Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Bank sentral mulai masuk ke pasar perdana lelang Surat Utang Negara.
Kesepakatan untuk rencana skema penjualan bilateral obligasi negara dikebut.
LELANG Surat Utang Negara (SUN) yang digelar Kementerian Keuangan, Selasa, 2 Juni lalu, banjir peminat. Investor ramai memburu obligasi negara hingga oversubscribed alias kelebihan permintaan sebanyak 5,2 kali. Hasilnya, pemerintah hanya memenangkan Rp 24,35 triliun atas tujuh seri Surat Berharga Negara (SBN) dari total penawaran yang masuk sebesar Rp 105,271 triliun.
Dari nilai yang diambil tersebut, sebesar Rp 2,09 triliun adalah penawaran dari Bank Indonesia. Bank sentral dimenangkan sebagai penawar nonkompetitif di pasar perdana. “Partisipasi BI di pasar perdana makin lama makin baik,” ucap Gubernur BI Perry Warjiyo, Rabu, 3 Juni lalu.
Dalam keterangan pers seusai rapat kabinet terbatas yang menetapkan revisi postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 itu, Perry berulang kali menekankan bahwa bank sentral akan berkomitmen mendukung pemerintah. Di antaranya dalam urusan pembiayaan anggaran pemulihan ekonomi nasional yang terkena dampak pandemi Covid-19.
Penjelasan itu seolah-olah hendak menepis sinyal adanya ketegangan antara Kebon Sirih—markas BI—dan Lapangan Banteng—kantor Kementerian Keuangan. Kabar ini mencuat sebelum Lebaran lalu. Gara-garanya, ketika pemerintah melepas SBN di era pandemi, bank sentral tetap bermain di pasar sekunder kendati Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020—kini Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020—telah memberikan keleluasaan bagi BI untuk menyerap obligasi negara di pasar perdana.
Akibatnya, Kementerian Keuangan menilai penawaran yang masuk kurang kompetitif. Bunga atau imbal hasilnya kelewat mahal lantaran pembelinya investor umum. Dalam lelang SUN, 14 April lalu, misalnya, penawaran yang masuk hanya Rp 27,65 triliun, turun dibanding nilai dalam tender dua pekan sebelumnya yang mencapai Rp 33,51 triliun. Dalam lelang itu, imbal hasil rata-rata 7,96 persen, 7,545 persen, dan 8,21 persen. Kementerian Keuangan akhirnya cuma menyerap Rp 16,88 triliun, di bawah target Rp 20-30 triliun.
Begitu pula dalam lelang 5 Mei lalu, pemerintah hanya mendapatkan Rp 18,1 triliun dengan imbal hasil rata-rata tertimbang mencapai 6,19 persen, 7,40 persen, dan 8,44 persen. Sejak awal pemerintah berharap BI dapat masuk ke pasar perdana agar yield bisa lebih murah.
Kementerian Keuangan dan BI sebenarnya telah meneken kesepakatan bersama pada 16 April lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan keputusan nomor 190/KMK.08/2020, sementara Gubernur BI Perry Warjiyo mengeluarkan surat nomor 22/4/KEP.GBI/2020. Isinya tentang skema dan mekanisme pembelian SBN—termasuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)—di pasar perdana untuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara. Namun kesepakatan ini dibuat khusus untuk pembiayaan umum APBN (above the line), bukan untuk tujuan tertentu, seperti program pemulihan ekonomi dan/atau restrukturisasi perbankan (below the line).
Mekanisme pembelian SBN oleh BI di pasar perdana meliputi tiga tahap. Pertama, bank sentral sebagai penawar nonkompetitif dalam lelang reguler bisa menawar paling banyak 25 persen dari target maksimal SBN dan 35 persen untuk SBSN. Bila itu belum memenuhi, BI bisa ikut dalam lelang tambahan—sering disebut greenshoe option. Jika masih diperlukan, BI bisa masuk melalui private placement alias penjualan secara bilateral.
Perry mengklaim, setelah kesepakatan bersama diteken, pembelian obligasi negara di pasar perdana meningkat. Per 26 Mei 2020, bank sentral mencatat kepemilikan SBN mencapai Rp 443,48 triliun. “Kami ikut dalam lelang pasar perdana baik sebagai noncompetitive bidder, greenshoe option, maupun private placement,” ujarnya.
Namun kesepakatan itu ternyata tak cukup. Muncul wacana supaya BI tak hanya berperan sebagai pembeli siaga SBN di pasar perdana, tapi juga ikut menopang beban. Ini konsep gotong-royong yang didengungkan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi di era pandemi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo