Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERHELATAN Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Bali, yang berakhir Selasa pekan lalu, menyisakan cerita kegagalan bagi tuan rumah. Sebagai penghasil minyak sawit alias crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, Indonesia tak mampu memasukkan produk itu ke daftar produk ramah lingkungan untuk menangguk untung di pasar negara-negara APEC.
Pemerintah bahkan dinilai tak mampu meyakinkan negeri-negeri sesama penghasil minyak sawit. "Pemerintah kurang persiapan dalam menggalang dukungan," kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Fadhil Hasan kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Aroma kegagalan sudah tercium sejak tahun lalu, menjelang KTT APEC di Vladivostok, Rusia. Daftar produk-produk yang akan mendapat pengurangan bea masuk hingga maksimal 5 persen pada 2015 itu mulai dibahas sejak pertemuan tingkat direktur jenderal alias senior officer meeting (SOM) pertama pada awal 2012 di Rusia. Tapi Indonesia baru mengajukan sawit, karet, dan produk hutan lainnya dalam pertemuan final KTT APEC Vladivostok pada September 2012. "Karena terlambat, usulan tak dibahas dalam pertemuan pimpinan negara," ucap Fadhil.
Daftar produk ramah lingkungan dibahas oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak 2002. Lama tak ada perkembangan, pembahasan muncul lagi di APEC 2009 di Singapura dan tahun berikutnya di Jepang. Muncullah daftar 26 environmental goods and services pada APEC 2011 di Hawaii, Amerika Serikat. Daftar digenapi oleh Cina menjadi 54 dengan memasukkan bambu di APEC Vladivostok.
Standar produk hijau itu mengacu pada patokan Badan Lingkungan Amerika atau Environmental Protection Agency (EPA). Pada 28 Januari 2012, EPA mengumumkan CPO Indonesia masuk kategori Renewable Fuel Standards dengan emisi 20 persen. Padahal EPA memasok emisi maksimal 17 persen. Walau ditolak, usul Indonesia dijanjikan dikaji kesesuaiannya dengan lingkungan.
Kekeliruan Indonesia baru disadari menjelang perhelatan di Vladivostok. Beberapa negara, seperti Meksiko, Rusia, Cina, dan Filipina, menentang usul Indonesia karena mereka ingin komitmen atas 54 produk direalisasi lebih dulu.
Namun sumber lain menyebutkan lobi petani Amerika ada di belakang penolakan itu. Produk mereka seperti minyak dari bunga matahari, kedelai, dan jagung bakal kalah bersaing kalau CPO masuk. Belakangan, volume produk CPO Indonesia yang 23,5 juta ton per tahun mengalahkan Malaysia. Akibatnya, kedua negara tak akur memperjuangkan CPO.
Indonesia kembali berjuang dalam SOM sejak awal 2013 di Jakarta, Surabaya, dan Medan menjelang KTT APEC Bali, yang diadakan pada 7-8 Oktober lalu. Pasar APEC memang menggiurkan. Penduduk 21 negara anggotanya merupakan 40 persen populasi dunia serta menguasai 50 persen perdagangan dunia dan menyumbang 56 persen dari total produk domestik bruto dunia. Usul Indonesia lagi-lagi mentah.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menganggap keberhasilan Indonesia tak bisa dilihat hanya dari CPO. "Persepsi itu salah parkir," katanya kepada Wahyu Muryadi dari Tempo, Rabu pekan lalu, di Bali. Ia menilai daftar produk ramah lingkungan bersifat acak dan ad hoc. Sebaliknya, Wakil Ketua Kadin Bidang UKM Erwin Aksa mengakui kegagalan Indonesia. "Restriksi dari negara-negara maju masih kuat," ujarnya.
Maka Indonesia mendorong daftar lain, yakni produk-produk agro dengan tema mendukung pertumbuhan berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan, dan pertumbuhan pedesaan. Di situlah produk nasional semacam CPO, karet, rotan, dan beras bakal dimunculkan. Usul itu sudah disetujui level menteri dan pemimpin-pemimpin negara APEC dalam pertemuan di Bali. "Kedua daftar itu paralel, ditargetkan berlaku mulai akhir 2015," ucap Gita.
Kesepakatan baru itu akan diperjuangkan dalam APEC 2014 di Cina. Dukungan sudah mengalir, setidaknya dari Cina dan Malaysia. Selanjutnya, menurut Direktur Kerja Sama APEC Kementerian Perdagangan Deny Kurnia, Rusia bakal didekati, juga negara-negara ASEAN. "Daftar baru ini membuka kesempatan lebih besar bagi negara berkembang," kata Deny.
Jobpie Sugiharto, Natalia Santi, Martha Thertina
Konferensi dengan Presiden Bergitar
JAMUAN santap siang itu tak diikuti Presiden Rusia Vladimir Putin, yang baru saja mendarat di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai. Di sela konferensi Kerja Sama Ekonomi Negara Asia-Pasifik atau APEC di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali, Senin pekan lalu, ketika menyantap penganan pencuci mulut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbisik kepada Chairul Tanjung. Kepada wakil ketua panitia konferensi yang dihadiri 21 kepala negara itu, Yudhoyono minta disiapkan dua hal: gitar dan sound system yang bagus.
Kala rehat sejenak di ruang tunggu, Presiden Yudhoyono mengajak seluruh panitia inti menyaksikannya berlatih menyanyikan lagu Happy Birthday. "Kami ikut-ikutan menyanyi bareng," kata Chairul Tanjung, yang juga bos Trans Corp. Setelah dipastikan Presiden Putin hadir di ruang tunggu sebelum retret para leader, kejutan pun disuguhkan. Yudhoyono, sambil duduk, memetik gitar mengiringi para koleganya menyanyikan lagu milad untuk Putin, yang genap 61 tahun. Kue tar mungil juga disajikan. Ini sekaligus respons balasan karena dalam forum APEC di Vladivostok, Rusia, tahun lalu, Putin juga memberi ucapan selamat ulang tahun kepada Yudhoyono.
Cerita ringan di balik konferensi ekonomi itu juga menyembulkan isu hangat sehari sebelumnya. Sembilan wartawan asal Hong Kong disetop aksesnya ke ruang penting CEO Summit dan APEC Leaders. Ini bermula ketika empat wartawan Now TV, RTHK, dan Commercial Radio berteriak ke arah Presiden Filipina Benigno Aquino di gedung Bali International Convention Center. Mereka menanyakan seputar kematian delapan warga Hong Kong dalam drama penyanderaan di sebuah bus di Manila pada 2010.
"Jadi Anda mengabaikan rakyat Hong Kong, benar?", "Apakah Anda akan meminta maaf? Tolong jawab pertanyaan ini!", dan "Apakah Anda akan bertemu dengan C.Y. Leung?" Demikian teriakan kepada Presiden Aquino yang enggan meladeni mereka. C.Y. Leung adalah Presiden Dewan Otoritas Hong Kong. "Mereka tidak bertanya, tapi bertindak kurang ajar terhadap tamu kami, seorang kepala negara yang harus dijaga keamanan dan kenyamanannya," kata seorang petugas komite penyelenggara. Chip yang melekat di kartu identitas keempat wartawan itu dicabut, lalu diserahkan kepada petugas keamanan.
Panitia belakangan membuat keputusan lebih gawat: selain empat jurnalis tadi, lima wartawan Hong Kong yang juga dihukum dicabut aksesnya. Petugas keamanan diperintahkan mengawasi dua wartawan yang kemudian diinterogasi. "Mereka sudah melampaui batas dan, kalau terus kami lepas, akan berisiko," ujar Chairul Tanjung. Keputusan ini dikecam Ketua Asosiasi Jurnalis Hong Kong Sham Yee-lan. Menurut Sham, tindakan para wartawan itu dilakukan lantaran Aquino tak pernah memberi jawaban memuaskan tentang kematian delapan warga Hong Kong dalam insiden penyanderaan itu. "Melarang media mengajukan pertanyaan kritis adalah pelanggaran langsung terhadap kebebasan pers," kata Sham, yang mengirim surat terbuka.
Guna mencegah risiko bobol, panitia memang melapis sistem keamanan. Di sejumlah sudut Hotel Sofitel, panser dengan petugas berseragam hitam antiteror selalu siaga dengan senjata mesin otomatisnya. Konvoi mobil yang ditumpangi kepala negara selalu diapit patroli kawal polisi lalu lintas, juga pasukan pengamanan presiden. Di ujung iring-iringan, empat anggota pasukan antiteror dengan senjata api laras panjang mengendarai dua motor trail.
Stiker khusus konferensi, yang semula berbentuk memanjang dan ditempel di kaca depan mobil, menjelang hari pelaksanaan diputuskan diganti dengan stiker berbentuk oval yang dibubuhi stempel keamanan dan tanda tangan Panglima Komando Gabungan Pengamanan Letnan Jenderal Lodewijk Paulus—mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus. "Karena saat terakhir kami mendapat bukti stikernya dipalsukan dan dikomersialkan," kata Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang juga anggota panitia.
Kabar buruk bertiup dari PT Angkasa Pura I (Persero) selaku pengelola Bandara Internasional Ngurah Rai. Badan usaha milik negara ini menerima 673 rekomendasi pembatalan penerbangan sejumlah maskapai pada 6-9 Oktober 2013 karena penutupan bandara selama penyelenggaraan APEC. Jika ditambahkan dengan 85 penerbangan sehari sebelumnya, total 758 penerbangan dibatalkan. Itu berarti terjadi pembatalan lebih dari separuh penerbangan reguler, dengan jumlah kursi lebih dari 100 ribu, yang berasal dari 38 maskapai. Jet pribadi para taipan juga harus diparkir di Bandara Juanda, Surabaya.
Konferensi ini menelan bujet Rp 364 miliar dan disokong tiga kementerian serta sejumlah BUMN kakap. "Angka ini tak seberapa dibanding konferensi di Vladivostok, yang menelan sedikitnya US$ 20 miliar," ujar Chairul Tanjung.
Wahyu Muryadi (Nusa Dua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo