Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#CC0000>Farmasi</font><br />Bergelut di Onkos Promosi

Pemerintah menetapkan biaya promosi obat dua persen dari penjualan. Keputusan ini dinilai mencekik kelangsungan perusahaan farmasi.

27 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anthony Charles Sunarjo tampak gembira ketika keluar dari ruang tamu Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution. Kamis sore pekan lalu, Ketua Gabungan Peng usaha Farmasi itu bermaksud mempertanyakan keputusan Menteri Keuangan tentang pagu baru biaya promosi obat. ”Kami menanyakan latar belakang kebijakan itu, dan mengapa diberlakukan mundur,” katanya kepada Tempo. ”Akan ada pertemuan selanjutnya.”

Pada 10 Juni lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandatangani Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.03/09 tentang biaya promosi dan penjualan yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto. Aturan ini khusus untuk perusahaan rokok dan farmasi. Pagu promosi farmasi ditetapkan dua persen dari penjualan bruto, atau maksimal Rp 25 miliar per tahun. Bila biaya promosi melebihi batas tersebut, akan dikenakan pajak 30 persen. Peraturan ini berlaku mundur hingga 1 Januari 2009.

Saat mengumumkan pemberlakuan keputusan ini awal Juli lalu, Direktur Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan Djoko Slamet Surjoputro mengatakan aturan itu merupakan pengganti edaran Direktur Jenderal Pajak 1990 yang sangat longgar. ”Agar ada kepastian soal pe ngeluaran yang bisa dibebankan ke pos biaya dan yang tidak,” kata Djoko.

Misalnya penjualan bruto sebuah per usahaan farmasi Rp 3,4 triliun setahun. Nah, bila peraturan baru itu dimasukkan, artinya perusahaan tersebut hanya bisa mengeluarkan biaya promosi setahun Rp 68 miliar. Tapi jumlah itu pun masih harus diturunkan menjadi Rp 25 miliar, sesuai dengan peraturan. Bila biaya promosi lebih tinggi daripada pagu tersebut, akan disunat pajak 30 persen.

Masalahnya bagi Gabungan Peng usaha Farmasi, dua persen itu terlalu kecil untuk biaya promosi. Apalagi jika dibandingkan dengan rata-rata belanja promosi perusahaan obat di seluruh dunia, yang tak kurang dari 25 persen pendapatan bruto per tahun. ”Biaya promosi Kalbe Farma tahun lalu 32,7 persen dari nilai penjualan,” kata Anthony. ”Kalau kini dibatasi hanya dua persen dan lebihnya bayar pajak 30 persen, kami bisa kolaps.”

Perusahaan obat, menurut Anthony, sangat bergantung pada promosi. Jika iklan turun, penjualan terjun. Tahun lalu, total biaya promosi perusahaan farmasi mencapai Rp 2,7 triliun. Menurut Anthony, itu tetap masih jauh lebih kecil dibanding promosi perusahaan rokok dan telekomunikasi. ”Kami merasa perlu klarifikasi belanja promosi kami biar jelas, tidak hanya dari isu-isu,” katanya.

Yang dia maksud dengan ”isu” adalah soal servis perusahaan farmasi kepada dokter yang meresepkan obat mereka. Bentuknya macam-macam: dari biaya mengikuti seminar di luar negeri hingga mobil baru. Inilah yang menurut Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta membuat dokter meresepkan obat mahal, dan harga obat pun mahal. Menurut dia, di negara lain, harga obat paten paling mahal dua kali obat generik. Di sini, selisihnya bisa sampai 20 kali lipat.

Benar-tidaknya ada hubungan antara ”isu-isu” tersebut dan kebijakan baru pajak ini, yang pasti, bila peraturan ini diterapkan, negara akan mendapat tambahan penerimaan pajak—jika per usahaan farmasi dan rokok digabung—hingga Rp 2 triliun. Namun keuntungan perusahaan farmasi dan rokok, juga perusahaan iklan—menurun cukup drastis. Jadi sudah layak bila Anthony menanyakannya langsung ke Direktur Jenderal Pajak.

Memang belum ada titik temu dalam pembicaraan dengan Direktur Jenderal Pajak, meskipun Anthony tampak tersenyum puas. Soalnya, menurut Direktur Peraturan Perpajakan II Syarifudin, Direktorat Pajak masih ingin menggali lebih banyak informasi dari perusahaan farmasi menyangkut biaya promosi. ”Akan ada lagi beberapa seri pertemuan,” katanya. Dia berharap, sebelum akhir tahun, persoalan ini sudah bisa beres.

Philipus Parera, Ismi Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus