Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Soal Investasi IKN, Aguan: Kami Mesti Menjaga Wajah Presiden

Bos Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, bercerita soal Ibu Kota Nusantara, proyek strategis nasional, dan oligarki.

8 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sugianto Kusuma alias Aguan mengatakan masuknya pengusaha ke IKN karena ada perintah presiden.

  • Aguan mengakui kasus reklamasi pantai utara Jakarta merupakan salah satu krisis dalam hidupnya.

  • Aguan menjawab soal Sembilan Naga dan tuduhan sebagai oligark yang mengendalikan pemerintahan.

TEPAT pada pukul 17.55 WIB, Sugianto Kusuma meninggalkan kantor pemasaran Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 di Jakarta Utara. Dikawal mobil polisi yang menyalakan sirene, mobil Range Rover hitam berpelat nomor Markas Besar Tentara Nasional Indonesia yang dinaiki pemilik Agung Sedayu Group, pengembang properti pesisir pantai utara Jakarta dan investor utama Ibu Kota Nusantara, itu membelah kepadatan jalan pada Selasa petang, 26 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa menit sebelumnya, pengusaha yang akrab disapa Aguan itu menerima Bagja Hidayat, Raymundus Rikang, Sunudyantoro, Riky Ferdianto, Yosea Arga, dan fotografer Tony Hartawan dari Tempo untuk sebuah wawancara. Ia hanya menyeruput setengah cangkir kopi susu dan tak menyentuh tiga potong pisang bakar yang disajikan stafnya. “Saking seru ngobrolnya,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aguan sangat berjarak dengan media karena tak pernah mau diwawancarai. Namun hari itu, di ruang rapat kantor pemasaran, ia dengan tangkas dan lugas menghadapi sesi tanya-jawab selama 2 jam 30 menit, termasuk memberikan rambu-rambu off the record ketika ditanyai soal reklamasi di pantai utara Jakarta—kasus yang diakui Aguan sebagai salah satu krisis dalam hidupnya. Ia pun sesekali bergurau. Salah satunya ketika berkelit menanggapi lalu lintas di sekitar PIK yang merayap. “Kalau hendak ke daerah bagus, pasti macet,” ujarnya, lantas terbahak.

Obrolan berlanjut dalam sesi foto di lobi kantor pemasaran. Sambil berdiri, pengusaha 73 tahun itu melanjutkan cerita tentang bisnis, politik, pemilihan kepala daerah Jakarta, investasi Ibu Kota Nusantara, hingga keributan dengan masyarakat di Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten, yang terkena dampak proyek strategis nasional. “Orang bilang penetapan PIK jadi proyek strategis nasional sebagai hadiah karena saya jadi investor IKN,” tuturnya. “Itu bohong. Orang tidak tahu sejarah saya sudah lama masuk ke sini.”

Wajah Aguan makin semringah ketika bercerita soal Yayasan Buddha Tzu Chi. Yayasan ini berdiri pada 1993 sebagai cabang yayasan yang sama di Taiwan yang dirintis pada 1966. Aguan mengaku kembali ke buku-buku pendiri Buddha Tzu Chi, Shih Cheng Yen, setiap kali membutuhkan nasihat spiritual. Seorang stafnya memberikan satu eksemplar buku kecil Cheng Yen yang berisi kata-kata mutiara dalam bahasa Indonesia, Mandarin, dan Inggris. “Sekurangnya empat kali setahun saya ke Taiwan,” ucapnya.

Menurut Aguan, ajaran Cheng Yen adalah cinta kasih. Karena itu, Buddha Tzu Chi berfokus pada kegiatan sosial dan kemanusiaan. Relawannya tak dibatasi dari pemeluk agama Buddha, bahkan paling banyak beragama Islam. Ajaran Tzu Chi bahkan tak mewajibkan pengikut Buddha mempraktikkan ritual mereka. Menurut Aguan, ritual dan kepercayaan menjadi urusan individu.

Sebagai pengusaha, ia sudah membagi kerajaan bisnisnya kepada empat anaknya, yang memberinya 13 cucu. Namun, kata dia, fokus bisnis Agung Sedayu Group tak akan keluar dari bisnis properti. Ia memantau isu-isu lingkungan, terutama bisnis perdagangan karbon, tapi untuk sementara belum berminat masuk ke sana. Kepada presiden, Aguan pernah berpesan agar pemerintah tak usah mendengarkan perkataan negara maju soal perdagangan karbon. “Buktinya mana? Duitnya enggak ada,” ujarnya.

Aguan kini lebih senang berlibur bersama cucu-cucunya, berolahraga jalan kaki, dan sesekali memantau berita lewat media sosial, terutama TikTok. Sehari-hari ia lebih banyak berkantor di pusat Yayasan Buddha Tzu Chi di Pantai Indah Kapuk Boulevard. Saat diwawancarai, ia ditemani stafnya, yakni Ali Hanafiah, Miranda Dyah, dan Restu Mahesa.

Mengapa Anda tiba-tiba bersedia diwawancarai jurnalis?

Saya menghadapi Anda karena sudah trust. Saya ngomong fair saja. Kalau saya makin sering muncul, makin susah.

Anda tak tertarik mendirikan media?

Enggak, takut. Kami ini susah karena kalau punya media mungkin jadi bermusuhan. Sebab, saya enggak boleh meminta konten di-take down, kan?

Perusahaan Anda, Agung Sedayu Group, belakangan disorot media karena konflik di Teluknaga. Apa yang terjadi?

Anda mesti melihat dan berkeliling. Kami tak mau menuduh siapa-siapa karena sudah berpuluh tahun keadaannya begitu. Tumpang-tindihnya banyak. Background daerah di sini dulu, istilahnya, tempat jin buang anak, empang-empang. Enggak ada yang main ke sini. Kami bereskan, membangun jalan dan fasilitas umum. Kami berbicara soal sistem membangun sehingga bukan hanya satu atau dua tahun, melainkan berpuluh-puluh tahun.

Mengapa sampai ribut?

Pembebasan itu tak gampang. Banyak mafianya.

Apa maksudnya mafia?

Banyak yang sudah membeli tanah dan mengetahui kami hendak membebaskannya. Saya bisa jamin bahwa kami memberikan ganti untung semua. Tak ada yang ganti rugi. Kami merombaknya sehingga kawasan Pantai Indah Kapuk menjadi seperti ini. Benefit-nya apa? Pendapatan per kapita naik. Tapi orang tak membicarakan itu. Ribut saja bisanya.

Siapa mafia itu?

Mereka yang punya modal. Modusnya hendak menjual tanah dengan harga tinggi. Yang penting ambil dulu, lalu jual lagi.

Bagaimana cara menghadapi mafia ini?

Jalur hukum, dong.

Apakah mereka berani menghadapi Anda yang punya profil sebagai pebisnis kaliber nasional?

Mau berani atau tidak, kalau secara hukum benar, ngapain takut? Kalau rakyat yang berbuat begitu, akan dipalang jalannya, tidak? Jalannya pasti sudah dipalang. Saya tak mungkin menghadapi rakyat begitu.

Kericuhan di Teluknaga disebut terjadi karena dampak proyek strategis nasional (PSN). Anda sepakat?

Proyek strategis nasional itu tanah pemerintah. Sebelum PIK ditetapkan menjadi PSN, kami memang menyewanya. Suratnya lengkap. Kami hendak membangun sesuatu sehingga menyewanya dari pemerintah. Lantas di sana ada penggarap dan saya bayar Rp 10 ribu per meter persegi. Bangunan juga kami bayar. Padahal mereka liar.

Anda merasa diserang secara pribadi melalui kasus ini?

Saya tak berani berbicara begitu. Nanti jadi polemik lagi. Tapi kami minta ditunjukkan mana yang salah. Di mana saya menindas? Keluarkan saja dan uji. Kami tak menutup kemungkinan bahwa kami yang salah.

Bagaimana ceritanya PIK menjadi PSN?

Salah, karena PIK bukan PSN. Namun sebagian tanahnya dilihat sebagai tempat hijau, tidak dirawat, dan terus terjadi abrasi. Itu tanah milik negara. Gue mau bikin taman dan lapangan golf bisa di sana. Yang hijau akan tetap hijau. Dengan demikian, ini barang mati menjadi hidup. Pemerintah mendapat duit.

Persisnya, lahan hijau itu yang menjadi PSN?

Sebagian saja dan bukan PIK 2. Ini bukan barang baru karena kami jalan di sana sejak 2011. Saya meminta prioritas agar kawasan itu bisa dirawat.

Duit pembangunannya dari mana? Pemerintah atau Anda?

Semuanya dari kami. Fasilitas jalan dan air yang bikin kami. Aduh, mana mungkin pemerintah bisa membiayai kami. Katakanlah Rp 20 triliun biayanya. Itu duit dari mana? Dari langit? Anda boleh bertanya kepada mereka.

Apa untungnya bagi Anda mendanai proyek itu?

Destinasi wisata menjadi lebih maju. Saya tanya, orang mau datang ke Jakarta itu ke mana? Mereka datang dari luar negeri ke Jakarta pasti ke PIK. Sekarang PIK 2 sudah dikenal dunia internasional.

Bukannya penetapan status PSN untuk PIK merupakan hadiah karena Anda menjadi investor Ibu Kota Nusantara (IKN)?

Bohong. Saya mengerjakan PIK kapan? Lalu masuk menjadi PSN juga kapan? Timeline-nya tidak masuk. Saya tidak bekerja di IKN, lalu baru menggarap PIK. Mematahkan tudingan dengan mengecek waktu dan lokasinya saja. Jangan asal bunyi.

Mengapa Anda mau berinvestasi di IKN?

Perintah, ha-ha-ha.... Kami mesti menjaga wajah presiden. Kami mesti menghadapi investor luar negeri. Kami diminta mengerjakan dalam sembilan bulan dan proyeknya mesti jadi. Kami babak-belur.

Maksud Anda, Joko Widodo yang memerintahkan pengusaha nasional berinvestasi?

Bukan juga perintah, tapi diminta, ha-ha-ha....

Berapa dana yang sudah Anda kucurkan untuk IKN?

Pasti triliunan rupiah, ha-ha-ha....

Dari sisi bisnis, berinvestasi di IKN menguntungkan atau tidak?

Kami melihat jangka panjang dan pasti menguntungkan. Melihatnya dalam kacamata future. Memindahkan aparatur sipil negara itu tidak gampang. Menumbuhkan ekosistem itu tak mudah.

Berapa lama bisa balik modal di IKN?

Saya rasa pemerintah sudah jelas, dalam empat tahun sudah diselesaikan ini-itunya. Kalau keputusan pemindahan ibu kota sudah diteken, lalu duta besar masuk dan aparatur sipil negara pindah, ekonomi akan langsung jalan.

Pantai Pasir Putih PIK 2 di kawasan Pantai Indah Kapuk 2, Jakarta, Selasa 16 Februari 2021. TEMPO/Subekti.

Banyak contoh pemindahan ibu kota di negara lain, seperti Putrajaya di Malaysia, justru sepi. Anda mengkalkulasinya?

IKN diciptakan bukan untuk menunjukkan kehebatan dan menjadikannya ramai. Kota itu diciptakan agar pemerintah bekerja lebih efektif. Demonstrasi tak mungkin terus-terusan di sana. Kalau banyak unjuk rasa di sini, kapan pemerintah bekerja? Lalu lintas jalanan di Jakarta sudah macet. Banyak teman saya tanya, “Aguan, masih adakah tanah di sana? Gue mau beli.”

Presiden Prabowo Subianto tampak setengah-setengah meneruskan IKN….

Bukan setengah-setengah. Ada program prioritas yang hendak diselesaikan. Bujet pun sudah dibagi. Membangun infrastruktur di sana dulu mahal sekali, tapi sekarang sudah jadi dan tinggal finishing.

Sebagai investor, Anda tak ada masalah jika Prabowo memprioritaskan program lain?

Tidak apa-apa. Ada kesenjangan perumahan dan makan bergizi gratis. Itu namanya prioritas.

Karena IKN pula Anda jadi sering tampil di media. Anda nyaman muncul di publik?

Saya sengaja ditampilkan, ha-ha-ha.... Sungguh, saya enggak mau begitu. Sebab, makin tinggi pohon, angin akan makin kencang menerpa.

Kalau Anda sendiri enggan, kenapa tetap tampil? Dipaksa?

Enggak ada. Saya diminta tampil agar ada kepercayaan dari luar negeri. Ini buat show. Dalam berbisnis, kalau kamu sendiri enggak beli, siapa orang dari luar yang mau beli? Kami membawa rombongan. Bisnis memang harus begitu.

Tak hanya di IKN, Anda juga terlibat dalam program 3 juta rumah. Sejauh apa kontribusi Anda di situ?

Saya yang membangun rumahnya.

Benarkah rumah itu nanti dibagikan gratis?

Gratis kalau yang punya tanah adalah negara. Yang punya itu Perumnas dan kami yang mengelola. Kami sudah berbicara dengan pemerintah dan harus ada semacam kategori, misalnya dengan sistem sewa. Masyarakat pasti punya slip gaji. Gaji yang lebih kecil akan mendapat harga lebih murah.

Peran Anda di proyek-proyek mercusuar pemerintah membuat Anda disebut oligark. Apa respons Anda soal itu?

Saya rasa itu kelewatan. Jika pemerintah meminta bantuan, kami boleh berdiskusi sebagai pengusaha, dong. Pemerintah memerlukan banyak ahli dan penasihat. Kami memberi tahu hal-hal yang benar. Jika negara maju, kami pasti juga maju.

Anda tak terima dibilang oligark?

Apanya yang oligark? Pemerintah lebih oligark, punya kuasa dan fasilitas. Anda mesti lihat berapa asetnya. Istilah itu cuma dipakai oleh orang yang ingin mengkritik.

Oligark adalah mereka yang punya uang, tak dipilih dalam pemilu, tapi bisa mengendalikan pemerintahan dan kebijakan....

Enggak ada. Itu semua kebijakan pemerintah. Tidak mungkin saya bisa bilang kepada pemerintah bahwa kebijakan ini lebih bagus dari yang itu. Memangnya apa kepentingan saya? Mereka betul-betul bekerja untuk negara.

Ada yang menyebut Anda bagian dari “Sembilan Naga”?

Naga apanya? Kami ini cacing. Naga tak mungkin di-bully orang.

Benarkah Sembilan Naga menguasai sebagian besar ekonomi Indonesia?

Menguasai apanya? Anda lihat berapa aset pemerintah. Pengusaha cuma beberapa persen. Pengusaha tak bisa menguasai semuanya. Orang yang tak punya pengetahuan pasti bicara seenak perutnya.

Kabarnya, mereka juga sampai bisa menentukan siapa petinggi pemerintahan….

Enggak ada. Itu sama sekali enggak benar.

Sejauh apa pengusaha dan penguasa bisa saling mempengaruhi?

Kami bisa berbicara dan berdiskusi. Ada Kamar Dagang dan Industri Indonesia yang menjadi counterpart pemerintah. Contohnya, pengusaha bisa memberi tahu pemerintah bahwa bisnis online dan offline berbeda. Itu mesti jeli. Kami punya lebih banyak informasi.

Tapi pernah ada politikus yang meminta duit kepada Anda?

Kami enggak mau ikut kalau urusan politik.

Bisa jadi meminta logistiknya tidak langsung kepada Anda.…

Enggak. Namun, kalau teman ada apa-apa, kami saling membantu. Namanya berteman. Tapi ini enggak berarti memberi. Lu jalan sendiri saja karena punya modal. Risiko ditanggung masing-masing.

Bagaimana hubungan Anda dengan Prabowo?

Biasa saja. Kami seumuran.

Apa yang mesti dilakukan Prabowo agar pemerintahannya sukses?

Saya rasa dia lebih tahu. Dia orang pintar dan banyak penasihatnya. Dari kacamata pengusaha, jalan yang dilalui Pak Prabowo sudah bagus dan kebijakannya benar semua.

Anda yakin pemerintahan Prabowo akan berhasil?

Beliau hendak membuat suatu sejarah. Karena itu, saya yakin dia berbicara untuk kepentingan rakyat.

Seberapa kaya seorang Aguan?

Saya tak pernah menghitung kekayaan saya. Kami menjalani saja. Kalau mampu, kami akan menyumbang. Saya enggak yakin bisa lebih hebat lagi kalau semuanya didekap sendiri.

Apa ukuran kaya menurut Anda?

Biasa saja. Hidup saya enggak lama lagi. Saya makan beberapa piring dan porsinya lebih sedikit sekarang. Mungkin sekarang ada yang menyetir kendaraan saya. Mobil lebih bagus, ha-ha-ha....

Anda percaya demokrasi?

Demokrasi Indonesia terlalu cepat datangnya. Akibatnya, ongkos pemilu kita mahal.

Demokrasi datang terlampau cepat atau kita gagal melakukan konsolidasi?

Kita juga gagal. Pendidikan kita belum sampai. Kalau pendidikan sudah sampai, kita baru boleh berbicara tentang demokrasi.


Sugianto Kusuma

Tempat dan tanggal lahir:

  • Palembang, Sumatera Selatan, 9 Januari 1951

Pendidikan:

  • Sekolah menengah Jugang Zhongxue, Palembang

Karier:

  • Pendiri Agung Sedayu Group
  • Direktur Utama PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk

Menurut Anda, negara mana yang sukses menyelaraskan urusan pembangunan dengan politik?

Singapura. Lee Kuan Yew tahu harus mengerjakan apa. Dia punya cetak biru sampai 30 tahun. Sedangkan di negara kita, saat ganti pemimpin akan ganti kebijakan. Makanya Pak Prabowo menjadi presiden karena Pak Jokowi ingin ada penerusnya.

Apa kuncinya agar Indonesia menjadi negara maju?

Ada step-nya. Tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan. Presiden Prabowo sudah tahu apa yang mesti dilakukan. Fondasinya sudah ada.

Soal bisnis, hendak dibawa ke mana Agung Sedayu Group di masa depan?

Bisnis utama kami adalah pengembang. Kami ingin terus berada di sana. Kami ingin penerus saya menjadi kebanggaan.

Mengapa sangat berfokus pada properti?

Apa yang mesti dinikmati wisatawan? Itu saja yang kami lihat. Kami berpikir bahwa perlu ada gimik. Saya bilang wisata paling pas. Saya bikin kawasan Aloha, ada pantai dan hotel di sana. Wisatawan selama ini hanya mengenal Bali. Dengan bikin kawasan itu, saya ingin wisatawan cukup ke PIK.

Tak tertarik pada bisnis lain? Sektor digital atau karbon barangkali….

Enggak. Ada sedikit-sedikit, berkongsi.

Anda yakin bisnis properti masih menguntungkan dalam puluhan tahun ke depan?

Sepanjang negara aman, bisnis ini pasti jalan. Singapura bisa punya harga tanah berkali lipat lebih tinggi karena mereka aman dan bersih. Orang jadi percaya.

Anda berbisnis sejak era Orde Baru. Apa krisis terberat yang pernah Anda lalui?

Banyak. Bukan hanya krisis moneter 1998, tapi juga devaluasi. Saya waktu itu bekerja di sektor impor. Profitnya habis dengan cepat.

Anda tak menganggap kasus reklamasi pantai utara Jakarta pada 2016 sebagai krisis?

Itu salah satunya.

Benarkah ada duit pengembang yang masuk ke relawan Teman Ahok waktu itu?

Namanya politik. Enggak kasih dibilang kasih.

Apakah ada kebiasaan mengadakan rapat keluarga ketika mengambil keputusan penting? Masuk ke IKN, misalnya....

Kalau soal IKN enggak, ha-ha-ha....

Siapa mentor bisnis Anda?

Banyak. Pengusaha internasional dan nasional ada. Keluarga Salim salah satu yang saya pelajari. Ia lebih cepat jalannya dan lebih dulu. Kami sering ngobrol dan bertukar pengalaman.

Tempo pernah menulis bahwa Anda pernah berseteru dengan Andi Syamsuddin Arsyad alias Isam soal tambang. Apa yang sebenarnya terjadi?

Sudahlah, itu sudah selesai. Kalau bisa, kami damai-damai saja. Prinsip berdagang itu damai. Kalau setiap hari ribut, Anda bisa berdagang, enggak? Pasti enggak bisa. Kalau beperkara, pasti habis dan rugi banyak.

Isam diduga berperan besar dalam pengajuan menteri di kabinet Prabowo. Apa komentar Anda?

Saya yakin itu semua isu. Cuma endorse enggak bisa. Presiden kita ini lain, dia tentara.

Anda merasa punya musuh?

Ada, pasti. Tapi untuk apa saya merasa punya musuh? Prinsip saya benar, ngapain saya ngerasain.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Setelah wawancara ini terbit, Divisi Legal Agung Sedayu Group mengirimkan hak jawab menyatakan keberatan dengan kata "perintah" dan kalimat "Kami mesti menjaga wajah presiden". Divisi Legal menyatakan Sugianto Kusuma tidak pernah mengatakan kalimat tersebut. Divisi Legal Agung Sedayu Group meminta judul wawancara diubah menjadi "Investasi IKN Memacu Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan" dan jawaban Aguan diganti menjadi "tidak ada perintah atau pun permintaan, tetapi investasi IKN dilakukan setelah melihat ke lokasi dan ternyata memiliki prospek jangka panjang”. Tempo telah memeriksa ulang rekaman wawancara dan memastikan pernyataan Sugianto Kusuma. Redaksi tidak mengubah judul dan isi artikel tersebut.

Sunudyantoro

Sunudyantoro

Wartawan Tempo tinggal di Trenggalek

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus