Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA dekade merintis perusahaan membuat Zhang Huarong tahan banting menghadapi guncang an. Itu sebabnya, meski sempat tergelincir gara-gara krisis finansial global, Presiden Direktur Hua Jian Group itu masih yakin akan nasib perusahaannya. ”Kami kembali mendapat pesanan sepatu cukup banyak hingga Agustus nanti,” kata Zhang ketika bertemu dengan Tempo di Dongguan, Cina, musim panas lalu. Tanda-tanda pemulihan itu, kata dia, muncul sejak awal triwulan kedua 2009.
Situasi ini bertolak belakang dengan bulan sebelumnya, ketika produksi perusahaan sepatu itu melorot gara-gara jumlah pesanan di akhir triwulan pertama luruh sepuluh persen. Tapi situasi membaik setelah merek sepatu ternama semisal Nine West, DKNY, Clarks, Coach, Kenneth Cole, dan Vera Wang kembali menggenjot jumlah perminta an. Sudah belasan tahun perusahaan yang didirikan Zhang di Desa Houxi, Provinsi Jiangxie, itu menerima pesanan dari merek-merek terkenal. Itu sebabnya ia memperkirakan pada Oktober nanti semuanya sudah kembali normal.
Apalagi Biro Nasional Statistik Cina melansir kabar menjanjikan. Kamis dua pekan lalu, lembaga itu mengumumkan pertumbuhan triwulan kedua negeri Paman Deng itu mencapai 7,9 persen. Ini melampaui ekspektasi banyak orang. Maklum, pada triwulan perta ma, ekonomi negeri itu ”cuma” menggeliat di 6,1 persen angka terendah sejak 1999. Cina kian perkasa, sementara perekonomian Amerika Serikat dan Jepang megap-megap.
Tumbuhnya ekonomi negeri itu tak lepas dari paket stimulus yang digelontorkan pemerintah Cina sejak November lalu. Jumlahnya US$ 585 miliar (sekitar Rp 5.841 triliun atau 80 kali paket stimulus pemerintah Indonesia). Sebagian besar dana itu digelontorkan buat investasi pemerintah, yang sejak awal tahun naik 30 persen.
Tiga perempat dari belanja pemerintah itu dicurahkan untuk proyek infrastruktur. Tak aneh bila pengeluaran pemerintah untuk pembangunan rel kereta dan jalan-jalan mencapai dua kali lipat selama setahun terakhir. Proyek-proyek baru itu diharapkan membuka lapangan kerja bagi para buruh migran yang terkena pemutusan kerja akibat loyonya ekspor. Apalagi UBS—perusahaan kaliber dunia yang bergerak di bidang pela yanan jasa finansial—menaksir jumlah penganggur di Cina akan bertambah 15 juta orang tahun ini.
Daniel Soh, ekonom Forecast di Singapura, mengatakan paket stimulus itu terbukti mampu mengompensasi kontraksi yang terjadi akibat berkurangnya aktivitas ekspor. Hingga bulan lalu, nilai ekspor negeri itu anjlok 21,8 persen dibanding bulan yang sama tahun lalu.
Pertumbuhan Cina itu juga ditopang masifnya kucuran kredit baru perbank an. Seorang eksekutif bank pelat merah negeri itu bercerita, dalam sebuah pertemuan karena kuatnya kontrol peme rintah semua pemimpin bank milik negara mengacungkan tangan ketika pemerintah menanyakan kesediaan mereka mengucurkan pinjaman.
Uang tunai dalam jumlah jumbo itu diberikan buat perusahaan negara dan swasta untuk meredam tingkat pengang guran, juga untuk investasi peralatan. Pada semester pertama tahun ini saja, pinjaman yang digelontorkan US$ 1,08 triliun. Jumlah itu tiga kali lipat dari kucuran kredit periode yang sama tahun sebelumnya. ”Kucuran kredit ini bagus untuk aktivitas ekonomi sepanjang dapat dikendalikan,” kata Lei Lei Song, ekonom Asian Development Bank.
Panasnya mesin ekonomi Cina juga didorong oleh larisnya penjualan properti dan otomotif serta bangkitnya industri manufaktur berkat proyek-proyek infrastruktur tadi. BYD, salah satu perusahaan otomotif yang tengah naik daun di negeri itu, memproyeksikan penjualan 400 ribu unit mobil pada tahun ini. Manajer Regional BYD David Zhou mengatakan, setelah meluncurkan mobil hibrid akhir tahun lalu, perusahaan yang berpusat di Shenzhen itu juga berancang-ancang meluncurkan mobil listrik akhir tahun ini.
Di tengah resesi global, produk ma nufaktur di negeri itu bisa tumbuh se puluh persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Impor komoditas melejit. Harga komoditas dunia pun naik. Harga saham di indeks Shanghai ter kerek 75 persen sepanjang tahun ini.
Hasil manis yang diperoleh Cina ini bukan tanpa cemas. Besarnya proporsi stimulus untuk belanja pemerintah itu justru membuat banyak ekonom waswas, termasuk di kalangan pemerintah Cina sendiri. ”Situasi sulit dan tantang an untuk perkembangan ekonomi saat ini masih besar,” kata Li Xiaochao, juru bicara Biro Nasional Statistik, seperti dikutip BBC. Fundamental ekonomi masyarakat, kata dia, belum stabil.
Li mengakui pemulihan ekonomi negeri itu masih lemah dan belum seimbang. Buktinya, pendapatan per kapita masyarakat urban naik 11,2 persen, tapi pendapatan masyarakat pedesaan hanya naik 8,1 persen. Ketidakpastian dan volatilitas dalam proses pemulihan juga masih menjadi ancaman. Ironisnya, lebih dari 16 persen dari total dana stimulus diinvestasikan secara ilegal ke pasar saham.
Belum lagi persoalan kredit macet yang bisa menjadi gelembung krisis baru, yang suatu saat bisa meledak. Apalagi pinjaman baru perbankan itu banyak mengalir ke entitas bisnis, bukan ke konsumen.
Itu sebabnya Li Mingkang, Direktur China’s Banking Regulatory Commission, meminta semua bank di Cina daratan meningkatkan cadangan risiko 150 persen dari jumlah pinjaman yang bermasalah. Semua bank di negeri itu diminta menyediakan tambahan fulus US$ 10 miliar.
Usul itu muncul untuk mengantisipasi menurunnya kualitas aset bank dan potensi naiknya pinjaman bermasalah. ”Melejitnya pertumbuhan pinjaman bank telah memicu akumulasi risiko,” katanya. ”Apalagi beberapa bank memberikan pinjaman tanpa uji tuntas.” Pinjaman bermasalah di perbankan Cina daratan saja saat ini US$ 65 miliar. Dan kenaikan provisi pada utang bermasalah itu bisa menciptakan persoalan serius tahun depan.
Kepala Riset Ekonomi UBS Wang Tao mengatakan kenaikan pertumbuh an ekonomi Cina bisa berkesinambung an, bisa juga tidak. Ia menyoroti fakta bahwa sektor ekspor negeri itu masih remuk akibat resesi global. Seperempat hasil ekspor Cina selama ini, kata Deputi Direktur Umum Hubungan Internasional Provinsi Guangdong Su Caifang, bersumber dari provinsi itu. Su mencatat 40 persen ekspor dari provinsi itu mengalir ke Amerika Serikat.
Kalaupun akselerasi pertumbuhan ekonomi Cina berlanjut, negara itu tidak bisa dijadikan sandaran untuk menyelamatkan seluruh dunia agar keluar dari jurang resesi, bahkan untuk kawasan Asia sekalipun. Sebab, kata Lei Lei Song, permintaan impor Cina dari pasar dunia berkembang bergantung pada kemampuannya meningkatkan ekspor. Tanpa pulihnya permintaan di pasar global, Cina tidak dapat dijadikan sandaran sebagai lokomotif pendorong ekonomi Asia.
Apalagi produk ekspor Cina seperti elektronik dan garmen juga banyak diproduksi negara-negara lain di Asia. Sulit bagi negara lain merambah pasar Cina karena pabrik-pabrik di negeri itu tengah berupaya mengalihkan ceruk bisnisnya dari pasar ekspor ke pasar domestik.
Masalah lainnya, konsumsi selama ini didorong pemerintah, bukan individu. Pinjaman dari perbankan tadi, misalnya, oleh pemerintah provinsi disa lurkan untuk pembelian apartemen atau untuk meningkatkan subsidi buat pa brik yang sudah sekarat.
Hal ini bisa dimaklumi mengingat selama empat dekade terakhir konsumsi masyarakat Cina tidak memainkan peran besar dalam pertumbuhan negeri itu. Pada 1968, belanja konsumen lebih dari 60 persen produk domestik bruto. Tahun lalu, konsumsi rakyat Cina cuma 36 persen produk domestik bruto. ”Setidaknya butuh lima hingga delapan tahun untuk mengembangkan pasar domestik Cina,” kata Allan S.K. Lam, Vice General Manager Hua Jian Group.
Untungnya, Cina memiliki cadangan devisa yang melimpah, lebih dari US$ 2 triliun. Bagaimana bila seluruh duit itu dibelanjakan? Menurut Departemen Keuangan Kota New York, dengan duit segede itu, Cina bisa membeli seluruh lahan dan properti di New York, Los Angeles, dan Boston.
Yandhrie Arvian (Guangzhou, Dongguan, Shenzhen, WSJ)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo