Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Kelautan mulai membina dan mendata KUB lobster sebagai langkah awal pembukaan ekspor benih lobster.
Dalam berbagai kasus penyelundupan benih lobster, aparat kerap hanya menangkap kurirnya.
Pembukaan izin ekspor tidak menjamin penyelundupan benih lobster berhenti, khususnya ke Vietnam.
Hampir tiga tahun berlalu sejak Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono melarang ekspor benih bening lobster. Kini Indonesia punya peluang lagi untuk mengirim bibit hewan krustasea itu ke luar negeri. Orang yang sama memungkinkan ekspor dengan beberapa ketentuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rincian syarat ekspor benih lobster tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan yang berlaku 18 Maret lalu. Pasal 6 menjelaskan tujuan ekspor terbatas untuk pembudidayaan di luar wilayah Indonesia. Pengecualian berlaku untuk kegiatan pendidikan, penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, dan/atau percontohan di dalam wilayah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam peraturan tersebut tertera aturan mainnya. Untuk budi daya di luar Indonesia, investor juga harus punya fasilitas budi daya lobster di dalam negeri. Sebelum mengekspor, pemerintah negara asal investor harus menandatangani dokumen perjanjian dengan pemerintah Indonesia dan mengajukan permintaan jumlah kuota bibit secara tertulis. Pemerintah juga membatasi volume tangkapan di tiap wilayah perikanan dengan kuota dan mengatur ukuran serta berat benih yang boleh diekspor.
Dalam perkembangan terbaru, Kementerian Kelautan telah menugasi para pegawainya pada 18-20 April lalu untuk melakukan pembinaan budi daya dan verifikasi terhadap koperasi atau kelompok usaha bersama (KUB) lobster di Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, serta Nusa Tenggara Barat. Pembinaan dan pendataan KUB menjadi langkah awal skema baru budi daya lobster yang diterapkan Menteri Kelautan.
Menurut seorang pejabat Kementerian Kelautan, rencana membuka keran ekspor benur lobster ini sudah mengemuka sejak tahun lalu. Dia bercerita, pertimbangannya adalah maraknya ekspor benur ke Vietnam dan kemampuan menangkal praktik itu tak cukup memadai.
Pemerintah juga berdalih bisa mengantongi keuntungan lain lewat regulasi ini. Trenggono dalam beberapa kesempatan mengungkapkan Indonesia bisa menikmati investasi budi daya lobster, dari penerimaan buat negara, alih teknologi pembudi daya, hingga meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Setelah mengantongi kerja sama dengan lima investor asal Vietnam untuk melakukan budi daya di Indonesia, dia bahkan mengutarakan mimpi besar. "Yang kita dapatkan di situ adalah investasi mereka masuk ke kita dan kita bisa setara dengan mereka, menjadi bagian dari rantai pasok global," ujarnya pada 5 Februari lalu.
Salah Resep Mengatasi Penyelundupan
Barang bukti benih lobster ditampilkan dalam gelar barang bukti kasus penyelundupan benih lobster di Jakarta, 27 Februari 2017. Dok. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
Solusi yang ditawarkan pemerintah ini, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Susan Herawati, justru tak masuk akal. Orientasi pada ekspor benih lobster tidak akan mempermudah tugas memberantas penyelundupan, apalagi memberi keuntungan yang disebut pemerintah tadi. "Masalahnya penyelundupan, maka penegakan hukumnya yang harus benar," katanya saat dihubungi, kemarin.
Saat ekspor dibuka, dengan berbagai ketentuannya, pemerintah kelimpahan lebih banyak tugas pengawasan dan penindakan hukum. Sementara itu, dari pengalaman selama ini pemerintah kesulitan menjalankan kedua tugas tersebut. Dalam kasus-kasus penyelundupan benih lobster misalnya, penangkapan kerap sampai kurir saja, bukan pemodalnya. Di sisi lain, pemerintah juga belum punya peta jalan yang matang untuk mengembangkan budi daya di dalam negeri.
Susan mengingatkan, pasokan benih lobster terancam jika pemerintah salah langkah. Saat terlalu dieksploitasi, rantai pangan di laut akan terganggu. "Dampaknya itu akan ada komoditas lain yang hilang," kata dia. Akibatnya, tangkapan nelayan berkurang. Mereka makin miskin karena kehilangan sumber pendapatan. Negara tidak dapat penerimaan. Masyarakat tidak bisa menikmati makanan bergizi.
Baca Juga Infografiknya:
Wakil Dekan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana juga menilai ekspor ilegal tetap langgeng karena tidak adanya ketegasan dalam penindakan pelaku. Tanpa menyelesaikan akarnya, praktik ini akan terus terjadi. Apalagi jika tawaran harga dari negara importir lebih menarik ketimbang harga jual untuk budi daya di dalam negeri.
Menurut Suhana, pemerintah tidak konsisten dalam kebijakan benih bening lobster sehingga aparat di lapangan juga tidak tegas. "Ketidakkonsistenan pemerintah ini disebabkan oleh tidak adanya arah yang jelas bagaimana pengelolaan benih lobster," kata dia. Suhana mendesak Kementerian Kelautan membuat peta jalan pengembangan lobster yang jelas dan didukung data yang valid serta akurat. "Jangan pakai data-data asumsi seperti yang dipakai saat ini."
Bermitra dengan Pedagang
Direktur Eksekutif Center of Maritime Reform for Humanity Abdul Halim menyebutkan Menteri Kelautan dan Perikanan malas kerja setelah dirinya melihat ketentuan baru soal lobster ini. "Sejarah sudah menunjukkan bahwa pembenihan dan pembesaran lobster di dalam negeri memberi manfaat jauh lebih besar ketimbang ekspor benih," katanya. Seharusnya pemerintah berfokus mendukung pembudi daya domestik dan pada saat bersamaan mensosialisasi soal pentingnya mencegah eksploitasi benih lobster secara berlebihan.
Menurut Abdul, Kementerian Kelautan selalu berlindung di balik skema kewajiban melakukan budi daya di Indonesia bagi importir benih lobster. "Padahal mitranya itu isinya pedagang semua, bukan pembudi daya," ujarnya.
Tempo memperoleh sejumlah dokumen yang memuat nama sejumlah perusahaan asal Vietnam yang akan menjadi mitra perusahaan Indonesia untuk budi daya di luar wilayah Indonesia. Mereka adalah Aquagreen Trading Company Limited, Phu Gia Long Trading Joint Stock Company, Ichika Joint Stock Company, The Global Trading Company Limited, dan New World Seafood Trading Import Export Aquaculture Company Limited.
Tempo berupaya menghubungi kelima perusahaan itu melalui alamat surat elektronik yang tertera dalam dokumen serta lewat pesan telepon ke nomor kontak yang tercantum. Namun pesan-pesan ini tak berbalas. Sebagian surat elektronik yang dikirim mental.
Selain disebutkan Abdul, ada sejumlah informasi yang menyebutkan kelima perusahaan ini hanya pedagang. Seorang pengusaha lobster nasional mencoba memastikan status mereka lewat koleganya di Vietnam. "Pengusaha di sana bilang ini bukan pembudi daya, ya, ini pedagang," ucap pengusaha tersebut.
Abdul juga menyoroti keinginan pemerintah memberantas penyelundupan ke Vietnam yang bertolak belakang dengan upaya penanganannya. Ekspor legal tak menjamin penyelundupan berhenti, khususnya ke Vietnam. Permintaan dari negara tersebut masih tinggi karena stok mereka sudah jauh berkurang. "Mereka juga sangat tertarik dengan benih lobster Indonesia karena yang kita miliki adalah yang terbaik di dunia," tuturnya. Indonesia perlu bermain strategis dengan menyetop keran ekspor di tengah posisi ini.
Di sisi lain, orang akan tergoda saat melihat margin yang ditawarkan pengusaha Vietnam untuk menyelundupkan benih lobster. Jika hal itu dibiarkan, lambat laun usaha budi daya domestik mati.
Kotak berisi benih bening lobster yang diekspor ke Vietnam melalui Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, 12 Juni 2020. Istimewa
Pengusaha Budi Daya Kesulitan Benih
Penasihat Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia, Effendy Wong, mengkonfirmasi sulitnya usaha budi daya. Saat ini bibit buat pengusaha terbatas lantaran lebih banyak mengalir ke Vietnam secara ilegal. "Saya saja sudah empat bulan tidak mendapat benih bening lobster," ucapnya.
Untuk bertahan, pembudi daya menggunakan benih dengan ukuran lebih kecil, yakni di bawah 150 gram. Namun benih jenis ini mudah terpapar penyakit.
Effendy memperkirakan kondisi ini makin parah jika pemerintah mengizinkan pengiriman benih ke luar dengan metode budi daya di luar negeri. Pembudi daya di dalam negeri rata-rata masih tingkat pemula. Mereka bakal kalah bersaing saat membeli benih.
Dia mengkritik langkah pemerintah memilih membuka ekspor untuk mengatasi penyelundupan. "Masa bisa pasrah kepada oknum mafia ilegal."
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik Doni Ismanto menolak menyebutkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 itu adalah ekspor benih lobster. "Jika ada opini pemerintah membuka keran ekspor benih lobster, itu bisa jadi salah meresapi regulasi ini," katanya.
Menurut dia, pemerintah sedang berupaya memanfaatkan benih lobster secara berkelanjutan yang nanti bisa memberi banyak manfaat bagi nelayan dan pembudi daya. Kebijakan ini juga akan memberi dampak positif bagi ekonomi daerah, transfer dan alih teknologi budi daya lobster, peningkatan penerimaan negara, serta memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok lobster dunia. Pemerintah sudah menyiapkan sistem teknologi informasi untuk mengawal penangkapan dan pemanfaatan benih lobster.
Doni mengakui kegiatan penyelundupan masih terjadi, tapi jumlahnya diklaim sudah berkurang. Tantangannya sekarang adalah modus pengeluaran benih yang terus berkembang. Kementerian menggalakkan operasi pencegahan penyelundupan di beberapa titik pengeluaran, seperti bandar udara dan pelabuhan, bekerja sama dengan berbagai kementerian dan lembaga. Selain itu, Kementerian Kelautan mengedukasi nelayan serta pembudi daya benih lobster.
Doni berujar Menteri Kelautan juga sudah memperbarui kerja sama dengan Ministry of Agriculture and Rural Development Vietnam untuk memastikan keseriusan memerangi produk benih lobster ilegal. "Hal tersebut saat ini sudah mulai dikerjakan oleh Vietnam," ujarnya.
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Aisha Shaidra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.