SAMBAS mendadak muncul di Desa Cimara, Kabupaten Kuningan, Jawa
Barat. Sekali ini ia tidak mengudara dengan laporan olahraga.
TVRI awal April itu menyiarkan wawancaranya di tepi sebuah
sungai dengan Soekartono. Dalam acara baru Dari Desa ke Desa,
tampil Soekartono sebagai wiraswasta yang mengusahakan listrik
dari tenaga air.
Banyak lagi acara baru akan muncul di layar tv. Sebagai
pengganti siaran iklan -- 30 jam lebih dalam sebulan -- TVRI
Stasiun Pusat Jakarta siap menyiarkan secara nasional
sedikitnya 19 mata acara baru. Sekalipun setiap hari hanya satu
jam waktu siaran iklan yang harus digantikan, acara baru itu
ternyata cukup merepotkan. Sejak reporter, pengarah acara sampai
kepala seksi, kini sibuk menyusun rencana. Delapan stasiun TVRI
daerah juga sama sibuknya dalam hal ini.
Reporter, juru kamera dan pengarah acara TVRI Stasiun Pusat
Jakarta kini seperti dikocok -- sering harus pergi ke luar kota
menyelenggarakan rekaman film. Karena didesak waktu, dan kurang
persiapan, suatu acara kerap diselesaikan dengan tergesa-gesa.
Soal koperasi susu di Kuningan, misalnya, diselesaikan dalam
waktu hanya satu hari shooting, tanpa didahului penelitian
mendasar mengenai problem setempat. Hasilnya seperti anda lihat,
gairah berkoperasi di sana muncul dengan kesan hura-hura ala
pedagang kaki lima.
Dalam menangani persoalan desa, TVRI Surabaya dianggap lebih
jago. Dibanding hasil kerja TVRI Jakarta, demikian wartawan
TEMPO Dahlan Iskan "acara Dari Desa ke Desa produksi TVRI
Surabaya lebih akrab dan menonjol dalam mengemukakan human
interest." Dengan pelaku tetap Kwartet S (Malang) dan ludruk RRI
Surabaya, Dari Desa ke Desa dan Siaran Pedesaan tadi disiarkan
secara berwarna. Bahkan Gubernur Jawa Timur mendorong acara itu
dengan dana. Tahun ini, misalnya, kedua acara itu mendapat
bantuan dana Rp 70 juta.
Yang jelas membuat acara Desa Kita, menurut Noor Syarif,
Pengarah Acara TVRI Jakarta cukup sulit. Sekalipun kepada para
pelaku (petani dan pamong desa) sudah diberi kebebasan dalam
berdialog, mereka sering tidak bisa berbicara di depan kamera.
Seorang pejabat Bank Rakyat Indonesia di Majalaya, bahkan pernah
juga tak bisa mengucapkan kata-kata ketika lensa kamera
membidiknya. Untuk melenyapkan serangan demam panggung itu, Noor
sering menembakkan kameranya diam-diam di saat latihan.
Chaidir Bahar, Kepala Produksi Desa Kita, juga punya pengalaman
serupa ketika memfilmkan peternakan kelinci di Cikalong,
Bandung. Rekaman acara penyuluhan itu jadi kurang menarik karena
pelakunya -- penduduk desa yang lugu -- gemetar melihat kamera.
Kegagalan itu kini ingin dicegahnya. Selanjutnya merekam
penyuluhan mengenai pemanfaatan tanah pekarangan, Chaidir
menggunakan kelompok dagelan TVRI Yogyakarta.
Dengan judul Si Manis dari Sragen, film itu memaparkan sukses
sepasang suami-istri mengubah tanah pekarangan rumah yang semula
ditumbuhi bambu menjadi perkebunan jeruk. Kisah itu sendiri
sesungguhnya diangkat dari pengalaman petani Hadiprayitno,
penduduk Dagen, Sleman, Yogyakarta, yang berhasil dengan kebun
jeruknya. Pesan cerita itu jelas mengajak penduduk desa berpikir
dan berbuat seperti Hadiprayitno.
Pesan serupa, tapi tanpa anjuran dan hura-hura, ditampilkan
Sambas ketika mengetengahkan Soekartono dan Indraretno, anaknya.
Ayah dan anak itu dikemukakan sebagai wiraswasta yang dianggap
berhasil. Keduanya secara berangsur, sejak tujuh tahun lalu,
berusaha membangun Pusat Listrik Tenaga Air di Cimara. Dengan
kredit BRI Rp 17,7 juta dan modal sendiri Rp 17 juta, mereka
akhirnya bisa menyediakan tenaga listrik buat penduduk desa itu.
Namun mereka kini dihadapkan pada kesulitan mengangsur kredit --
Rp 300 ribu/bulan. Pendapatan dari penarikan rekening pelanggan
(Rp 120 ribu/bulan) jelas tak mencukupi. Untung Soekartono punya
penghasilan sampingan sebagai pemborong.
Betapapun besar kesulitan yang dihadapi, Soekartono dan Indra
kini bisa bangga. Setelah wawancara itu disiarkan secara
nasional, desa mereka menjadi terkenal. "Bayangkan, Cimara
merupakan desa pertama yang memanfaatkan sumber alam untuk
tenaga listrik," kata Indra.
Desa Kita, Dari Desa ke Desa, dan Daerah Memangun disiarkan dua
kali sebulan. Desa memang disengaja supaya lebih sering muncul
di tv. Buat penduduk pedalaman, apa pun yang disiarkan TVRI
mengenai suatu desa mungkin akan tetap menarik. Buat warga kota,
pameran koperasi dan penyuluhan pertanian di pedesaan mungkin
lambat laun akan memualkan. Aplagi bila kisahnya bernada
menggurui seperti ketika TVRI mengudarakan kegunaan pohon
Lamtoro Gung (Petai Cina), 1 April.
Jenis acara penerangan semacam itu -- menurut penelitian
Fakultas Psikologi UI di Surabaya, Jakarta, Medan dan
Ujungpandang -- sangat jarang ditonton. Acara itu hanya ditonton
19,8% dari 1.440 responden. Mereka menyebut acara penerangan
kurang bermanfaat, membosankan, kurang menarik dan bertele-tele.
Mereka juga berpendapat seharusnya TVRI dipakai sebagai media
penghibur, bukan media penerangan. Tapi hampir seluruh
responden (83%) menyatakan paling sering menyaksikan acara
Dunia Dalam Berita (DDB).
Tak heran bila DDB banyak disukai. Sebagian besar materi itu
didapatkan TVRI dari kaset video Visnews, London, dan sebagian
kecil dari dpa, kantor berita Jerman Barat. Untuk membeli berita
film itu dalam tahun anggaran 1980/81 tersedia Rp 62 juta. Tapi
materi dari Visnews -- biasanya berisi 8-10 pokok berita dalam
setiap kaset video 20 menit -- kini terasa kurang. Pusat
Pemberitaan TVRI merencanakan juga pembelian dari UPI (AS).
MINAT penonton tv yang begitu besar terhadap segala peristiwa
di luar negeri, telah mendorong TVRI menampilkan Laporan Luar
Negen. Acara baru itu -- 20 menit setiap siaran, dan dua kali
sebulan -- diasuh Willy Karamoy, Kepala Seksi Dokumentasi, Pusat
Pemberitaan TVRI Jakarta. Ternyata tidak mudah menyusun acara
tadi. Karena Visnews selama ini tidak pernah mengirimkan satu
paket kaset video yang membahas secara khusus persoalan suatu
negara.
Karamoy memutar otak. Setelah menetapkan pergolakan El Salvador
sebagai bahan siaran pertama, ia terlebih dulu menylsun tulisan
mengenai perang saudara di negeri itu. Pada tahap kedua, ia
mengumpulkan rekaman gambar untuk mervisualkan tulisan tadi.
Bahan visual tersebut diperolehnya dengan memindahkan sejumlah
kiriman Visnews yang terserak di 25 kaset video DDB. Cara kerja
seperti ditempuh Karamoy merupakan kebalikan dari kelaziman
menyusun suatu acara tv.
Karena bahan visual tadi bukan dibuat dengan suatu shooting
script khusus, rekaman gambar yang terpisah-pisah itu setelah
dirangkaikan masih tampak kurang berkesinambungan. Tapi Karamoy
menutup kelemahan itu dengan narasi tulisannya secara hidup.
Hasilnya di luar dugaan. Rangkaian itu seolah tampil dengan kuat
setelah ditolong pemaparan pergolakan itu secara luas. "Saya
tidak menyangka hasilnya demikian spektakuler," ujarnya.
Untuk Laporan Luar Negeri kedua, Karamoy kini menyiapkan soal
kemelut di Polandia. Ia berusaha menyajikan materi itu dengan
tetap memperhatikan politik bebas aktif yang dianut Indonesia.
Seperti juga laporan El Salvador, laporan Polandia akan
disajikannya tanpa opini.
Dan bertolak dari anggapan bahwa Dunia Dalam Berita disukai,
maka Berita Nusantara pukul 19.00 secara berangsur mencoba
menirunya. Siaran berita domestik ini mengenai pengguntingan
pita dan pidato sudah dikurangi, sekalipun masih muncul juga.
Sesungguhnya Surat Menteri Sekretaris Negara Sudharmono SH, 24
Maret, telah memberikan wewenang penuh pada TVRI menilai materi
berita dan menentukan perlu atau tidaknya suatu berita
disiarkan. Akibatnya kini bahan berita berbagai upacara dari
daerah -- sehari TVRI menerima sekitar 25 film --menumpuk tak
terpakai di meja. Berpegang pada surat itu, sebagian besar bahan
tadi dianggap tidak lagi layak untuk disiarkan.
Bagian Hubungan Masyarakat suatu departemen dan instansi
pemerintah kini seyogianya tak bisa lagi mendiktekan keinginan
sang boss -- sekalipun telah memberikan imbalan kepada wartawan
tv. Sebaliknya, para pekerja di Pusat Pemberitaan TVRI dituntut
menyajikan reportase lebih baik. "Kami berusaha menyajikan
laporan yang lengkap, disertai fakta dan latar belakang
peristiwa itu sendiri," kata Adi Kasno, Kepala Seksi Koordinasi
Siaran Berita.
Waktu siaran warta berita pukul 19.00 WIB telah diperpanjang
dari 15 menit menjadi sekitar 30 menit. Tapi yang diudarakan
hanya 10-12 pokok berita, dibanding sebelumnya sampai 25 pokok
berita. Karena bahan berita dari daerah kini banyak yang tidak
memenuhi syarat, ke dalam acara itu seolah terpaksa dimasukkan
pula berita luar negeri yang tidak disertai visualisasi.
Secara berangsur Pusat Pemberitaan TVRI Jakarta memang berusaha
menyajikan laporan langsung dari lapangan. "Wartawan kami cukup
antusias," tambah Kasno.
Cara kerja baru untuk pemberitaan itu dapat anggaran Rp 2,6
milyar (1981/82), naik dari sebelumnya sekitar Rp 1,7 milyar.
Hasilnya lumayan. Laporan mengenai kegiatan Badan Sensor Film
misalnya, cukup informatif.
Dan ada lagi acara baru, pukul 22.25-22.30 WIB, sebelum berpisah
dengan penonton di Indonesia Timur. Waktu itu TVRI Jakarta
menyiarkan warta berita terakhir tanpa visualisasi.
Tapi bentuk pelayanan dan penambahan waktu warta berita TVRI ini
masih belum apa-apa bila dibanding dengan siaran NHK (Jepang).
Bebas dari kontrol pemerintah, NHK mengudara selama 17 jam 27
menit. Program warta beritanya memakan waktu total 6 jam.
Sementara TVRI hanya mengudarakan warta berita secara nasional
sekitar satu jam dari keseluruhan 7 - 7« jam siarannya --termasuk
20 menit acara Dunia Dalam Benta. Hal itu menunjukkan bahwa
kemampuan TVRI masih rendah sekali.
Pemerintah tampaknya memperlakukan TVRI bukan sebagai media
pemberi informasi saja. Juga ia dianggap sebagai media pemberi
hiburan. Buktinya dalam pola baru (berlaku sejak 1 April), acara
hiburan dan kebudayaan tetap memperoleh porsi terbesar -- semula
44% kini menjadi 47% dari 7-7,5 jam siaran. Kebijaksanaan itu
memang beralasan. Karena acara sandiwara dan film seri,
terutama, menurut penelitian suatu biro riset di Jakarta, paling
disenangi penonton di Medan, Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Selain kedua acara tersebut, Dulia Dalam Benta paling digemari
dan ditonton, menurut hasil Pengumpulan Pendapat Umum TEMPO di
16 kota besar dan pedesaan --termasuk di Aceh dan Jayapura.
Lebih 72% dari sekitar 600 responden menyatakan biasa menonton
tv pada pukul 20.30-22.30 WIB -- bertepatan dengan saat ketiga
acara tadi sering disiarkan. Celakanya pada pukul 18.30-20.30,
di saat acara pembangunan, wawancara, dan penerangan sedang
gencar-gencarnya disiarkan, hanya sedikit penonton menyaksikan
tv. Akibatnya karena pesawat tv hanya sedikit dikerumuni
penonton banyak pesan pemerintah saat itu tidak akan sampai ke
masyarakat luas.
Kenyataan tak disukainya acara menjelang pukul 20.30 WIB itu
tentu saja mengundang berbagai pertanyaan dan kesimpulan.
Mungkinkah penyajian acaranya dianggap kurang menarik dan
terlalu berbau slogan? Bila benar demikian, alangkah mubazir
saja siaran itu. Setiap jam siaran berwarna pemerintah menelan
biaya Rp 5 juta.
Apakah tidak sebaiknya jam siaran dikurangi saja? Poll TEMPO
menunjukkan bahwa kebanyakan responden (42,5%) hanya mau
menikmati acara tv selama 30-60 menit saja. Jadi, apakah tidak
lebih baik TVRI kembali mengudara selama satu jam saja, seperti
aman permulaannya dalam tahun 1962?
oom Pasikom, setelah siaran niaga dihapuskan awal April ini,
tampak jatuh tertidur dalam saat tv berlangsung. Karikatur karya
G.M. Sudharta di harian Kompas itu tidak meleset menggambarkan
kenyataan.
Usaha TVRI Jakarta berproduksi dengan anggaran Rp 3 juta per
film belum membuahkan hasil baik. Perang Kamang, film
produksinya bersama HIPMI, ternyata jelek. Penonton tetap saja
lebih menyukai produk impor (canned product) seperti film seri
Voyage to The Bottom of the The Sea dan Bionic Woman.
Dari sekian jumlah produksi TVRI Jakarta, hanya Pelangi dan
Chandra Kirana yang populer di samping sandiwara. Pelangi,
diudarakan sekali dalam dua bulan, mengemukakan masalah sosial
dan ekonomi sehari-hari. Dalam siaran terakhir, acara itu
mengungkapkan kekusutan masalah transportasi. Di situ TVRI
Jakarta berusaha menyajikan acara itu apa adanya -- para pelaku
(kadang penduduk biasa) di dalamnya sesekali dibiarkan
melontarkan kritik. Kedua acara populer itu direlay juga oleh
delapan stasiun daerah.
Ada juga TVRI stasiun daerah yang tak mau ketinggalan menyajikan
acara menarik. Ketoprak yang disiarkan setiap Selasa setelah
Dunia Dalam Berita, misalnya, dari TVRI Yogya. Tapi penonton
jadi jengkel karena acara itu mengudara bersamaan dengan saatnya
TVRI Surabaya merelay film seri Bionic Woman yang disiarkan TVRI
Jakarta. Penduduk sekitar Yogya, selain menonton siaran stasiun
lokal, juga bisa menangkap siaran TVRI Surabaya. Kaum muda dan
kelompok menengah ke atas tentu lebih menyukai Bionic Woman.
Sementara itu TVRI Surabaya juga punya acara menarik setiap
Jumat: Galarama. Acara itu (disiarkan hitam putih) -- suatu
gabungan penyajian musik dan lawak, menyerupai Kamera Ria --
cukup populer di Jawa Timur. Biaya produksinya (Rp 2 juta)
dipikul secara gotong royong oleh 10 pemasang iklan. Mungkin
karena sponsornya sudah disuruh pergi, Galarama Jumat pekan lalu
mengudara dengan penyajian yang pernah disiarkannya. Banyak
penonton jadi jengkel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini