TANGGAL 1 Juli 1988 bagaikan angka keramat bagi sebagian pengusaha, terutama mereka yang bergerak di sektor emas dan rotan. Di sektor emas, pada 1 Juli penambangan liar dihapuskan. Di sektor rotan, pada hari yang sama pemerintah menghentikan ekspor rotan setengah jadi (RSJ). Begitu terburu-buru, tampaknya. Akankah dalam SK Menteri Perdagangan yang dikeluarkan pada tahun 1986, pemerintah baru akan menyetop ekspor RSJ Januari tahun depan. Lantas mengapa dipercepat? Pemerintah menghitung, kalau RSJ tetap diekspor, akan berakibat deposit rotan mentah cepat habis. Padahal, kabarnya, rotan tidak bisa dibudidayakan. Dengan kata lain, kelestarian deposit rotan tidak akan bisa dipertahankan bila diambil lebih dari kapasitasnya (600 ribu ton setahun). Soalnya, tanaman ini memiliki masa tumbuh 5 - 7 tahun. Ditambah lagi -- mungkin ini alasan yang utama -- dengan mengekspor rotan jadi (RJ), maka devisa yang bisa diperoleh tentu lebih besar. Lihat saja hasil ekspor tahun lalu. Dari 148 ribu ton yang diekspor senilai 216 juta dolar AS, 88,2% di antaranya, atau senilai 151,4 juta dolar, diperoleh dari RSJ yang bervolume 130 ribu ton. Sedangkan dari RJ yang berupa keranjang, lampit, kursi rotan, dan sejenisnya, devisa yang diperoleh 63,5 juta dolar -- dengan volume 17 ribu ton. Dari angka-angka itu bisa dihitung nilai rata-rata dari setiap kilogram rotan yang diekspor. RSJ memiliki nilai rata-rata 1,16 dolar setiap kilogram, sedangkan RJ per kilogramnya bisa bernilai 3,73 dolar AS. Artinya, nilai tambah yang diperoleh dari RJ tiga kali lipat nilai RSJ. Ini sudah merupakan alasan kuat untuk menyetop ekspor RSJ. Di samping itu, sebagal negara yang memasok 80% kebutuhan rotan dunia, pemerintah merasa kurang enak, karena devisa yang dihasilkan hanya 5% dari jumlah total lalu lintas ekspor dunia. Itulah sebabnya mungkin, ekspor RSJ cepat disetop. Apa kata eksportir? "Keputusan pemerintah yang dipercepat ini cukup mengejutkan kami," ujar Fadjar Ranginan, Direktur Guinco Kota Mas (GKM) Surabaya, yang memproduksi RSJ. Sejak berdiri tahun 1984, tiap bulan GKM mengekspor 400 ton RSJ ke Taiwan, Hong Kong, dan AS. Untunglah, antisipasi cepat dilakukan. Dengan menambah investasi Rp 3 milyar, GKM kini otomatis bisa memproduksi RJ berupa mebel. Adapun nasib produsen RSJ tampaknya sudah diperhitungkan pemerintah. Menurut Kumhal Jamil, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, 80% produsen RSJ siap terjun ke RJ. "Bahkan keputusan ini telah mendorong mereka secepatnya terjun ke sektor RJ," tuturnya. Tak jelas dari mana data ini diperoleh. Kumhal menilai pengusaha Indonesia punya kemampuan investasi yang cukup baik. Dalam waktu singkat -- sejak larangan ekspor rotan mentah, 1986 -- banyak peng usaha yang tampak bergairah melakukan investasi di sektor RSJ. Juga, hanya dalam dua tahun, sekitar 210 industri menengah dan besar muncul di sektor rotan (RJ dan RSJ). Belum terhitung 36 ribu unit pengolahan yang termasuk dalam kategori kecil. Ini menggembirakan. Namun, di situ terselip kekhawatiran bahwa kelestarian deposit rotan akan terancam. Itulah beberapa persoalan dalam negeri. Lain dengan gejolak yang muncul di negara pengimpor. Taiwan, misalnya, kini melolong-lolong. Mereka selama ini sangat mengandalkan RSJ dari Indonesia. Akibatnya -- terbetik berita -- banyak industri RJ Taiwan akan hijrah ke Indonesia. Calvin Chen, Direktur Divisi Informasi dan Komunikasi Kadin Taiwan, berkomentar, "Besar kemungkinan, akan banyak pabrik rotan Taiwan yang pindah ke Indonesia." Pertimbangannya, bukan saja di Indonesia mudah diperoleh bahan baku dengan harga lebih murah, biaya tenaga kerja pun jauh lebih rendah. Ini sangat menawan. Dan gejala itu memang sudah tampak sejak sekarang. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Pusat Analisa dan Informasi Keuangan Departemen Keuangan, di sini telah muncul secara diam-diam 80 pengusaha asing dari Taiwan, Korea, dan Hong Kong. Tidak secara formal, memang. Mereka datang langsung berpatungan dengan pengusaha Indonesia yang sudah dikenalnya. Adapun sektor yang dimasuki, selain alatalat elektronik, juga industri rotan jadi. Sedangkan yang formal -- ada empat PMA yang akan masuk ke industri rotan telah disetujui BKPM. Ini cocok dengan perhitungan pemerintah, ketika ada rencana pencabutan negaranegara empat macan (Korea, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura) dari dakar GSP. Ketika itu, pemerintah dan kalangan pengusaha swasta nasional sudah memperkirakan akan membanjirnya investor dari empat negara tersebut. Ini berarti, keputusan Menteri Perdagangan yang mempercepat penghentian ekspor RSJ boleh dibilang turut mendorong investor Taiwan datang ke Indonesia. Masalahnya kini, siapkah industri RJ kita? Bob Hasan, Ketua HPRI (Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia), dengan tenang menjawab, "Kenapa tidak? Buktinya, kayu lapis yang modalnya perlu banyak dan teknologinya lebih canggih bisa juga kita tangani." Menurut Bob, industri RJ hanya membutuhkan investasi Rp 5 milyar. Jadi, tidak sulit bagi industri RSJ untuk pindah ke RJ. Ia berani memperkirakan, dalam waktu enam bulan paling sedikit akan muncul sekitar 200 industri rotan jadi. Karena itu, Bob tidak setuju kalau ada investor asing ikut terjun ke sektor ini. "Sebaiknya PMDN saja, sebab semuanya, modal maupun teknologi, sudah bisa kita tangani sendiri," ujarnya yakin. Bahkan, menurut Bob, dalam tahun ini juga rotan jadi Indonesia akan berhadapan langsung dengan produk Taiwan di pasaran internasional. Dan itu tidak lama. "Mereka akan mati dalam satu atau paling lama dua tahun lagi," ucap Bob. Alasannya: persediaan RSJ Taiwan lama-kelamaan habis juga. Perkiraan yang lebih berani muncul dari Sudarto, Direktur Eksekutif HPRI. Katanya, persediaan rotan Taiwan hanya bisa bertahan paling lama enam bulan. "Jadi, waktunya pas, begitu bahan baku mereka habis, RJ kita masuk ke pasar," demikian ia memastikan. Optimistis betul kedengarannya. Lantas bagaimana nasib pengumpul rotan? HPRI kini sudah menyiapkan terminal bahan baku di empat tempat: Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Medan. Kelak merekalah yang akan menampung hasil dari petani pengumpul, dan menjualnya kembali pada pabrik RJ yang tidak memiliki HPH. Sebuah gagasan ideal, yang mudah-mudahan terlaksana. Budi K., Linda D., Bachtiar A., Herry M., dan Sarluhut N.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini