Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

TVRI, setelah iklan tidak ada lagi kini TVRI rajin masuk desa

Acara siaran niaga di tvri dihapuskan. sekilas tentang tvri stasiun daerah. hasil pengumpulan pendapat tempo. persoalan yang dihadapi pengiklanan & biro iklan tanpa tvri. (md)

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBAS mendadak muncul di Desa Cimara, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sekali ini ia tidak mengudara dengan laporan olahraga. TVRI awal April itu menyiarkan wawancaranya di tepi sebuah sungai dengan Soekartono. Dalam acara baru Dari Desa ke Desa, tampil Soekartono sebagai wiraswasta yang mengusahakan listrik dari tenaga air. Banyak lagi acara baru akan muncul di layar tv. Sebagai pengganti siaran iklan -- 30 jam lebih dalam sebulan -- TVRI Stasiun Pusat Jakarta siap menyiarkan secara nasional sedikitnya 19 mata acara baru. Sekalipun setiap hari hanya satu jam waktu siaran iklan yang harus digantikan, acara baru itu ternyata cukup merepotkan. Sejak reporter, pengarah acara sampai kepala seksi, kini sibuk menyusun rencana. Delapan stasiun TVRI daerah juga sama sibuknya dalam hal ini. Reporter, juru kamera dan pengarah acara TVRI Stasiun Pusat Jakarta kini seperti dikocok -- sering harus pergi ke luar kota menyelenggarakan rekaman film. Karena didesak waktu, dan kurang persiapan, suatu acara kerap diselesaikan dengan tergesa-gesa. Soal koperasi susu di Kuningan, misalnya, diselesaikan dalam waktu hanya satu hari shooting, tanpa didahului penelitian mendasar mengenai problem setempat. Hasilnya seperti anda lihat, gairah berkoperasi di sana muncul dengan kesan hura-hura ala pedagang kaki lima. Dalam menangani persoalan desa, TVRI Surabaya dianggap lebih jago. Dibanding hasil kerja TVRI Jakarta, demikian wartawan TEMPO Dahlan Iskan "acara Dari Desa ke Desa produksi TVRI Surabaya lebih akrab dan menonjol dalam mengemukakan human interest." Dengan pelaku tetap Kwartet S (Malang) dan ludruk RRI Surabaya, Dari Desa ke Desa dan Siaran Pedesaan tadi disiarkan secara berwarna. Bahkan Gubernur Jawa Timur mendorong acara itu dengan dana. Tahun ini, misalnya, kedua acara itu mendapat bantuan dana Rp 70 juta. Yang jelas membuat acara Desa Kita, menurut Noor Syarif, Pengarah Acara TVRI Jakarta cukup sulit. Sekalipun kepada para pelaku (petani dan pamong desa) sudah diberi kebebasan dalam berdialog, mereka sering tidak bisa berbicara di depan kamera. Seorang pejabat Bank Rakyat Indonesia di Majalaya, bahkan pernah juga tak bisa mengucapkan kata-kata ketika lensa kamera membidiknya. Untuk melenyapkan serangan demam panggung itu, Noor sering menembakkan kameranya diam-diam di saat latihan. Chaidir Bahar, Kepala Produksi Desa Kita, juga punya pengalaman serupa ketika memfilmkan peternakan kelinci di Cikalong, Bandung. Rekaman acara penyuluhan itu jadi kurang menarik karena pelakunya -- penduduk desa yang lugu -- gemetar melihat kamera. Kegagalan itu kini ingin dicegahnya. Selanjutnya merekam penyuluhan mengenai pemanfaatan tanah pekarangan, Chaidir menggunakan kelompok dagelan TVRI Yogyakarta. Dengan judul Si Manis dari Sragen, film itu memaparkan sukses sepasang suami-istri mengubah tanah pekarangan rumah yang semula ditumbuhi bambu menjadi perkebunan jeruk. Kisah itu sendiri sesungguhnya diangkat dari pengalaman petani Hadiprayitno, penduduk Dagen, Sleman, Yogyakarta, yang berhasil dengan kebun jeruknya. Pesan cerita itu jelas mengajak penduduk desa berpikir dan berbuat seperti Hadiprayitno. Pesan serupa, tapi tanpa anjuran dan hura-hura, ditampilkan Sambas ketika mengetengahkan Soekartono dan Indraretno, anaknya. Ayah dan anak itu dikemukakan sebagai wiraswasta yang dianggap berhasil. Keduanya secara berangsur, sejak tujuh tahun lalu, berusaha membangun Pusat Listrik Tenaga Air di Cimara. Dengan kredit BRI Rp 17,7 juta dan modal sendiri Rp 17 juta, mereka akhirnya bisa menyediakan tenaga listrik buat penduduk desa itu. Namun mereka kini dihadapkan pada kesulitan mengangsur kredit -- Rp 300 ribu/bulan. Pendapatan dari penarikan rekening pelanggan (Rp 120 ribu/bulan) jelas tak mencukupi. Untung Soekartono punya penghasilan sampingan sebagai pemborong. Betapapun besar kesulitan yang dihadapi, Soekartono dan Indra kini bisa bangga. Setelah wawancara itu disiarkan secara nasional, desa mereka menjadi terkenal. "Bayangkan, Cimara merupakan desa pertama yang memanfaatkan sumber alam untuk tenaga listrik," kata Indra. Desa Kita, Dari Desa ke Desa, dan Daerah Memangun disiarkan dua kali sebulan. Desa memang disengaja supaya lebih sering muncul di tv. Buat penduduk pedalaman, apa pun yang disiarkan TVRI mengenai suatu desa mungkin akan tetap menarik. Buat warga kota, pameran koperasi dan penyuluhan pertanian di pedesaan mungkin lambat laun akan memualkan. Aplagi bila kisahnya bernada menggurui seperti ketika TVRI mengudarakan kegunaan pohon Lamtoro Gung (Petai Cina), 1 April. Jenis acara penerangan semacam itu -- menurut penelitian Fakultas Psikologi UI di Surabaya, Jakarta, Medan dan Ujungpandang -- sangat jarang ditonton. Acara itu hanya ditonton 19,8% dari 1.440 responden. Mereka menyebut acara penerangan kurang bermanfaat, membosankan, kurang menarik dan bertele-tele. Mereka juga berpendapat seharusnya TVRI dipakai sebagai media penghibur, bukan media penerangan. Tapi hampir seluruh responden (83%) menyatakan paling sering menyaksikan acara Dunia Dalam Berita (DDB). Tak heran bila DDB banyak disukai. Sebagian besar materi itu didapatkan TVRI dari kaset video Visnews, London, dan sebagian kecil dari dpa, kantor berita Jerman Barat. Untuk membeli berita film itu dalam tahun anggaran 1980/81 tersedia Rp 62 juta. Tapi materi dari Visnews -- biasanya berisi 8-10 pokok berita dalam setiap kaset video 20 menit -- kini terasa kurang. Pusat Pemberitaan TVRI merencanakan juga pembelian dari UPI (AS). MINAT penonton tv yang begitu besar terhadap segala peristiwa di luar negeri, telah mendorong TVRI menampilkan Laporan Luar Negen. Acara baru itu -- 20 menit setiap siaran, dan dua kali sebulan -- diasuh Willy Karamoy, Kepala Seksi Dokumentasi, Pusat Pemberitaan TVRI Jakarta. Ternyata tidak mudah menyusun acara tadi. Karena Visnews selama ini tidak pernah mengirimkan satu paket kaset video yang membahas secara khusus persoalan suatu negara. Karamoy memutar otak. Setelah menetapkan pergolakan El Salvador sebagai bahan siaran pertama, ia terlebih dulu menylsun tulisan mengenai perang saudara di negeri itu. Pada tahap kedua, ia mengumpulkan rekaman gambar untuk mervisualkan tulisan tadi. Bahan visual tersebut diperolehnya dengan memindahkan sejumlah kiriman Visnews yang terserak di 25 kaset video DDB. Cara kerja seperti ditempuh Karamoy merupakan kebalikan dari kelaziman menyusun suatu acara tv. Karena bahan visual tadi bukan dibuat dengan suatu shooting script khusus, rekaman gambar yang terpisah-pisah itu setelah dirangkaikan masih tampak kurang berkesinambungan. Tapi Karamoy menutup kelemahan itu dengan narasi tulisannya secara hidup. Hasilnya di luar dugaan. Rangkaian itu seolah tampil dengan kuat setelah ditolong pemaparan pergolakan itu secara luas. "Saya tidak menyangka hasilnya demikian spektakuler," ujarnya. Untuk Laporan Luar Negeri kedua, Karamoy kini menyiapkan soal kemelut di Polandia. Ia berusaha menyajikan materi itu dengan tetap memperhatikan politik bebas aktif yang dianut Indonesia. Seperti juga laporan El Salvador, laporan Polandia akan disajikannya tanpa opini. Dan bertolak dari anggapan bahwa Dunia Dalam Berita disukai, maka Berita Nusantara pukul 19.00 secara berangsur mencoba menirunya. Siaran berita domestik ini mengenai pengguntingan pita dan pidato sudah dikurangi, sekalipun masih muncul juga. Sesungguhnya Surat Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, 24 Maret, telah memberikan wewenang penuh pada TVRI menilai materi berita dan menentukan perlu atau tidaknya suatu berita disiarkan. Akibatnya kini bahan berita berbagai upacara dari daerah -- sehari TVRI menerima sekitar 25 film --menumpuk tak terpakai di meja. Berpegang pada surat itu, sebagian besar bahan tadi dianggap tidak lagi layak untuk disiarkan. Bagian Hubungan Masyarakat suatu departemen dan instansi pemerintah kini seyogianya tak bisa lagi mendiktekan keinginan sang boss -- sekalipun telah memberikan imbalan kepada wartawan tv. Sebaliknya, para pekerja di Pusat Pemberitaan TVRI dituntut menyajikan reportase lebih baik. "Kami berusaha menyajikan laporan yang lengkap, disertai fakta dan latar belakang peristiwa itu sendiri," kata Adi Kasno, Kepala Seksi Koordinasi Siaran Berita. Waktu siaran warta berita pukul 19.00 WIB telah diperpanjang dari 15 menit menjadi sekitar 30 menit. Tapi yang diudarakan hanya 10-12 pokok berita, dibanding sebelumnya sampai 25 pokok berita. Karena bahan berita dari daerah kini banyak yang tidak memenuhi syarat, ke dalam acara itu seolah terpaksa dimasukkan pula berita luar negeri yang tidak disertai visualisasi. Secara berangsur Pusat Pemberitaan TVRI Jakarta memang berusaha menyajikan laporan langsung dari lapangan. "Wartawan kami cukup antusias," tambah Kasno. Cara kerja baru untuk pemberitaan itu dapat anggaran Rp 2,6 milyar (1981/82), naik dari sebelumnya sekitar Rp 1,7 milyar. Hasilnya lumayan. Laporan mengenai kegiatan Badan Sensor Film misalnya, cukup informatif. Dan ada lagi acara baru, pukul 22.25-22.30 WIB, sebelum berpisah dengan penonton di Indonesia Timur. Waktu itu TVRI Jakarta menyiarkan warta berita terakhir tanpa visualisasi. Tapi bentuk pelayanan dan penambahan waktu warta berita TVRI ini masih belum apa-apa bila dibanding dengan siaran NHK (Jepang). Bebas dari kontrol pemerintah, NHK mengudara selama 17 jam 27 menit. Program warta beritanya memakan waktu total 6 jam. Sementara TVRI hanya mengudarakan warta berita secara nasional sekitar satu jam dari keseluruhan 7 - 7« jam siarannya --termasuk 20 menit acara Dunia Dalam Benta. Hal itu menunjukkan bahwa kemampuan TVRI masih rendah sekali. Pemerintah tampaknya memperlakukan TVRI bukan sebagai media pemberi informasi saja. Juga ia dianggap sebagai media pemberi hiburan. Buktinya dalam pola baru (berlaku sejak 1 April), acara hiburan dan kebudayaan tetap memperoleh porsi terbesar -- semula 44% kini menjadi 47% dari 7-7,5 jam siaran. Kebijaksanaan itu memang beralasan. Karena acara sandiwara dan film seri, terutama, menurut penelitian suatu biro riset di Jakarta, paling disenangi penonton di Medan, Jakarta, Semarang dan Surabaya. Selain kedua acara tersebut, Dulia Dalam Benta paling digemari dan ditonton, menurut hasil Pengumpulan Pendapat Umum TEMPO di 16 kota besar dan pedesaan --termasuk di Aceh dan Jayapura. Lebih 72% dari sekitar 600 responden menyatakan biasa menonton tv pada pukul 20.30-22.30 WIB -- bertepatan dengan saat ketiga acara tadi sering disiarkan. Celakanya pada pukul 18.30-20.30, di saat acara pembangunan, wawancara, dan penerangan sedang gencar-gencarnya disiarkan, hanya sedikit penonton menyaksikan tv. Akibatnya karena pesawat tv hanya sedikit dikerumuni penonton banyak pesan pemerintah saat itu tidak akan sampai ke masyarakat luas. Kenyataan tak disukainya acara menjelang pukul 20.30 WIB itu tentu saja mengundang berbagai pertanyaan dan kesimpulan. Mungkinkah penyajian acaranya dianggap kurang menarik dan terlalu berbau slogan? Bila benar demikian, alangkah mubazir saja siaran itu. Setiap jam siaran berwarna pemerintah menelan biaya Rp 5 juta. Apakah tidak sebaiknya jam siaran dikurangi saja? Poll TEMPO menunjukkan bahwa kebanyakan responden (42,5%) hanya mau menikmati acara tv selama 30-60 menit saja. Jadi, apakah tidak lebih baik TVRI kembali mengudara selama satu jam saja, seperti aman permulaannya dalam tahun 1962? oom Pasikom, setelah siaran niaga dihapuskan awal April ini, tampak jatuh tertidur dalam saat tv berlangsung. Karikatur karya G.M. Sudharta di harian Kompas itu tidak meleset menggambarkan kenyataan. Usaha TVRI Jakarta berproduksi dengan anggaran Rp 3 juta per film belum membuahkan hasil baik. Perang Kamang, film produksinya bersama HIPMI, ternyata jelek. Penonton tetap saja lebih menyukai produk impor (canned product) seperti film seri Voyage to The Bottom of the The Sea dan Bionic Woman. Dari sekian jumlah produksi TVRI Jakarta, hanya Pelangi dan Chandra Kirana yang populer di samping sandiwara. Pelangi, diudarakan sekali dalam dua bulan, mengemukakan masalah sosial dan ekonomi sehari-hari. Dalam siaran terakhir, acara itu mengungkapkan kekusutan masalah transportasi. Di situ TVRI Jakarta berusaha menyajikan acara itu apa adanya -- para pelaku (kadang penduduk biasa) di dalamnya sesekali dibiarkan melontarkan kritik. Kedua acara populer itu direlay juga oleh delapan stasiun daerah. Ada juga TVRI stasiun daerah yang tak mau ketinggalan menyajikan acara menarik. Ketoprak yang disiarkan setiap Selasa setelah Dunia Dalam Berita, misalnya, dari TVRI Yogya. Tapi penonton jadi jengkel karena acara itu mengudara bersamaan dengan saatnya TVRI Surabaya merelay film seri Bionic Woman yang disiarkan TVRI Jakarta. Penduduk sekitar Yogya, selain menonton siaran stasiun lokal, juga bisa menangkap siaran TVRI Surabaya. Kaum muda dan kelompok menengah ke atas tentu lebih menyukai Bionic Woman. Sementara itu TVRI Surabaya juga punya acara menarik setiap Jumat: Galarama. Acara itu (disiarkan hitam putih) -- suatu gabungan penyajian musik dan lawak, menyerupai Kamera Ria -- cukup populer di Jawa Timur. Biaya produksinya (Rp 2 juta) dipikul secara gotong royong oleh 10 pemasang iklan. Mungkin karena sponsornya sudah disuruh pergi, Galarama Jumat pekan lalu mengudara dengan penyajian yang pernah disiarkannya. Banyak penonton jadi jengkel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus