Cargill seperti kesetanan. Bak atlet yang sedang dalam kondisi puncak, mereka menyabet kemenangan di setiap pertandingan. Bedanya, pertarungan yang diikutinya bukan di arena olahraga, melainkan berupa tender-tender impor gula di Indonesia. Dua pekan lalu mereka melahap tender yang diselenggarakan Bulog. Berikutnya, Kamis pekan lalu mereka kembali menjuarai tender yang diadakan Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
Saat tender di Bulog, mereka menang dengan penawaran US$ 236 per ton. Sedangkan di tender RNI, mereka menang dengan harga lebih rendah, cuma US$ 229,5 per ton gula. Dengan penawaran itu, mereka menyisihkan peserta tender lain yang juga nama beken di dunia perdagangan komoditas internasional seperti Tate & Lyle, Agrocorp, Kerry Foodstuff, serta Olam.
Sayang, kemenangan itu tepercik noda. Sejumlah pemain yang kalah menyatakan, tender impor gula, terutama yang berlangsung di Bulog, diwarnai sejumlah kejanggalan. Terlebih ada Agrocorp, yang sebetulnya menawar dengan harga lebih murah, yakni US$ 230 per ton. Namun yang dimenangkan tetap Cargill kendati tawarannya US$ 236 per ton.
Keluhan yang muncul terutama soal keterbukaan informasi. Menurut penuturan seorang direktur perusahaan perdagangan internasional yang berbasis di Singapura, peserta tender rata-rata bingung soal parameter yang dipakai Bulog untuk menentukan pemenang.
Pak Direktur yang tak mau disebut namanya itu juga mengeluhkan tindakan Bulog yang tak menginformasikan lewat pelabuhan mana pasokan gula akan dimasukkan. Hal ini jelas menyulitkan peserta tender untuk memenuhi tenggat dari Bulog agar gula impor sudah masuk ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia pada 20 Februari hingga 20 Maret 2003. "Dalam tender yang normal mestinya informasi itu diberitahukan sewaktu mengundang tender," demikian komentarnya.
Tenggat yang mepet dan tak adanya keterbukaan tentang kriteria pemenang dikeluhkan pula oleh Tjong Wai Tong, perwakilan Tate and Lyle di Jakarta. Tjong, yang ketika tender berlangsung sedang berada di luar kota, mendapat laporan negatif dari teman-temannya. "Mereka mengeluh sudah menawarkan harga yang bagus, kok tetap kalah," ujarnya.
Tate and Lyle sendiri sempat menempati urutan tiga besar untuk soal harga. Tapi mereka akhirnya kalah lantaran tidak bisa cepat mengapalkan gula. Sedangkan Cargill mampu memasukkan gula impor antara kurun waktu tersebut. "Kami tak mampu karena waktunya sangat mepet," ujar Tjong.
Undangan tender yang diperoleh TEMPO tertanggal 13 Februari 2003 memang tampaknya terlalu ringkas. Di sana Bulog hanya menyebut akan mengimpor 100 ribu ton gula yang berasal dari negara-negara ASEAN. Dan gula tersebut harus sudah masuk ke pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada 20 Februari hingga 20 Maret 2003. Namun tak dijelaskan berapa persisnya jumlah pelabuhan itu dan apa saja namanya.
Padahal nama pelabuhan itu penting, karena bisa dijadikan dasar bagi pedagang untuk mengajukan harga penawaran. Hal itu terkait dengan biaya sewa kapal. Bila kapal menuju pelabuhan kecil, biaya sewanya lebih besar. Sebaliknya, kalau menuju pelabuhan besar, biaya sewanya relatif lebih kecil. Soalnya, bila menuju pelabuhan besar, kapal itu mungkin mendapat tumpangan baru. Sedangkan bila menuju pelabuhan kecil, bisa dipastikan dia akan kembali dalam keadaan kosong.
Dalam pandangan seorang pedagang gula nasional, bentuk undangan tender yang dibuat Bulog dinilai tak lazim. "Mengapa impor gula dibatasi dari negara-negara ASEAN, mestinya kan bebas dari negara mana saja asal kualitasnya bagus dan harganya murah," ujar pemain yang tak mau disebut namanya itu.
Keanehan lain yang ditangkap si pemain adalah keinginan Bulog mengimpor gula jenis Icumsa 100. Padahal masyarakat kita biasa mengkonsumsi gula jenis Icumsa 150. Perbedaan kedua jenis gula ini, Icumsa 100 warnanya lebih putih dan kristalnya lebih halus. Tapi harganya juga lebih mahal. "Mengapa untuk cadangan saja mesti mendatangkan gula sebagus itu?" ujarnya setengah bertanya.
Mekanisme tender Bulog makin terlihat jomplang bila dibandingkan dengan tender yang belakangan dilakukan RNI. Undangan tender RNI jelas menetapkan waktu kedatangan, nama-nama pelabuhan berikut jumlah gula yang mesti didatangkan, antara lain Belawan (6.000 ton dan 12.000 ton), Dumai (6.000), Palembang (10.000 ton), Tanjung Priok (20.000 dan 18.000 ton), Pontianak (6.000 ton), Balikpapan (6.000 ton), Manado (6.000 ton), dan Makassar (10.000 ton).
Dalam tendernya, RNI juga memberi tahu komponen penilaian bagi pemenang tender, yakni kombinasi antara harga terendah dan waktu kedatangan gula yang paling cepat. "Perbandingannya 60:40," ujar juru bicara RNI, Budi Permana Aji. Sedangkan negeri asal gula tak dibatasi hanya dari negara ASEAN, tapi juga boleh dari India.
Dengan proses tender seperti itu, Cargill memang kembali menang. Tapi kemenangannya dipandang fair. "Peserta lain juga puas," kata Budi. RNI sendiri mendapat harga yang murah, yaitu US$ 229,5 per ton. Harga itu jelas jauh lebih murah ketimbang harga yang diperoleh Bulog yang tak kurang dari US$ 236 per ton.
Namun prasangka bahwa Bulog sengaja mengatur tender agar dimenangkan Cargill langsung dibantah keras oleh Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo. Menurut dia, tender Bulog tetap berprinsip mendapat harga terendah. Tapi ia juga mementingkan jaminan pasokan. "Jangan sampai ada yang menawarkan harga rendah tapi pasokannya tak pasti," ujar Widjanarko. Hal seperti itu, katanya, pernah terjadi pada 1998. "Pemenang tender seperti itu cuma ingin merusak harga," lanjutnya.
Soal pilihan atas gula dari Thailand dan jenisnya Icumsa 100, Widjanarko beralasan untuk mendapat yang terbaik dan tercepat. Ia mengaku diimpit oleh kebutuhan gula yang mendesak dan harga yang melambung di Tanah Air. "Kalau mengambil dari India, paling cepat baru sampai 30 hari lagi," ujarnya. Pilihan atas gula dari negara ASEAN, menurut dia, tepat. Alasannya, jarak yang ditempuh lebih dekat, sehingga waktu kedatangan lebih cepat. Sekarang kapal yang mengangkut gula itu sudah masuk. "Padahal dari negara lain belum ada satu pun yang masuk," ujarnya.
Bagaimana dengan harga yang US$ 236 per ton? Widjanarko mengungkapkan bahwa Agrocorp memang menawarkan harga US$ 230, lebih rendah ketimbang Cargill yang mengajukan harga US$ 236 per ton. Tapi gula yang ditawarkan Agrocorp berasal dari India, yang jenisnya Icumsa 150. Jadi harganya memang lebih rendah ketimbang Icumsa 100 eks Thailand. Namun kualitasnya juga jauh lebih rendah.
Kemudian, bila menerima tawaran Agrocorp, Bulog masih harus mengeluarkan biaya lagi untuk kontainer. Besarnya? Sekitar US$ 7-8 per ton. Soalnya, pengangkutan dengan kontainer lebih terjamin ketimbang menggunakan kapal breakbulk. Gula lebih terlindung dari angin dan air, yang bisa merusak kualitasnya. "Jadi, harga US$ 230 dari Agrocorp itu mesti ditambah US$ 7-8 menjadi US$ 237-238," ujar Widjanarko. Belum lagi perlu waktu tambahan untuk memindahkan barang ke dalam kontainer. Alhasil, waktu pengapalan akan bertambah panjang.
Tapi alasan Bulog bahwa kapal peti kemas lebih menjamin kualitas gula ketimbang kapal breakbulk dinilai mengada-ada oleh kalangan pemain gula. "Saya ini biasa menggunakan breakbulk, kualitas gula tetap bagus tuh," ujar sumber TEMPO. Bahkan ada pemain yang percaya breakbulk lebih melindungi gula ketimbang kontainer. Soalnya, di kapal breakbulk, gula disimpan di palka (perut) kapal. Sedangkan kontainer justru ada di permukaan kapal sehingga lebih mudah diterpa angin dan air laut.
Urusan kapal mungkin masih bisa diperdebatkan panjang lebar. Tapi ada fakta yang tak bisa dimungkiri: RNI bisa mendapat harga tender impor gula yang lebih murah ketimbang Bulog. Ini terasa janggal. Apalagi penyebabnya yang utama hanya karena Bulog mengutamakan gula Incumsa 100 yang putih dan lebih mahal dari Incumsa 150 yang merah kecokelatan.
Jangan lupa, Bulog ditugasi menyangga stabilitas harga gula, dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan baik kalau lembaga ini memiliki stok gula yang cukup dan harganya relatif murah. Tapi, kalau belum apa-apa sudah timbul hal-hal yang ganjil, muncul pertanyaan: apakah Bulog mau jadi stabilisator sekaligus juga jadi pedagang? Nah, kalau benar, tentu akan timbul konflik kepentingan yang bisa jadi kendala dalam upaya Bulog menstabilkan pasok dan harga gula. Minimal kesannya kurang elok. Terlebih-lebih Bulog diundang pemerintah untuk terjun kembali ke bisnis gula semata-mata karena lembaga ini dianggap lebih berpengalaman ketimbang RNI dan PTPN—jadi bukan karena kedekatannya dengan Cargill, misalnya.
Nugroho Dewanto, Eduardus Karel Dewanto, Febrina Siahaan, Nezar Patria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini