Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Tak Terhapus dari Peta

Untuk sementara, pemerintah menghentikan ekspor pasir laut. Siapa yang diuntungkan dari kebijakan ini?

9 Maret 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raut wajah Joi Kahar terlihat gelisah. Berulang kali dia menatap lembaran salinan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Beleid baru tersebut bakal menamatkan riwayat bisnis yang digelutinya. Maklum, selama ini pengusaha asal Padang ini dikenal sebagai eksportir pasir laut ke Singapura. Joi pantas khawatir. Sebab, selama ini dia merupakan salah satu pengusaha yang menikmati gurihnya bisnis pasir laut di Riau. Melalui empat perusahaan, PT Karimun Lautan Sakti, PT Usaha Putra Negeri Melayu, PT Tuah Melayu Bangsa Negeri, dan PT Mutiara Puratenggara, ia mengeruk jutaan meter kubik butir pasir laut untuk dikirim ke negara tetangga. Jika dia memiliki kontrak 15 juta meter kubik dengan harga S$ 1,3, uang yang mengalir ke kantongnya mencapai S$ 19,5 juta. Sungguh menggiurkan. Selama periode 2000-2005, Singapura memerlukan miliaran meter kubik pasir laut dari perairan Riau untuk menambah daratan. Nilai kontraknya sungguh luar biasa karena mencapai hingga Rp 40 triliun atau setara dengan US$ 4,5 miliar dengan kurs Rp 9.000. Tak aneh jika bisnis ini diperebutkan para pengusaha seperi Joi. Dan tak aneh pula jika kini para pengusaha pasir laut mendadak gerah setelah Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi membuat gebrakan. Melalui surat keputusan yang diteken 28 Februari lalu, Menteri Rini melarang semua kegiatan ekspor pasir laut untuk sementara waktu. Kegiatan ekspor pasir laut akan dibuka kembali setelah kerusakan lingkungan diperbaiki dan adanya penyelesaian batas wilayah laut antara Indonesia dan Singpura. Menurut Menteri Rini, keputusan yang dibuatnya telah dikoordinasikan dengan Tim Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (TP4L) dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. ”Bahkan Panglima TNI dan Kepala Polri juga ikut mendukung,” ujar Rini. Dia menjelaskan, kegiatan penambangan pasir laut secara besar-besaran telah merusak lingkungan. Bahkan beberapa pulau kecil di perairan Riau ikut tenggelam. Pulau-pulau itu, masih menurut Rini, bakal terhapus dari peta Indonesia. ”Ini sudah mengkhawatirkan,” tuturnya. Dia juga mengutarakan bahwa ada dampak lainnya seperti wilayah daratan teritori negeri jiran bertambah luas dari sebelumnya. Singapura merencanakan mereklamasi wilayah pantai dan lautnya sejak tahun 1960. Delapan puluh lima persen bahan baku untuk menutup pantai adalah pasir laut dari Riau. Tidak mengherankan jika wilayah daratan negara yang berdekatan dengan Batam itu bertambah luas. Syahdan, 30 tahun silam, luas Singapura hanyalah 580 kilometer persegi. Kini berubah menjadi 660 kilometer persegi. Bukan main melarnya. Bahkan, pada tahun 2010, luas daratan akan menjadi 760 kilometer persegi. Sayangnya, pemerintah Singapura selalu menolak jika diajak berunding lagi tentang penentuan batas wilayah. Padahal, akibat reklamasi pantainya, wilayah daratan Singapura itu menjadi lebih luas, sementara penentuan batas wilayah didasarkan atas perhitungan dari tepi pantai. ”Mereka selalu menolak jika diajak bicara, padahal ini menyangkut kedaulatan negara, enak mereka, nggak enak kita,” kata Rini tegas. Tidak hanya itu. Singapura juga menolak untuk mengadakan pembicaraan resmi tentang kegiatan jual-beli pasir laut. Padahal pembelian pasir laut dilakukan untuk menambah luas daratan. Dalih Singapura, kegiatan jual-beli dilakukan oleh perusahaan swasta kedua negara. Padahal, jika kontrak jual-beli dilakukan atas kesepakatan kedua negara, dapat dipastikan harga pasir laut akan melambung tinggi. Saat ini harga pasir hanya S$ 1,3 (Rp 6.500 dengan kurs Rp 5.000) per meter kubik. Sedangkan jika pemerintah yang menyelenggarakannya, harga pasir bisa meloncat hingga S$ 6-7 (Rp 30.000) per meter kubik. ”Selama ini negara tidak pernah mendapatkan devisa atau pendapatan lain dari kegiatan pasir laut. Jadi, kalau ini dihentikan, tak akan ada pengaruh apa-apa buat Indonesia,” ujar Rini memberi alasan. Tapi seorang pejabat pemerintah membisiki TEMPO tentang kebijakan baru tersebut. Menurut dia, keputusan Menteri Rini sesungguhnya ditujukan untuk menaikkan harga jual pasir laut ke Singapura. Bila kedua negara melakukan perundingan, akan ditetapkan hanya ada satu pintu untuk melakukan bisnis tersebut. ”Nanti semuanya harus melalui pemerintah, tidak seperti sekarang, semuanya bisa melakukan sendiri,” tutur Rini. Pemerintah nantinya akan mengatur dan menetapkan perusahaan mana saja yang boleh melakukan ekspor. ”Kalau sudah begini, siapa lagi kalau bukan pemain-pemain kuat,” bisiknya penuh curiga. Selama ini kegiatan pemberian izin kuasa pertambangan pasir laut dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Tak aneh jika sejak undang-undang itu diberlakukan, lahirlah 200 izin kuasa pertambangan pasir laut. Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002 dan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2002, pemerintah telah meminta agar pemerintah daerah membekukan dan tidak mengeluarkan izin baru. Bahkan Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan keputusan yang menyebutkan ekspor pasir laut menjadi salah satu komoditas yang diawasi. Dengan adanya kebijakan baru itu,Y. Situmeang, Direktur PT Rianata Sinergi Riau di Tanjung Balai Karimun, menuding kebijakan tersebut hanya menguntungkan pemain-pemain besar yang tergabung dalam De Consortium—kartel eksportir pasir laut. ”Ini kan hanya untuk membuat pengusaha pasir di daerah gulung tikar. Tapi yang untung mereka para pengusaha di Jakarta,” kata pengusaha yang melakukan bisnis ekspor pasir laut sejak empat tahun lalu ini. Nada penuh kesal meluncur dari Direktur PT Anak Karimun, Urbianto. ”Bisnis pasir laut bakal dikuasai orang-orang Jakarta, kami pengusaha kecil bakal bangkrut,” ujarnya kepada Jupernalis Samosir dari TEMPO. Urbianto mengaku telah mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk mendapatkan izin menambang seluas enam ribu hektare pasir laut. ”Tapi uang saya itu sudah tak punya arti,” katanya kecewa. Namun Ketua Asosiasi Pengusaha Penambangan Pasir Laut (AP3L) Riau, Andi Rachman, tidak dapat memberikan komentarnya. ”Yang pasti, kami bakal kelimpungan akibat kebijakan ini,” ujarnya. Sayang, Ricardo Gelael, salah seorang pengusaha yang tergabung dalam De Consortium, sedang berada di luar kota. Benarkah kebijakan ini hanya menguntungkan pengusaha kakap pasir laut dari Jakarta? Rini membantah keras. ”Kebijakan ini untuk mempertahankan martabat bangsa yang sudah mulai tenggelam. Jangan sampai lingkungan rusak dan batas wilayah negara ini hilang hanya karena pasir laut,” katanya tegas. Bahkan Rini menyatakan bersedia melayani gugatan para pengusaha atas kebijakannya. ”Silakan, kalau memang tidak puas, bisa menggugat melalui pengadilan tata usaha negara.” Dia mengakui kebijakan barunya akan membuat banyak orang marah karena kehilangan tambang uangnya. ”Biarin aja,” jawabnya santai. Toh Rini tidak sendiri. Kawitra Ampera, konsultan hukum PT Indoguna Yudha Perkasa—salah satu pemain besar pasir laut—mendukung kebijakan pemerintah. ”Pokoknya, saya dukung kebijakan Ibu Rini,” katanya. Ali Nur Yasin

UU No. 22 Tahun 1999—Kewenangan izin Kuasa Pertambangan berada pada pemerintah provinsi dan kabupaten.

Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Penghentian sementara berlaku untuk tiga bulan.

Inpres No. 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut. Presiden meminta gubernur/bupati/wali kota membekukan sementara izin penambangan pasir laut dan tidak mengeluarkan izin baru.

Keppres No. 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Dalam keputusan ini disebutkan pasir laut menjadi komoditas yang diawasi.

Kepmen No. 441/MPP/Kep/5/2002 tentang Ketentuan Ekspor Pasir Laut. Perusahaan eksportir harus memiliki penetapan sebagai Eksportir Pasir Laut (EPL) yang berlaku selama tiga tahun.

Kepmen No. 641/MPP/Kep/9/2002 tentang Harga Patokan Ekspor Pasir Laut. Pemerintah menetapkan harga $S 3 per meter kubik.

Kepmen No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pemerintah menghentikan kegiatan ekspor pasir laut sampai tersusunnya program pencegahan kerusakan lingkungan dan penyelesaian batas wilayah antara Indonesia dan Singapura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus