Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT) Ifdhal Kasim menilai pemerintah tak serius menekan angka konsumsi rokok, terutama perokok anak.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengatakan pemerintah berencana menaikkan harga jual rokok di tingkat industri.
Peneliti dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Beladenta Amalia, menuturkan peningkatan harga rokok tak cukup untuk menekan konsumsi rokok.
IFDHAL Kasim kecewa lantaran pemerintah batal menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan. Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT) itu menilai pemerintah tak serius menekan angka konsumsi rokok, terutama perokok anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami sangat kecewa atas sikap pemerintah yang tidak konsekuen dengan kebijakan pengendalian rokok," tutur Ifdhal kepada Tempo, kemarin, 25 September 2024. Dia berujar langkah otoritas tak selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2024 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur pengendalian zat adiktif produk tembakau.
Padahal, tutur Ifdhal, kenaikan cukai rokok dapat menunjukkan komitmen menurunkan laju prevalensi perokok anak. Terlebih, penurunan konsumen rokok usia dini masih jauh dari target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2024, yaitu 8,7 persen. Adapun Badan Pusat Statistik mencatat persentase jumlah perokok usia 15-19 tahun pada 2023 mencapai 9,62 persen.
Meski Kementerian Keuangan membatalkan rencana kenaikan tarif CHT, pemerintah sedang mempertimbangkan kebijakan alternatif untuk menurunkan konsumsi rokok. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengatakan pemerintah berencana menaikkan harga jual rokok di tingkat industri. "Kami akan review dulu dalam beberapa bulan ke depan," ujar Askolani, Senin, 23 September 2024.
Namun Ifdhal menilai langkah menaikkan harga jual rokok bukan kebijakan alternatif yang tepat. Untuk menekan konsumsi rokok, terutama pada anak-anak, ia berpendapat seharusnya pemerintah melarang penjualan rokok ketengan. Selain itu, pemerintah menerapkan zonasi penjualan, larangan iklan rokok, dan larangan sponsor di sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi berujar penentuan harga jual rokok eceran memang salah satu komponen kebijakan fiskal untuk mengendalikan konsumsi. Namun ia menekankan penentuan harga jual eceran saja tidak bisa diandalkan karena dapat diakali industri.
"Masih ada potensi menimbulkan ketidakpatuhan, seperti adanya diskon, promosi, dan sebagainya," ujar Nina. Jika hal ini terjadi, strategi itu akan diikuti oleh retail terendah untuk menurunkan harga.
Nina juga menekankan bahwa pemerintah semestinya mendorong kebijakan non-fiskal yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2024. Di antaranya, melarang iklan di media sosial dan perluasan peringatan kesehatan bergambar.
Perokok-di-Bawah-Usia
Sayangnya, kata dia, upaya-upaya tersebut banyak ditolak oleh kelompok tertentu yang lebih mementingkan kepentingan bisnis. Padahal kebijakan fiskal dan non-fiskal harus dilakukan secara komprehensif jika pemerintah bersungguh-sungguh hendak menurunkan prevalensi perokok, terutama perokok anak.
Peneliti dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Beladenta Amalia, menuturkan peningkatan harga rokok tak cukup untuk menekan konsumsi rokok. Pasalnya, upaya menaikkan harga jual rokok yang disebutkan oleh Dirjen Bea dan Cukai mengacu pada harga jual eceran yang sudah diatur pada tahun-tahun sebelumnya. Terbukti, tutur dia, prevalensi perokok anak masih meningkat.
Perokok-di-Bawah-Usia
Beladenta menekankan besaran harga jual eceran yang akan dinaikkan oleh pemerintah juga perlu disorot. Apabila kenaikan harga rokok tidak signifikan atau rendah, anak-anak dan remaja masih bisa membelinya. Sekarang pun setelah dinaikkan cukainya secara multiyear, anak-anak masih bisa membeli rokok.
Ia menuturkan saat ini masih banyak golongan rokok murah yang mudah diakses anak-anak, misalnya sigaret kretek tangan. Harga rokok tersebut hanya belasan ribu rupiah per bungkus karena tarif cukainya masih rendah. "Jadi tidak bisa jika tarif cukainya tak dinaikkan atau menaikkan harga jual eceran saja," kata Beladenta.
Kalaupun kenaikan tarif CHT dibatalkan, menurut dia, pemerintah masih perlu menyederhanakan struktur cukai. Artinya, golongan harga rokok atau segolongan tarif cukai yang ada harus dibuat lebih sederhana.
Sekarang tarif CHT berjumlah delapan layer. Menurut Beladenta, seharusnya itu berjumlah 3-5 layer saja. Sebab, dengan jumlah layer yang sekarang, harga rokok menjadi sangat bervariasi. Dari yang belasan ribu rupiah hingga Rp 40 ribu per bungkus.
Seorang warga membeli rokok ketengan di Kawasan Pulomas, Jakarta. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Langkah selanjutnya, tutur Beladenta, adalah menghapus kebijakan diskon rokok. Sebab, diskon membuat harga rokok di pasar bisa turun menjadi 80 persen dari harga jual eceran minimum. Misalnya, jika harga jual eceran minimum Rp 1.000 per batang, dengan diskon, harganya hanya Rp 800 di pasar.
Beladenta juga berharap pemerintah membuat perencanaan yang jelas ihwal upaya menekan prevalensi perokok anak. Dengan demikian, prediksi penurunan konsumsi rokok oleh anak bisa lebih terukur.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan masih ada cara lain untuk menekan konsumsi rokok anak meski cukai rokok batal dinaikkan. "Kan masih banyak intervensi lainnya," ujar Nadia.
Nadia berujar saat ini Kementerian Kesehatan tengah mendorong standardisasi kemasan untuk meningkatkan peringatan dan informasi tentang bahaya rokok. Selain itu, Kementerian Kesehatan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk meregulasi iklan rokok.
Pemerintah pusat juga sedang mendorong penerapan kawasan tanpa rokok di tujuh tatanan untuk menekan prevalensi perokok, terutama anak-anak. Tujuh tatanan tersebut adalah tempat proses belajar-mengajar, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, dan tempat umum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo