Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penerbitan PP Nomor 26 Tahun 2023 menuai banyak kritik. Khususnya soal pembukaan ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang sejak 20 tahun lalu. Alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar daerah terluar Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Singapura bahkan diduga terlibat di balik pembukaan ekspor pasir laut mencuat seiring gencarnya pemerintah Indonesia membidik Singapura untuk berinvestasi di IKN. 95 investor Singapura dari 69 perusahaan pun telah berkunjung ke IKN akhir Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKP) pun menyatakan akan menjamin kemudahan investasi para investor tersebut. Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal Yuliot berujar RI akan senantiasa memberikan pelayanan terbaik kepada investor melalui reformasi regulasi, percepatan proses perizinan, perumusan insentif, dan layanan end-to-end bagi investor.
Apalagi Presiden Joko Widodo juga menebar sejumlah janji kemudahan berbisnis kepada investor Singapura di IKN. Dalam forum Ecosperity 2023, ia menyampaikan pemerintah telah menyiapkan 300 paket investasi untuk sektor swasta dengan total nilai US$ 2,6 miliar. Angka tersebut setara dengan Rp 38,62 triliun dengan menggunakan asumsi kurs Rp 14.855 per dolar AS.
"Saya juga dahulu pebisnis, jangan khawatir kami akan menyiapkan insentif fiskal berupa tax holiday, non collected value added tax, super deduction tax. Kami punya semuanya," kata dia.
Ahli Ekologi: seksi sekali untuk Singapura
Ahli Ekologi dari Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan, Romi Hermawan merespons soal pembukaan kembali ekspor pasir laut lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023. Ia menilai potensi keuntungan dari bisnis ekspor pasir laut sangat besar, sehingga pemerintah gencar mendorong ekspor komoditas tersebut.
"Ekspor pasir laut ini seksi sekali karena Singapura sedang membuat mega proyek pelabuhan paling besar di Asia. Mereka sudah ada anggarannya," ujar Romi dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Selasa, 13 Juni 2023.
Romi menyebut mega proyek yang tengah digarap Singapura mencapai mencapai 65 juta TEUs, dari sebelumnya hanya 50 juta TEUs. Proyek itu ditargetkan rampung pada 2040.
Jika sudah ada tenggat waktu penyelesaian, menurut dia, sudah pasti Singapura telah menyiapkan dananya. Terlebih, pendapatan Singapura sendiri paling besar dari pelabuhan sehingga proyek itu akan menjadi prioritas.
Lebih lanjut, dia menjelaskan pasar ekspor pasir laut hanya satu yaitu Singapura. Pada periode 1997 sampai 2002, ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura mencapai lebih dari 53 juta ton per tahun. Sehingga kurang lebih ada 517 juta ton yang diekspor dalam waktu 20 tahun. Itu pun, tutur Romi, belum termasuk ekspor pasir yang ilegal.
Terlebih pasir laut di Indonesia dihargai murah. Ia berujar pasir ekspor dari Indonesia hanya dibanderol Rp 228 ribu per kubik. Ia mengaku tidak mengetahui harga jual di Singapura aja, tetapi ia meyakini tarifnya akan jauh lebih tinggi.
Di sisi lain, Malaysia sebagai pemasok pasir laut dalam proyek reklamasi di Singapura telah menghentikan ekspornya. Sehingga Indonesia sebagai negara terdekat dari Singapura memiliki peluang ekspor pasir laut yang besar.
"Kalau ambil pasir laut di Indonesia, di Sumatera dekat-dekat situ tinggal dibawa saja ke Singapura langsung laku," tuturnya.
CERI: Singapura paling diuntungkan
Di sisi lain, Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai Singapura adalah negara yang paling diuntungkan dari kebijakan ekspor pasir laut Indonesia. Seperti diketahui Indonesia kembali membuka keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Dia berujar reklamasi Singapura saat ini sangat membutuhkan banyak pasir laut dari Indonesia karena berkualitasnya sangat baik. Sebab, beberapa negara telah menyetop ekspornya.
"Kebutuhan total pasir laut untuk kebutuhan reklamasi Singapura hingga tahun 2030, adalah sekitar 4 miliar kubik," ujar Yusri melalui keterangannya kepada Tempo, Selasa, 6 Juni 2023.
Adapun dia menyebut harga kontrak Johor Baru ke Jurong Town Corporation (JTC) sekitar 15 dolar Singapura (SGD) per meter kubik. Sedangkan dari Vietnam sekitar SGD 35 hingga US$ 38 per meter kubik FOB Singapore.
Jika dibandingkan dari sisi kualitas pasir, dia menjelaskan jarak suplai dan harga jual yang didapatkan Singapura dari Indonesia sudah pasti lebih baik. Karena itu, menurutnya, dapat dipastikan Singapura akan memilih pasir laut dari Kepulauan Riau, dibandingkan dari Vietnam, Kamboja, Myanmar, Thailand dan Filipina.
Dengan demikian, dia menilai jika Indonesia bisa mengatur sistem satu pintu dalam penjualan ke Singapura, target harga bisa mencapai berkisar SGD 18 hingga SGD 21 per meter kubik FOB Singapore. Sistem yang ia maksud adalah mekanisme negosiasi tanpa tender ke JTC dan BUMN tambang yang ditunjuk sebagai pimpinan konsorsium.
Tampaknya, kata Yusri, target itu sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut Dalam Perhitungan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Beleid itu ditandatangani pada 18 September 2021.
Yusri menjelaskan pada Kepmen itu, khususnya bagian lampiran, disebutkan bahwa pemanfaatan pasir laut untuk ekspor dipatok Rp 228.000 per meter kubik. Sedangkan untuk kebutuhan dalam negeri dipatok Rp 188.000 per meter kubik.
"Adapun biaya dredging sekitar SGD 8 per meter kubik terima di Singapura, PNBP 35 persen dari harga jual pasir laut, ditambah pajak ekspor," tuturnya.
RIANI SANUSI PUTRI