Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Merah Hitam Kota Pahlawan

Masih tingginya aktivitas penduduk Jawa Timur ikut menaikkan jumlah kasus corona. Rumah sakit dan dokter kewalahan.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Warga RW 12, Dusun Jati,memeriksa pendatang di gerbang pengecekan, di Kecamatan Waru, Sidoarjo, 3 Juni 2020. TEMPO/Nurhadi
Perbesar
Warga RW 12, Dusun Jati,memeriksa pendatang di gerbang pengecekan, di Kecamatan Waru, Sidoarjo, 3 Juni 2020. TEMPO/Nurhadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pertambahan pasien corona di Jawa Timur meningkat pesat dalam beberapa pekan terakhir.

  • Jawa Timur menempati urutan kedua kasus terbanyak corona di Indonesia, setelah DKI Jakarta.

  • Gubernur Jawa Timur dan Wali Kota Surabaya bersilang pendapat menangani corona.

BERPALANG besi berkelir kuning-hitam, jalan ke wilayah Rukun Warga 12, Dusun Jati, Kecamatan Waru, Sidoarjo, dijaga dua pria bermasker pada Rabu siang, 3 Juni lalu. Seorang di antaranya menyetop pengemudi ojek online yang hendak melintas untuk mengantar makanan. Melarang pengemudi tersebut melintas, laki-laki itu meminta paket makanan dititipkan di posko.

Ketua RW 12 Dusun Jati, Mujiono, mengatakan penjagaan diperketat karena wilayahnya menjadi zona merah kasus positif Coronavirus Disease 2019. “Penduduk yang boleh ke luar kampung hanya yang berstatus nonreaktif dari hasil rapid test,” ujar Mujiono kepada Tempo.

Wabah corona di RW 12, Dusun Jati, ditengarai menyebar dari acara tahlilan di sebuah rumah warga pada 25 Maret lalu. Saat itu, Sidoarjo belum menerapkan pembatasan sosial berskala besar sehingga acara tersebut dihadiri tetamu dari luar daerah. Beberapa hari kemudian, sejumlah peserta tahlil mengalami batuk dan sesak napas. Mengetahui gejalanya mirip Covid-19, pengurus RW menggelar tes cepat massal dengan hasil puluhan orang positif. Menurut Mujiono, setelah dilakukan tes swab, 21 orang terkonfirmasi positif corona.

Tak ingin virus menyebar lagi, Mujiono dan warga RW 12 memasang kamera closed-circuit television di sudut-sudut gang. Lewat layar monitor yang terpasang di posko, aktivitas penduduk terpantau melalui kamera CCTV itu. Manakala ada orang berkerumun dan tak mengenakan masker, petugas di pos langsung memberikan peringatan lewat pengeras suara.

Hingga Jumat, 5 Juni lalu, Kabupaten Sidoarjo mencatat ada 712 orang positif corona atau tertinggi kedua di Jawa Timur. Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo Syaf Satriawarman mengatakan kasus corona di daerahnya masih tinggi karena tingkat kepatuhan terhadap aturan pembatasan sosial masih rendah. Menurut dia, letak Sidoarjo yang berbatasan langsung dengan Kota Surabaya, daerah dengan kasus tertinggi di Jawa Timur, juga menjadi salah satu faktor melonjaknya angka penularan. “Sebagian penduduk masih keluar-masuk Surabaya untuk bekerja,” ujar Syaf.

Berdasarkan data Google Covid-19 Mobility Report sejak 17 April sampai 29 Mei 2020, aktivitas masyarakat Jawa Timur di luar rumah baru turun 35 persen. Adapun data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Jumat, 5 Juni lalu, menunjukkan Jawa Timur menempati urutan kedua kasus positif terbanyak di Indonesia, setelah Jakarta, dengan 5.408 kasus corona dan 437 orang meninggal. Sedangkan Satuan Tugas Covid-19 Jawa Timur mencatat 5.512 kasus dan lebih dari separuhnya atau 2.880 kasus terjadi di Surabaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Wakil Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Cabang Surabaya Arief Bakhtiar mengatakan lonjakan jumlah kasus di Surabaya terjadi setelah Idul Fitri pada 24-25 Mei lalu. Menurut dia, lonjakan itu membuat pasien corona di sejumlah rumah sakit harus menunggu dirawat di bangsal gawat darurat karena ruang isolasi telah penuh. Di Rumah Sakit dr Soetomo dan Rumah Sakit Royal, tempat Arief berdinas, pasien Covid-19 pun terus berdatangan. “Rumah sakit mulai kewalahan,” ujarnya. Arief juga mengaku kerap mendapat keluhan dari koleganya karena beban kerja terus meningkat.

Peningkatan jumlah kasus corona di Surabaya membuat warna daerah itu dalam peta yang dimuat di situs infocovid19.jatimprov.go.id menjadi merah kehitaman. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengatakan gradasi warna dalam situs pemantauan corona dibuat berdasarkan jumlah kasus di setiap kota dan kabupaten. Makin banyak kasus positif yang terkonfirmasi, warna merah dalam peta akan berubah menjadi pekat.

Tampilan di laman resmi pemerintah provinsi itu dirancang tim kuratif Gugus Tugas Percepatan Covid-19 Jawa Timur. Salah satunya Makhyan Jibril, dokter lulusan University College London. Jibril menjelaskan, warna dalam peta Covid-19 Jawa Timur akan berubah sesuai dengan data yang diunggah tiap dinas kesehatan. “Pengambil kebijakan bisa menaruh kewaspadaan berdasarkan warna-warna itu,” ujarnya. Jibril membuat beberapa tingkat warna merah untuk memandu pemerintah menentukan prioritas bantuan. Ia memastikan rona merah kehitaman di peta Surabaya merupakan level terakhir pewarnaan dalam sistem yang dibuatnya.

Namun Kepala Dinas Kesehatan Surabaya Febria Rachmanita mempertanyakan label zona hitam tersebut. Menurut dia, kajian epidemiologi tak mengenal pemberian warna untuk daerah yang punya kasus penyakit infeksi menular. Febria pun mengklaim tren kesembuhan pasien corona di Kota Pahlawan terus meningkat, dari 240 orang pada 1 Juni menjadi 610 pasien empat hari kemudian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Petugas Tagana berkomunikasi dengan penghuni mes karantina Covid-19 di Rusunawa IAIN Tulungagung, Jawa Timur, 5 Juni 2020. ANTARA/Destyan Sujarwoko

Sebelum berpolemik tentang warna peta Surabaya, pemerintah Jawa Timur dan pemerintah Surabaya sempat berebut mobil tes polymerase chain reaction atau PCR. Berbicara dengan nada tinggi via telepon kepada seorang pejabat provinsi pada 29 Mei lalu, Wali Kota Tri Rismaharini memprotes pengiriman mobil laboratorium ke Lamongan dan Tulungagung. Risma menuding pemerintah Jawa Timur menyerobot bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana tersebut.

Politikus PDI Perjuangan itu bercerita bahwa bantuan mobil tes PCR diperoleh setelah dia mengontak Kepala BNPB yang juga Ketua Gugus Tugas Covid-19, Doni Monardo. Risma mengungkapkan pelacakan kasus di Surabaya belum optimal sehingga dia meminta tambahan alat. Doni menyanggupi permintaan itu dengan mengirim dua mobil laboratorium. “Saya sendiri yang meminta ke Pak Doni. Kasihan pasien yang sudah menunggu,” kata Risma.

Khofifah mengklaim mobil dari BNPB dihibahkan untuk Jawa Timur, bukan Surabaya. Ia menilai empat laboratorium di Surabaya sudah cukup untuk menangani antrean tes. Lebih-lebih, waktu itu, Risma baru saja memperoleh bantuan alat uji usap dari Badan Intelijen Negara. “Kondisi daerah lain yang jauh dari fasilitas tes juga genting,” ujar Khofifah.

Pemerintah Lamongan baru mendapat kepastian pengiriman mobil sehari sebelum Risma mencak-mencak. Sekretaris Gugus Tugas Covid-19 Lamongan Yurohnur Efendi mengatakan pejabat Dinas Kesehatan Jawa Timur memberitahukan ada mobil PCR yang akan tiba, meski dia tak pernah meminta alat itu. Sedangkan pemerintah Tulungagung mendapat bantuan mobil PCR setelah melapor ke pemerintah provinsi bahwa ada 189 sampel swab yang belum keluar hasilnya.

Sempat tertunda sehari, mobil PCR pinjaman BNPB akhirnya beroperasi melayani 300 warga di kompleks Gedung Olahraga Gelora Pancasila, Surabaya, pada Sabtu, 30 Mei lalu. Budi Santoso, warga Tambaksari, yang mengantarkan neneknya mengikuti tes usap hari itu, kecewa lantaran bantuan laboratorium sempat dialihkan ke daerah lain. Ia ingin memastikan apakah neneknya benar-benar terpapar corona atau tidak. “Hasil uji cepat menunjukkan nenek saya positif,” katanya.

RAYMUNDUS RIKANG, BUDIARTI UTAMI, KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA), NURHADI (SIDOARJO), SUJATMIKO (LAMONGAN), HARI TRI WASONO (TULUNGAGUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai Redaktur Pelaksana Desk Wawancara dan Investigasi. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus