan turun. Kalangan perminyakan Jepang menduga, permintaan akan anJlok sampai 20%. Kalau diterjemahkan dalam angka, ekspor minyak Indonesia ke sana diperkirakan tinggal sekitar 409 ribu barel. Itulah sebabnya, importir minyak di Jepang masih banyak yang tidak puas dengan harga yang telah disepakati. Mereka memperhitungkan dengan volume impor yang jor-joran, maka akhir Juli nanti akan terjadi over supply. "Kami memang setuju diskon 1,11 dolar, tapi itu untuk penyerahan Juni lalu," kata seorang importir. Sedangkan untuk penjualan Juli, maunya diskon sesuai dengan yang diberikan bulan April, alias 1,56 dolar per barel. Rasa tidak puas ini rupanya sulit dibendung, malah belakangan disertai gertakan. Kalau tetap mahal, "Kemungkinan besar kami akan mengimpor dari Angola seperti Maret lalu," ujar seorang importir lainnya. Namun, waktu itu Indonesia tetap berpegang pada harga patokannya (GSP: government selling price) yang 17,56 dolar. Maka, tak ayal lagi, importir terbesar Nippon Oil Co. Ialu membeli minyak Cabinda dari Angola, yang hampir sama jenisnya dengan Minas. Lebih murah, memang. Minyak dari pantai barat Afrika itu dibeli di pasar tunai dengan harga cif (sampai gudang pembeli) 14,25 dolar per barel. Ini berarti harga fob, atau penyerahan sampai di kapal, hanya sekitar 12 dolar. Hal yang sama juga pernah terjadi Juni tahun lalu, ketika Jepang mengimpor Cabinda sebanyak 609 ribu barel. Kini, kabar buruk yang bertiup, membisikkan, lagi-lagi Nippon Oil Co. akhir Juni lalu sudah memutuskan untuk membeli Cabinda sebanyak 950 ribu barel. Dengan transaksi spot, konon, harga cif-nya hanya 15,05 dolar. Gawatnya, bukan hanya Nippon tapi Mitsubishi pun akan membeli Cabinda sebanyak 700 ribu barel dengan harga 15,20 dolar per barel. Tujuannya, "Apa lagi kalau bukan untuk menekan Pertamina?" kata sumber TEMPO di Tokyo. Soalnya, bukan hanya harga produksi Angola itu yang terbilang rendah, tapi juga harga minyak Dubai, yang di pasar tunai 30 Juni lalu, jatuh sampai 12,55 dolar. "Jadi, pantas, 'kan, kalau kami tidak puas pada Pertamina," katanya lebih lanjut. Tidak syak lagi, dalam kondisi sekarang, pembeli potensial seperti Jepang menggunakan peluang untuk menekan harga. Apalagi di antara sesama negara produsen, ada yang nekat banting harga. Persatuan Emirat Arab (UEA) misalnya. Negara ini menolak kuota produksi OPEC, yang menetapkan 948 ribu barel per hari. Alasannya, jumlah tersebut tidak sesuai dengan kapasitas produksinya yang 1,5 juta barel per hari. Menteri Ginandjar tak menyembunyikan rasa kecewanya atas tindakan UEA. Bagaimana tidak, gara-gara satu pernyataan saja, harga minyak bisa anjlok. Maka, berkomentarlah Ginandjar -- dengan gusar -- "Negara-negara OPEC seharusnya menahan diri untuk tidak membuat pernyataan seenaknya." Budi Kusumah, Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini