Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Pasar Lebih Kinclong

Pelaksanaan revitalisasi pasar tradisional molor. Pungutan kios baru memberatkan pedagang.

27 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasar Mayong di Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, terasa sesak. Seribu lebih pedagang pada Kamis pekan lalu itu berjualan di bangunan utama pasar. Ini lantaran hampir 300 penghuni kios sayap timur, barat, dan bagian selatan mengungsi ke tempat itu. Sudah dua pekan lapak mereka dipugar.

Pedagang yang beruntung bisa menempati lapak kosong di los bagian dalam. Yang lain membikin bedeng alias meja mini dari papan tripleks, seng, atau kayu, berimpitan-impitan. Berisik suara orang memalu paku atau mengetuk seng dan kayu terasa memusingkan ketika Tempo berkunjung ke sana. ”Kami diberi waktu tiga hari untuk pindah,” kata Tarmi, pedagang beras.

Revitalisasi Pasar Mayong dimulai pada 18 Juli lalu. Pemerintah mengucurkan Rp 12,5 miliar untuk membangun 300 unit kios bagi 1.340 pedagang. Pasar Kota Jepara juga kebagian jatah, Rp 2,5 miliar. Proyek ini bagian dari program stimulus ekonomi untuk menggerakkan perekonomian domestik ketika krisis finansial global melanda.

Ada 36 unit pasar di 23 kabupaten yang kecipratan dana revitalisasi. Bujetnya, Rp 215 miliar, berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu telah menyerahkan daftar isian pelaksanaan anggaran kepada bupati dan wali kota pada 27 Mei lalu—molor dari rencana awal Maret. Targetnya: proyek stimulus pasar rampung Oktober, atau paling lambat sebelum tutup tahun.

Menurut Sekretaris Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Gunaryo, mayoritas proyek memasuki tahap persiapan. Misalnya proses tender, masa sanggah, atau malah sudah teken kontrak dengan pemenang tender. Ada lima proyek yang paling maju, di antaranya di Gowa, Sulawesi Selatan, serta di Demak dan Jepara, Jawa Tengah.

Revitalisasi pasar, Gunaryo menambahkan, memperbaiki pasar yang telah ada, menjadikannya lebih bersih serta cukup penerangan dan sirkulasi udara, bukan membangun yang baru. Harap annya, bila pasar tradisional nyaman, pengunjung makin banyak, sehingga potensi pendapatan pedagang pun meningkat.

Riset lembaga survei Nielsen menunjukkan pasar tradisional masih dilirik konsumen. Setidaknya Rp 500 ribu per bulan isi dompet ibu-ibu mengalir ke sini. Pada 2008, 62 persen konsumen di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi belanja daging di pasar. Cuma 11 persen yang ke pasar swalayan modern. Sedangkan 53 persen konsumen membeli ikan di pasar basah dan 7 persen di pasar modern.

Toh, beberapa kelompok pedagang menolak program revitalisasi. Misalnya Persatuan Pedagang Pasar Tradi sio nal Jawa Barat di Bandung dan pedagang pasar tradisional Kota Semarang. Alasannya, mereka tak sanggup membayar lapak baru yang harganya naik berlipat-lipat. Mereka pun menuntut pengelolaan pasar yang melibatkan pedagang.

Di Mayong, pemu garan pasar juga tidak lewat rembukan dengan Persatuan Pedagang dan Jasa setempat. Akhirnya, para pedagang mela yangkan surat, meminta Bupati Jepara woro-woro soal renovasi. Mereka ingin dilibatkan dalam penetapan harga kios baru.

Gunaryo memastikan tak ada pu ngutan berlebih atas kios baru. Kalaupun pedagang dikutip, nilainya tidak besar, untuk biaya retribusi. Dana yang terkumpul menjadi pendapatan asli daerah untuk pengelolaan pasar. Misalnya ongkos keamanan, kebersihan, penerangan, dan air bersih. Pungutan ini merupakan konsekuensi atas peningkatan fasilitas. ”Ini wajar,” katanya.

Nyatanya, pengelola Pasar Mayong telah mengutip biaya administrasi Rp 6.000 dua bulan sebelum pemugaran. Itu belum termasuk pungutan Rp 55 ribu per meter bagi pemilik kios. Bila sertifikat kios atas nama orang lain, ada biaya balik nama Rp 500-750 ribu per dua meter. Jamaah, pedagang konfeksi, mengeluarkan Rp 1,5 juta untuk ongkos balik nama dua kiosnya—masing-masing dua meter. Padahal mayoritas pedagang masih mengantongi izin kepemilikan hingga 2010.

Harga lapak, menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jepara Hery Purwanto, saat ini sedang dirumuskan. Pilihannya: membayar di muka 25 persen, sisanya diangsur tiga tahun. Kemungkinan ini akan disosialisasi kepada pedagang setelah ada persetujuan dari bupati.

Persoalan pasar tradisional, menurut Risa Bhinekawati, Direktur Eksekutif Yayasan Danamon Peduli—yang berpengalaman dua tahun menggelar aksi sosial revitalisasi pasar—bukan cuma di pedagang. Selama ini, pedagang dianggap biang dari pasar yang jorok, tidak tertib, atau amburadul. Padahal masalah manajerial penting dirapikan. Risa punya cerita seru ketika mengurus perizinan program pengolahan sampah pasar. Banyak pintu yang mesti dilewati. ”Tidak jelas holding atau ownership-nya,” katanya.

Risa mengatakan pihak yang mengurus pasar terlalu banyak. Dari Departemen Perdagangan, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Departemen Kesehatan, hingga Kementerian Lingkungan Hidup terlibat. Akibatnya, hal yang sepele seperti database pasar pun tak ada. Memang ada catatan jumlah pasar tradisional 13.450. Tapi tidak jelas berapa yang tergolong pasar kecamatan atau pasar desa.

Retno Sulistyowati, Bandelan Amarudin (Jepara)

Penerima Stimulus Revitalisasi Pasar Tradisional *Miliar rupiah

Sumatera Utara

  • Kabupaten Tapanuli Utara: 15,5
  • Kota Medan: 5
  • Kota Pematangsiantar: 10

    Kepulauan Riau

  • Kabupaten Anambas: 10

    Jawa Barat

  • Kabupaten Bogor: 15

    Jawa Tengah

  • Kabupaten Demak: 13
  • Kabupaten Jepara: 15
  • Kabupaten Kudus: 12
  • Kabupaten Pekalongan: 8,5
  • Kabupaten Banjarnegara: 10

    Yogyakarta

  • Kabupaten Bantul: 3

    Jawa Timur

  • Kabupaten Probolinggo: 10

    Kalimantan Barat

  • Kota Pontianak: 15

    Bali

  • Kabupaten Bangli: 5

    Sulawesi Selatan

  • Kabupaten Barru: 2,5
  • Kabupaten Bone: 12,5
  • Kabupaten Gowa: 20
  • Kabupaten Jeneponto: 7,5
  • Kabupaten Maros: 3
  • Kabupaten Sinjai: 4
  • Kota Makassar: 12,5

    Sulawesi Utara

  • Kabupaten Sangihe: 3

    Maluku

  • Kabupaten Buru: 3
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus