Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI katak hendak menelan lembu. Perumpamaan itu menggambarkan keinginan Pemerintah Provinsi Papua membeli saham Indocopper Investama?perusahaan yang mengelola 9,36 persen saham PT Freeport Indonesia. Harga Indocopper ditaksir US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9 triliun, sedangkan pendapatan asli daerah Papua tak pernah menembus Rp 1 triliun. Setiap tahun, pajak yang dipungut pemerintah RI dari Freeport sekitar Rp 1,5 triliun, tapi hanya sekitar 1 persen yang mengalir ke kas Pemerintah Papua. Itu sebabnya rencana pembelian itu terkesan sangat ambisius.
Indocopper, yang berdiri pada 1986, kegiatan utamanya adalah mengelola investasi sahamnya di PT Freeport Indonesia itu. Keinginan Papua untuk membeli Indocopper pertama kali dilontarkan oleh Gubernur Papua J.P. Sollosa pada akhir September silam. Rencana itu sempat dianggap sepi oleh pihak Indocopper karena Sollosa sendiri mengaku Papua tak memiliki dana. ?Dari mana uang untuk membeli?? ujar Sollosa ketika itu.
Namun, awal November ini, Sollosa berubah sangat percaya diri. Dana pembelian, kata dia, tak lagi menjadi masalah. Dari mana? Setidaknya ada empat perusahaan keuangan yang siap menjadi ?bandar? Papua untuk mengambil saham Indocopper. ?Sudah banyak yang datang ketemu saya untuk menawarkan dana,? kata Sollosa.
Cerita tentang Papua yang ngebet meminang Indocopper merupakan babak lanjutan dari keinginan Freeport McMoran Copper and Gold (FMCG), perusahaan tambang dari Amerika Serikat, menggabungkan Freeport Indonesia (selanjutnya disebut Freeport) dengan Indocopper Investama. FMCG beralasan merger itu untuk menghemat biaya operasional, mengingat seluruh saham Indocopper dan saham mayoritas Freeport (81,28 persen) ada di tangannya.
Sejatinya, merger adalah urusan pemegang saham. Tetapi, untuk menggabungkan Freeport dan Indocopper, FMCG mau tak mau harus ?pamit? dulu ke pemerintah. Ini terkait dengan silsilah kelahiran Indocopper. Perusahaan itu dibentuk semata-mata untuk mengelola kepemilikan Freeport yang dikuasai oleh pihak Indonesia. (lihat Berebut Saham Kecil).
Namun, jangankan memberikan restu, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral malah mengungkit kembali kewajiban FMCG untuk menjual (divestasi) saham Freeport. Dalam surat penolakan ke FMCG, Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Simon Felix Sembiring malah meminta FMCG untuk melunasi kewajiban menjual saham Freeport ke pihak Indonesia. Kewajiban divestasi itu harus dituntaskan oleh FMCG dalam waktu 180 hari setelah usul merger ditolak. Itu berarti akhir Januari 2005.
Jika FMCG masih punya utang divestasi, mengapa mereka begitu ?percaya diri? mengajukan usul penggabungan antara Indocopper dan Freeport? Jawabannya ada di kontrak karya yang ditandatangani pada 1991, tak lama setelah para geolog Freeport menemukan Grasberg, lokasi yang diperkirakan memiliki cadangan emas terbesar di dunia: 2,6 miliar ton.
Dalam pasal 24 kontrak karya tersebut, FMCG diwajibkan menjual saham Freeport 51 persen. Angka itu di luar jatah 9,36 persen saham Freeport yang dipegang oleh pemerintah Indonesia. Kewajiban divestasi harus dipenuhi oleh Freeport dalam 20 tahun. Tahap pertama, pada 1991 hingga 2001, Freeport wajib menjual 10 persen. FMCG wajib menjual 41 persen lagi saham Freeport ke pihak Indonesia dalam periode berikutnya (2001 hingga 2011).
Ironisnya, dalam pasal yang sama, FMCG juga diberi celah untuk ?melarikan diri? dari kewajiban divestasi. Apabila ada dua pasal yang isinya bertabrakan, FMCG diberi keleluasaan memilih peraturan yang lebih menguntungkan (butir d ayat 2 pasal 24).
Klausul yang tak pernah ada di kontrak karya perusahaan pertambangan di mana pun itu menjadi sumber keruwetan divestasi Freeport. Peraturan itu bisa digunakan untuk menumpulkan kewajiban divestasi oleh FMCG. Peraturan itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang mengizinkan perusahaan asing menguasai 100 persen saham di perusahaan Indonesia. ?Kami sudah memenuhi kewajiban divestasi yang ada di dalam kontrak,? ujar juru bicara Freeport Indonesia, Siddharta Moersjid.
Dengan surat penolakan dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, niat FMCG menggabungkan Indocopper dan Freeport patah. Tak hanya itu, mereka malah harus melunasi kewajiban divestasi. Sejauh ini baru soal saham Indocopper yang dijawab. ?Kami setuju untuk mempertimbangkan penjualan saham kami di PT Indocopper Investama pada harga pasar,? kata Vice President-Communications FMCG, William L. Collier III, seperti dikutip Koran Tempo.
Yang menjadi persoalan kini adalah siapa yang berhak dan, tentu, mampu membeli Indocopper. Dalam kontrak karya, tak dijelaskan dengan pasti siapa pihak Indonesia yang berhak membeli jatah divestasi Freeport. Artinya bisa pemerintah RI atau bisa juga kalangan swasta dalam negeri. ?Divestasi ini murni masalah bisnis. Berbeda dengan divestasi Kaltim Prima Coal, ketika pemerintah bisa ikut menentukan harga,? ujar Simon Felix Sembiring.
Karena itu, menurut Simon, pemerintah tak akan ikut campur dalam penjualan saham Indocopper. ?Mengapa kami yang harus mendesak-desak?? ujar Simon membantah pernyataan Gubernur Sollosa. Beberapa waktu lalu, Sollosa menyebut bahwa Pemerintah Provinsi Papua memberanikan diri menawar Indocopper karena pemerintah pusat, sebagai pihak yang ditawari FMCG, menolak mengambil Indocopper. ?Pemerintah pusat mengalihkan supaya pemerintah provinsi yang membeli saham itu,? kata Sollosa kepada Dara Meutia Uning dari Tempo.
Meski mengaku telah didekati oleh sejumlah pemilik uang, masih belum jelas jalan apa yang akan ditempuh Pemerintah Papua untuk membeli Indocopper. Hingga sebelum libur Lebaran, Pemerintah Provinsi Papua masih mereka-reka bentuk kerja sama dengan sang penyandang modal. ?Bisa berupa kerja sama antara perusahaan daerah dan pihak ketiga atau membentuk perusahaan patungan,? ucap Sollosa. ?Setelah skema pembelian tuntas dirancang, baru Papua menyeleksi tawaran yang masuk.? Pemerintah Provinsi Papua menargetkan seluruh proses itu akan tuntas pada 2005.
Apakah penjualan saham Indocopper ke Papua akan mengulang kejadian sebelumnya? Jangan lupa, FMCG sempat menalangi Bakrie (pada 1991) dan Nusamba (1996) untuk membeli Indocopper (lihat Berebut Saham Kecil). Pemain lama datang lagi? Sollosa membantah. ?Semuanya perusahaan lokal,? ujarnya. Hanya, ia mengaku tak ingat persis siapa saja yang akan digandeng.
Siddharta menolak mengomentari kemungkinan deja vu dalam divestasi Freeport. ?Yang lebih diutamakan adalah harganya,? ucap Siddharta. Beberapa bulan silam sempat terlontar bahwa harga Indocopper sebesar US$ 700 juta. Belakangan, harga itu dikerek hingga US$ 1 miliar. ?Itu sesuai dengan harga saham FMCG di bursa New York,? ujar Siddharta.
Dengan harga setinggi itu, jelas bukan pemain kelas teri yang digandeng Sollosa.
Thomas Hadiwinata, M. Syakur Usman, Yura Syahrul
Berebut Saham ?Kecil?
Saham Freeport sebesar 9,36 persen yang dimiliki Indocopper jadi rebutan. Sempat dikuasai Bakrie dan Bob Hasan, akhirnya kembali ke Freeport-McMoRan. Kabarnya, saham itu akan dilego lagi.
April 1967 PT Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya untuk menambang tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya.
1991 Freeport mengajukan perpanjangan kontrak karena geolognya menemukan cadangan kelas dunia Grasberg pada 1988 dengan nilai ditaksir US$ 60 miliar. Pemerintah RI, diwakili Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, mengajukan syarat agar Freeport menjual 10 persen lagi sahamnya kepada Indonesia. Sebelumnya, pemerintah Indonesia sudah memiliki 10 persen saham di Freeport. Ternyata, 10 persen saham itu jatuh ke tangan kelompok Bakrie melalui PT Bakrie Copperindo Investments Co. Freeport melegonya seharga US$ 213 juta. Namun, Bakrie saat itu hanya membayar US$ 40 juta, sisanya ?dibayari? Freeport?Bakrie boleh membayar dengan dividen yang akan diterima. Namun, syaratnya: Freeport punya hak membeli kembali saham itu bila Bakrie kelak menjualnya.
1992 Bakrie mendirikan perusahaan baru bernama PT Indocopper Investama dan menempatkan saham Freeport miliknya di sana. Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., pemilik 80 persen saham Freeport, kemudian membeli 49 persen saham Indocopper, lalu menebus separuh saham milik Bakrie dengan harga empat kali lipat. Bakrie terpaksa melego sahamnya untuk membayar utang ke Freeport yang belum lunas.
11 Desember 1992 Indocopper resmi menjadi perusahaan terbuka dan mencatatkan diri (listing) di Bursa Efek Surabaya dengan bendera PT Indocopper Investama Tbk. Sebanyak 0,52 persen saham miliknya dijual kepada publik.
1996 Bakrie menjual kembali sisa sahamnya seharga US$ 315 juta ke PT Nusamba Mineral Industri yang dimiliki Bob Hasan. Namun, Nusamba cuma punya US$ 61 juta. Lagi-lagi, Freeport menutupi kekurangannya. Nusamba cukup membayar utangnya dengan mencicil dari dividen yang diperolehnya. Nusamba menguasai 50,48 persen saham Indocopper.
Februari 2002 Freeport-McMoRan membeli seluruh saham Nusamba.
20 Juni 2002 Indocopper mengubah status perusahaan menjadi go private (tertutup) lagi. Freeport-McMoRan membeli saham milik publik. Sehingga seluruh saham Indocopper dikuasai Freeport-McMoRan.
Awal 2004 Freeport mengajukan permohonan merger Indocopper ke dalam Freeport kepada pemerintah Indonesia. Dengan demikian, komposisi saham tambang emas dan tembaga terbesar di dunia itu adalah Freeport McMoran (81,28 persen), pemerintah Indonesia (9,36 persen) dan Indocopper (9,36 persen).
Agustus 2004 Pemerintah Indonesia menolak permohonan merger dan meminta Freeport segera menjual saham Indocopper pada pihak Indonesia dalam waktu 180 hari. Freeport setuju, asal sesuai dengan harga pasar.
27 September 2004 Pemerintah Provinsi Papua mengaku berminat untuk membeli saham Freeport yang dimiliki Indocopper.
SSK/berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo