Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga dasawarsa silam tak banyak yang percaya bahwa air minum dapat dibisniskan. Belakangan, air minum dalam kemasan (AMDK) terbukti merupakan bisnis yang basah. Pada dua-tiga tahun terakhir, angka pertumbuhan bisnis AMDK nyaris menyentuh angka 30 persen.
Tahun lalu, produsen AMDK sempat paceklik. Pemicunya adalah depo air isi ulang yang muncul bak cendawan di musim hujan. Dengan harga jual air isi ulang yang jauh lebih murah, sekitar separuh dari harga para produsen AMDK, pasar AMDK pun tergerogoti. "Kemasan galon merupakan penyumbang volume penjualan terbesar," ucap Willy Sidharta, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin).
Tahun lalu, lebih dari separuh penjualan air mineral, yang mencapai delapan miliar liter, berasal dari kemasan galon. Pasar AMDK terbebas dari gangguan air isi ulang setelah Departemen Perindustrian dan Perdagangan melarang para pemilik depo air isi ulang menggunakan galon milik produsen AMDK. "Galon-galon itu merupakan milik produsen," ujar Willy.
Tahun ini, pasar AMDK pun diperkirakan akan kembali melaju. "Pada kuartal ketiga kami menargetkan pertumbuhan antara 10 hingga 15 persen," ucap Willy. Ia memperkirakan air kemasan yang terjual tahun ini mencapai 9 miliar liter.
Angka pertumbuhan pasar yang tinggi itu dibarengi pula dengan sengitnya persaingan di antara para produsen AMDK. Maklumlah, saat ini ada 400 perusahaan yang memproduksi air minum dalam kemasan. Mereka menjajakan tak kurang dari 600 merek AMDK.
Selama ini, ajang persaingan para produsen AMDK hanya berkutat di kemasan: antara kemasan galon (setara dengan 19 liter) dengan kemasan kecil (berbagai ukuran botol dan gelas). Di galon, Danone yang menjajakan merek Aqua dan Vit tak tergeser sebagai penguasa. "Sebagai perusahaan multinasional, mereka memang sulit disaingi," ujar Sambas Winata, General Manager Marketing PT Tang Mas.
Untuk bermain di ukuran galon, para produsen AMDK harus berinvestasi di depan. Biaya pembuatan galon, yang terbuat dari polycarbonate, cukup besar. "Setelah harga minyak naik, biaya pembuatan galon sekitar US$ 4 (Rp 36 ribu)," ujar Willy. Produsen AMDK lokal, seperti Bromo Tirta Lestari mengaku harus menjual rugi produk air galonnya. "Kami harus mensubsidi biaya produksi untuk mempertahankan pasar," kata Asisten Direktur Bromo, Sri Wahyuningsih, kepada Sunudyantoro dari Tempo.
Di kemasan kecil, persaingan lebih ramai karena biaya investasi untuk tiap unit produk tak sebesar kemasan galon. Dua Tang patut disebut sebagai penantang terkuat Danone. "Kami memang fokus di kemasan kecil," ucap Sambas. Dua Tang mengandalkan promosi dan distribusi sebagai strategi mereka untuk menempel Aqua, sang pemimpin pasar.
Ke depan, ajang para produsen AMDK bersaing dipastikan akan bertambah. Air mineral, yang tawar tanpa rasa, tak lagi menjadi satu-satunya produk yang dijajakan. Danone sejak Juli kemarin melepas produk baru: Aqua Splash of Fruit (ASOF), air dengan aroma buah. Tanpa memerinci angka penjualan selama tiga bulan pertama, Willy meyakini ASOF cukup laku. Sementara ini ASOF baru dijual di pasar-pasar seputar Jakarta dan Jawa Timur.
Sebelum Aqua mengeluarkan ASOF, Dua Tang telah meluncurkan Fruitang, yang mirip-mirip jus. "Produk Aqua lebih dekat ke air, sementara kami lebih dekat ke beverages (minuman)," ujar Sambas.
Kemunculan ASOF dan Fruitang mirip dengan kecenderungan yang terjadi di pasar luar negeri sekitar lima tahun silam. Para produsen AMDK menawarkan produk air aneka rasa dan aroma. Tak mengherankan jika Sambas maupun Willy meyakini bahwa tren bisnis AMDK di dalam negeri juga akan menuju ke flavour water. Segmen pasar yang dibidik, seperti dikatakan Willy, "Mereka yang ingin tetap sehat, tetapi bosan minum air tawar."
Kendati demikian, itu tak berarti air kemasan yang tawar akan surut. "Pasar belum tergarap secara optimal," ujar Roestam Adji, Public Relations Manager Coca-Cola Bottling Indonesia Semarang, yang memproduksi Ades, kepada Sohirin dari Tempo. Tingkat konsumsi air kemasan di Indonesia tahun ini baru sekitar 50 botol per orang dalam satu tahun. Angka itu jauh di bawah negara tetangga, seperti Filipina, yang mencapai 110 botol per tahun.
Thomas Hadiwinata, M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo