DALAM menghadapi krisis minyak dunia, hampir semua negeri sibuk
menelaah dan menata kembali kebijaksanaan penggunaan berbagai
sumber energi. Indonesia pun tampak tidak mau ketinggalan dalam
hal ini, seperti kampanye yang dimulai 24 September.
Profesor Dr. Ir. Herman Johannes dari Universitas Gajah Mada,
umpamanya, menulis tentang kemungkinan membuat bensin dari
alang-alang. Dosen Ilmu Fisika Kimia pada Fakultas Ilmu Pasti
Alam UGM ini membahas kemungkinan tersebut dalam suatu pertemuan
ilmiah awal bulan ini di Yogyakarta.
Profesor Johannes sendiri mungkin menyadari betapa sulitnya
melaksanakan hal ini. Ia mengatakan kepada Syahril Chilli dari
TEMPO, "Kita harus membangun fabrik methanol dan fabrik
pengolahan bensin dari methanol." Agak sendu ia menambahkan,
"Dan untuk itu perlu adanya lisensi dari Mobil Oil. "
Proses Meisel
Mobil Oil adalah perusahaan minyak AS yang, mengolah lapangan
LNG di Arun, Aceh, dan yang dalam tahun 1976 mengumumkan hasil
penelitiannya untuk mengubah alkohol menjadi bensin: Proses ini,
yang dinamakan Proses Meisel, dilindungi oleh hak paten.
Teknologi membuat alkohol dari berbagai bahan baku kini
merupakan masalah lumrah--hanya sedikit lebih rumit dari membuat
tape, tuak dan arang. Methanol diperoleh melalui penyulingan
kering bahan organis seperti kayu, dan melalui penggabungan
unsur methan, karbodioksida dan air dalam gas sintetis dari
batu-bara, gas alam dan biogas.
Melalui proses pengkhamiran (fermentasi) tepung padi-padian,
umbi-umbian, buah-buahan dan gula diperoleh ethanol. Keduanya --
methanol dan ethanol -- dapat dipergunakan sebagai bahan bakar
langsung atau dalam bentuk campuran dengan bensin.
Tetapi sifat alkohol ini sangat tidak menguntungkan bagi mesin
karena menyebabkan karatan. Juga mutu energi yang dikandung
alkohol hanya separuh dari bensin. Pengangkutan alkohol
karenanya membutuhkan ruang dua kali lebih besar ketimbang
pengangkutan bensin. Jadi alkohol lebih menguntungkan bila
diubah menjadi bensin.
Namun teknologi membuat bensin dari alkohol masih merupakan
masalah. Karena itu pula persoalan pembuatan minyak bakar dari
berbagai bahan seperti batu-bara, gas dan biomassa tetap
merupakan obyek berbagai pendapat dan teori. Bukan terutama
karena segi teknis, tetapi terutama karena segi ekonomis
berbagai alternatif proses itu.
Misalnya proses Fisher-Tropsch, yang sudah terbukti dapat
mensuplai Jerman menjelang dan selama Perang Dunia II dengan
bahan bakar minyak. Mutu hasilnya jauh dari memuaskan dan cukup
mahal, tetapi dalam keadaan seperti di hadapi Jerman ketika itu,
tidak ada pilihan lain.
Begitu juga Afrika Selatan, karena menghadapi embargo minyak,
terpaksa menggunakan proses Fisher-Tropsch ini, yang melalui
tahap pembuatan gas sintetis dari batu-bara menghasilkan minyak
bakar. Tahap kedua inilah,--yang mengubah gas menjadi minyak --
terutama merupakan problim, karena gas ini terdiri dari spektrum
luas berbagai hidrokarbon, termasuk bensin beroktan rendah.
Memisahkannya satu dengan lain serta memperoleh bensin beroktan
tinggi, membutuhkan fasilitas teknis yang rumit dan mahal.
Tahap ini oleh Afsel akhirnya ditinggalkan dan digantikan dengan
proses pengembangannya sendiri, yang sampai sekarang masih
merupakan rahasia negara. Namun begitu bensin sintetis Afsel ini
hanya dapat bersaing karena Afsel terpaksa membeli minyak mentah
di pasaran bebas dengan harga di tas $ 30. Kalau masih dengan
harga OPEC yang sekitar $ 20 per barrel, ia belum dapat
bersaing.
Justru tahap proses inilah--yang meliputi menata kembali unsur
karbon dan hidrogen menjadi molekul bensin beroktan tinggi --
merupakan masalah teknologis yang rumit dan mahal. Kalau hmya
membuat alkohol, itu relatif mudah, tapi membuat minyak dari
alkohol ini yang menadi persoalan.
Sebagai kesimpulan, terdapat dua tahap dalam proses pembuatan
minyak dari alang-alang dan sejenisnya. Pertama memperoleh
alkohol -- methanol atau ethanol--yang merupakan proses yang
relatif mudah. Tahap kedua adalah membuat alkohol menjadi
bensin. Untuk ini teknologinya tersedia pada Mobil Oil dan
dilindungi hah paten, serta pada Afsel yang masih merahasiakan
prosesnya itu.
Profesor Johannes yakin bahwa alang-alang bisa merupakan bahan
baku untuk membuat alkohol berupa methanol. Hal ini sudah
diteliti oleh laboratorium Fakultas Teknik Kimia UGM di bawah
pimpinan Ida Bagus Agra. Dengan adanya teknologi mengubah
alkohol menjadi bensin, sedang luas padang alang-alang di
Indonesia mencapai 16 juta HA dan bertambah terus, Profesor
Johannes menyimpulkan bahwa alangalang merupakan bahan baku
pembuatan bensin masa depan.
Ethanol dapat dibuat dari berbagai bahan seperti tepung sagu7
gula tebu, nira enau dan singkong. Namun kemungkinannya yang
paling ekonomis ialah dengan bahan tebu dan singkong seperti
sudah dibuktikan di Brasil.
Semua pompa bensin di Brasil menjual campuran 80% bensin dengan
20% alkohol dengan nama gasohol. Alkoholnyadibuat negeri itu
sebanyak 800 juta liter setahun dari tebu. Menjelang tahun 80-an
Brasil mengharapkan menunjang produksi alkoholnya dengan
mempergunakan singkong sebagai bahan bakunya.
Puluhan macam bahan baku sudah diteliti untuk pembuatan alkohol.
Amerika, Afsel dan Rhodesia, misalnya, mengadakan suatu program
penelitian tentang penggunaan tanaman jagung, di New Zealand
dari bit dan di Filipina dari singkong. Juga belakangan ini ada
percobaan dari lumut (algea) di Australia. Dan paling akhir
gagasan Dr. Johannes untuk menggunakan alang-alang guna
keperluan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini