JALAL atau nama komplitnya Ayub Abdul Jalal kini bukan hanya
melawak, menyanyi atau main film. "Saya kepengin agar orang Jawa
Timur juga mencari ludruk seperti mereka mencari Sri Mulat,"
ujarnya. Dan dia percaya, atas pengamatannya di panggung ludruk
Beringin Jaya, THR Surabaya, kesenian rakyat asal Jombang ini
akan punah. Kalau tidak cepat-cepat diselamatkan.
Di rumahnya di Desa Karah (9 km dari Surabaya) Jalal kemudian
membentuk satu grup baru dengan nama: .erkumpulan ludra
(singkatan dari ludruk dan drama) Cendaki. Yaitu suatu bentuk
ludruk yang diperbaharui, yang dikontemporerkan, seperti katanya
lagi "Cendaki yang bermakna cendekia ini supaya memberi kesan
modern pada ludruk kami."
Ludruk -- seperti lenong untuk Jakarta--adalah teater rakyat
yang mengambil ceritera-ceritera tentang jagoan, kepahlawanan
yang dibawakan dengan nyanyian atau banyolan. Salah satu
ceritera yang terkenal ialah Pak Sakerah.
Di THR Surabaya, memang ada panggung untuk ludruk ini. Dalam
seminggu, dipertunjukkan cuma 4 kali saja. Animo penonton
akhir-akhir ini menyedihkan.
Biarpun penontonnya terkadang cuma 5 orang, Beringin Jaya dengan
setia mengisi acaranya di THR Surabaya. Satu-satunya wadah untuk
kesenian rakyat ini cuma mendapat honor Rp 5.000 sekali gebrak
di atas panggung. Sehingga sering, honor para pemain yang paling
tinggi cuma Rp 500. Tapi juga tidak jarang, ada pemain peran
kecil cuma mendapat honor Rp 100. "Dan sering kami tekor
sendiri," kata Darmadi, pimpinan Beringin Jaya, "tapi biarpun
begitu kami senang juga kok."
Sepuluh tahun lebih usia Beringin Jaya ini. Kini mempunyai anak
wayang sejumlah 34 orang dan sebagian besar adalah pria yang
juga memerankan peran wanita. Begitu bagusnya cara membawakan
peran wanita ini hingga merupakan salah satu daya tarik yang
khas dalam ludruk. "Tapi ya, karena nasib kami begini, banyak
juga yang membelot ke grup lain," ujar Darmadi lagi.
Di Jombang sendiri, ludruk tidak pernah ditanggap lagi. "Kini
orang malah mengundang orkes dangdut kalau ada pesta," kata
Supardi, "dan merasa malu atau kampungan kalau mendatangkan
ludruk." Supardi adalah penonton setia ludruk Beringin Jaya dan
merasa sedih kalau ludruk kegemarannya ini nyaris disedot
sakaratul maut.
Tanpa Banci
Karena itu Jalal ingin meninggalkan segala sesuatu yang
tradisional dari ludruk. "Lha jangankan main ludruk, nonton
ludruk saja bagi anak muda sekarang segan," ujar Jalal. Dia
berpendapat bahwa lakon ceritera yang dari itu ke itu lagi,
penampilan yang monoton, membuat ludruk sepi penggemar.
Dan ludranya Jalal dengan anggota 40 orang itu sebagian besar
adalah anak sekolah. "Kalau di Yogya ada mahasiswa main
ketoprak, kenapa di Jawa Timur tidak ada," tambah Jalal. Selain
mengganti versi dan pemakaian kostum disesuaikan dengan peranan
hal baru dari ludra ialah peran wanita. Untuk peran ini, Jalal
telah merobahnya dari kebiasaan. Kalau ludruk tradisional
dimainkan pria, "ludra untuk peran wanitanya tanpa banci,"
ujarnya.
Tetapi tidak semua sesepuh ludruk di Jawa Timur sefaham dengan
tindakan Jalal ini. "Kalau mau main drama sebut saja drama,"
ujar Sukri Daryono yang telah tidak aktif lagi dalam grup ludruk
Jombang. Tambahnya "Dan jangan bawa-bawa nama ludruk. Kalau
memang dia mau membina ludruk dengan ikhlas, menggabung sajalah
dengan yang sudah ada."
Tanpa Markuat
Darmadi dengan Beringin Jaya-nya juga merasa terancam. Apalagi
dunia ludruk baru saja kehilangan tokoh terkenal pemeran Pak
Sakerah yang ampuh, Markuat. Menderita sakit setahun lebih,
bernasib memelas di akhir hidupnya, Markuat juga telah 20 tahun
mengabdi pada RRI. Usia Markuat sendiri baru 49 tahun. Ayah dari
7 orang anak ini meninggal dunia 9 September lalu.
Markuat adalah pelawak dan seniman ludruk untuk acara Prasetya
RRI Surabaya. Beberapa waktu yang lalu, ketika teman-temannya
seperti Suroto, Ruspentil atau Karjo ACDC hijrah ke Jakarta,
Markuat juga nyaris ikut pindah. Tetapi dia terikat oleh RRI
Surabaya, dengan honor Rp 32.000 setiap bulannya. "Kalau Yogya
kehilangan Baslyo atau Jakarta kehilangan Bing Slamet, kami
kehilangan Markuat," kata Siswadi, Kepala Studio RRI Surabaya.
Dan mungkinkah tangan Jalal akan membuahkan bibit yang baik
untuk ludruk kontemporer? Selama 3 bulan berdiri, grup Jalal ini
telah muncul di teve Surabaya sebanyak 5 kali. Jadi belum jelas
apakah mempunyai banyak penggemar. Akhir bulan ini, Cendaki
merencanakan manggung di gedung Mitra, Surabaya.
Salah satu judul yang telah dipentaskan di teve ialah Kemelut
Cinta. Melihat judulnya, orang akan teringat pada Srimulat.
"Jangan dikira plot-plot dalam ludra sama dengan plot ludruk,"
ujar Jalal. Seperti judulnya, ceritera Kemelut Cinta berkisar
tentang cinta, larangan orangtua, hamil di luar perkawinan dan
sebangsa itu. "Kalau dalam ludruk," tambah Jalal, alur ceritera
bisa ditebak penonton. Tidak dalam ludra."
Ludra-nya Jalal adalah ludruk gedongan, begitu paling tidak
harapan Jalal. Dia bahkan menyamakan ceritera-ceritera dalam
ludra seperti orang menonton film Papilin. Maksudnya? Jalal
menegaskan "Memaksa penonton berfikir-fikir apa kelanjutan
ceriteranya. Sedangkan ludruk konvensionil, adegan demi adegan
sudah bisa diterka."
Satu hal yang tidak diterangkan Jalal ialah: bagaimana
memelihara stock ceritera agar tidak kehabisan atau tidak
diulang-ulang. Ludra yang juga banyak memakai bahasa Indonesia
ini (dan akan kehilangan keindahan bahasa Jawa dalam paikan
atau plesedan) diharapkan akan meluas ke penonton kelas atas dan
bawah, tua muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini