Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hilang Arah di Santiago

Pertemuan APEC di Cile lebih banyak membahas soal keamanan dan terorisme. Pembentukan blok perdagangan menghantui APEC.

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalanan di pusat Kota Santiago menjadi lautan manusia Jumat kemarin. Pada hari yang diliburkan oleh pemerintah Cile itu, sekitar 15 ribu orang turun ke jalan meneriakkan yel-yel protes sambil membentangkan spanduk. Protes itu untuk menyambut Presiden Amerika Serikat George Bush yang baru tiba. Di Distrik Huechuraba, Santiago, Bush akan bergabung dengan 20 pemimpin negara anggota Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), menghadiri pertemuan tingkat tinggi yang berlangsung akhir pekan kemarin.

"Bush merupakan ikon dari terorisme," demikian bunyi satu slogan yang diusung para demonstran. Para demonstran menolak dominasi Amerika dan mengutuk serangan Amerika. Kelompok demonstran lain mengusung tema anti-perdagangan bebas. Mereka mengutuk perdagangan bebas sebagai penyebab melebarnya jurang antara negara kaya dan negara miskin.

Dua kelompok demonstran itu mulai memanasi jalan-jalan di Santiago sejak Rabu pekan lalu, saat pertemuan tingkat menteri APEC dimulai. Unjuk rasa hari itu sempat diwarnai bentrok kala polisi membubarkan sekitar 1.000 pelajar yang turun ke Jalan Alameda. Lontaran batu para pengunjuk rasa dibalas dengan kanon air dan gas air mata. Tak kurang dari seratus peserta unjuk rasa diangkut oleh polisi Cile.

Meski di jalanan Santiago Bush bukan figur yang populer, di dalam ruang perundingan APEC, suara Bush terdengar sangat nyaring. Kampanye anti-teror yang digaung-gaungkan pemerintah Bush, sejak insiden 11 September 2001, mendominasi agenda perundingan APEC kali ini.

Padahal tak sedikit kepala negara anggota yang ingin agar pertemuan APEC kali ini lebih memusatkan pada agenda ekonomi dan perdagangan. "Dalam pertemuan nanti, kita akan melihat banyak pemimpin negara bertanya kepada Presiden Amerika tentang defisit anggaran Amerika, tentang dolar yang cenderung melemah, dan tentang harga minyak yang melonjak," ujar Wendy Sherman, mantan asisten menteri luar negeri dalam pemerintahan Bill Clinton.

Namun, dalam resolusi yang dikeluarkan pada akhir pertemuan tingkat menteri APEC, Kamis kemarin, isu keamanan lebih banyak mengemuka dibanding masalah perdagangan dan ekonomi. Sebut saja kesepakatan untuk mengendalikan peredaran dan pemusnahan misil jinjing anti-pesawat. Masalah misil ini menyelonong masuk ke meja runding APEC karena Amerika khawatir misil ini disalahgunakan oleh kelompok teroris.

Isu keamanan lain adalah perbaikan prosedur pengamanan dalam sistem transportasi udara dan laut, pencegahan penyebaran senjata pemusnah massal, entah itu senjata nuklir, senjata kimia, ataupun senjata biologi. Bahkan ambisi Korea Utara untuk membangun instalasi nuklir juga dibahas dalam forum APEC.

Agenda APEC yang terlampau berat ke soal perang melawan teroris itu dikecam oleh Menteri Perdagangan Malaysia Rafidah Aziz. "Beberapa anggota APEC memaksakan agenda yang di luar kewenangan APEC, seperti agenda pengendalian senjata pemusnah dan pemberantasan kelompok teroris," ujar Rafidah. Ia khawatir isu sensitif seperti pemberantasan terorisme justru memberati anggota APEC, terutama negara berkembang di wilayah Asia.

Kecaman Rafidah ditangkis oleh Robert Zoellick, kepala urusan perdagangan Amerika. Zoellick menyebut masalah perdagangan dan upaya memberantas terorisme seperti dua sisi mata uang. "Tanpa rasa aman, sulit membangun suatu sistem perdagangan yang dinamis," ucap Zoellick. Pendapat Zoellick diamini oleh koleganya dari Australia, Menteri Luar Negeri Alexander Downer.

Dalam bidang perdagangan dan ekonomi, tak banyak hal baru yang dihasilkan dari pertemuan Cile. APEC mengumumkan ihwal dukungan terhadap penerapan aturan perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik. Usul pembentukan kawasan perdagangan bebas yang dirancang oleh Dewan Penasihat Bisnis APEC masih jauh dari pelaksanaan. Jepang dan Cina masih ragu-ragu menyatakan komitmen. Sepuluh tahun yang lalu, Jepang juga memblok usul Percepatan Liberalisasi Sektoral secara Sukarela. Dua sektor yang paling dijaga oleh Jepang adalah pertanian dan otomotif. "Kalau Cina memang lebih terlihat seperti free rider," ucap Okta Muchtar, pengamat perdagangan internasional.

Kedua negara itu tak menghendaki adanya pembebasan perdagangan yang radikal di Asia Tenggara, karena Amerika belum memberikan sikap yang jelas. Dua raksasa ekonomi Asia Timur itu tak mau terbenam terlalu jauh dengan APEC, karena takut hubungan dagang mereka dengan Uni Eropa ikut terganggu.

Keputusan lain yang dihasilkan adalah niat untuk menjadi gerbong perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Perundingan Putaran Doha, yang terselenggara sejak tiga tahun lalu, macet di beberapa isu, terutama yang menyangkut produk pertanian dan sektor jasa. "Para menteri APEC telah menegaskan komitmen mereka kepada WTO. Suara lingkar Pasifik akan didengar di seluruh dunia dan bergaung di Gedung WTO. Orang akan mendengar saat APEC bicara," ucap Zoellick jumawa.

Jika melihat angka statistik, kesombongan Zoellick bisa jadi ada benarnya. Saat ini, APEC menaungi 21 negara dengan penduduk 2,5 miliar jiwa, atau lebih dari sepertiga populasi dunia. Perekonomian APEC mencakup 60 persen dari total produk domestik bruto dunia, dan 47 persen dari total perdagangan dunia.

Namun, apakah potensi itu dapat dimanfaatkan? Pertanyaan ini muncul karena beberapa pengamat asing melihat APEC seakan kehilangan fokus. Padahal saat ini APEC tengah berkejaran dengan waktu untuk mencapai cita-cita yang mereka kumandangkan sepuluh tahun lalu.

Tujuan yang termuat dalam Deklarasi Bogor itu adalah menjadikan kawasan Asia Pasifik sebagai kawasan perdagangan dan investasi terbuka selambat-lambatnya pada tahun 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk negara berkembang. "Para pemimpin APEC menyadari waktu yang tersisa untuk mereka tidak banyak," ucap John McKay, Direktur Pusat Studi APEC yang berpusat di Australia. McKay menyebut APEC berjalan bak siput karena begitu beragamnya kondisi ekonomi ke-21 anggota APEC. "Ini mirip dengan masalah yang menghambat WTO," tutur McKay.

Sifat keputusan APEC yang tak pernah mengikat juga menjadi penyebab ompongnya resolusi yang dikeluarkan APEC. "APEC sepertinya memang dirancang untuk mencapai hasil yang tak istimewa," ujar Edward Lincoln, analis Asia di Council on Foreign Relations, yang berpusat di Washington. Okta Muchtar menilai keputusan yang tak mengikat lebih menguntungkan negara maju. "Mereka bisa memaksa negara berkembang untuk menerapkan, tetapi bisa berkelit saat ditagih," ujar Okta.

Ancaman yang paling menghantui APEC adalah kemungkinan pecahnya forum ini menjadi blok-blok perdagangan. Sinyalemen itu dilontarkan oleh Fred Bergsten, ekonom yang sempat duduk di kelompok para ahli yang membidani kelahiran APEC. Blok perdagangan yang dikhawatirkan Bergsten adalah kerja sama tertutup di antara anggota APEC atau antara anggota APEC dan negara di luar APEC. Tak seperti APEC yang mengadopsi aturan WTO, kerja sama dalam blok ekonomi dapat berjalan tanpa perlu mengindahkan unsur-unsur yang merugikan pihak ketiga.

"Pengelompokan seperti itu berkembang dengan pesat," kata Bergsten. Untuk kawasan Asia ada kerja sama ekonomi ASEAN plus 3 (Jepang, Korea Selatan, dan India). Ada pula kerja sama bilateral antara Singapura dan Amerika Serikat. Amerika juga berselingkuh dengan para tetangganya untuk membentuk Kawasan Perdagangan Bebas Amerika. Hanya selang sekitar dua hari sebelum pertemuan tingkat tinggi APEC, Australia dan Amerika Serikat meneken kerja sama perdagangan bebas yang mulai efektif awal tahun depan. Kekhawatiran yang sama juga dilontarkan oleh Kim Kih-wan. "Sepertinya APEC terbelah menjadi kelompok Amerika dan Asia," ujar Kim.

Masih adakah keuntungan yang dapat dipetik Indonesia dari APEC? Dalam perjalanan menuju Cile, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan harapannya untuk menyedot investasi puluhan miliar dolar. "Saya akan melakukan pertemuan bilateral dengan 12 negara APEC. Harapan saya, setiap pertemuan dapat menghasilkan investasi satu hingga dua miliar dolar," ujar Presiden kepada wartawan Tempo Bambang Harymurti.

Okta setuju bahwa perundingan bilateral merupakan manfaat jangka pendek yang bisa direguk Indonesia dari pertemuan APEC. "Anggap saja seperti silaturahmi Lebaran. Pada saat-saat seperti itu, kita bisa bertemu kerabat, yang mungkin sulit kita jumpai," kata Okta memberikan umpama.

Thomas Hadiwinata (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus