Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA ekspektasi cukup tinggi bahwa sentimen positif akan menyelimuti pasar finansial di Indonesia begitu Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja. Sudah lama pasar menanti restrukturisasi ekonomi Indonesia yang cukup mendasar. Terutama liberalisasi pasar tenaga kerja Indonesia, yang selama ini dianggap terlalu kaku dan menyusahkan para pebisnis. Sayangnya, harapan itu tak terpenuhi. Respons pasar malah cenderung dingin-dingin saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurs rupiah, misalnya. Setelah sempat menunjukkan tren positif, melompat hingga 1,3 persen dalam sehari setelah pengesahan, rupiah mendadak kehabisan napas. Bukannya terus naik ke posisi sebelum wabah meledak, atau setidaknya mendekati hitungan fundamental para analis di sekitar 14.300 per dolar Amerika Serikat, rupiah kembali melemah di akhir pekan menjadi 14.700 per dolar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak penyebab pasar tidak terlalu antusias. Yang jelas, Undang-Undang Cipta Kerja tiba bersamaan dengan berbagai gejolak di pasar global yang bersumber dari Amerika Serikat, kiblat pasar finansial dunia yang tengah menghadapi kemelut politik. Sakitnya Presiden Donald Trump, yang terkena Covid-19, hingga tarik-ulur pemberian stimulus demi menyelamatkan ekonomi Amerika membuat harga saham di bursa New York dan nilai dolar Amerika naik-turun tajam tak menentu.
Selain itu, substansi Undang-Undang Cipta Kerja memang sangat kontroversial. Betul, liberalisasi pasar tenaga kerja bisa membawa sentimen positif. Namun undang-undang ini tak semata memperbaiki mekanisme pasar tenaga kerja dan mengurangi distorsi. Dalam hal manajemen lingkungan hidup, contohnya, Undang-Undang Cipta Kerja justru membuat Indonesia melangkah mundur amat jauh. Kini Indonesia menjadi negara yang cenderung menomorduakan, atau bahkan mengabaikan, pelestarian alam. Liberalisasi aturan tenaga kerja ala Undang-Undang Cipta Kerja juga dapat diinterpretasikan sebagai keberpihakan pada pemodal yang mengorbankan hak-hak buruh.
Bagi perusahaan multinasional, isu lingkungan dan eksploitasi buruh sekarang justru amatlah sensitif. Sekali saja mereka mendapat cap sebagai perusahaan yang mengabaikan pelestarian lingkungan atau mengeksploitasi kemiskinan di negara berkembang dengan menindas buruh, bisnisnya bisa kalang-kabut. Kampanye dan boikot konsumen dapat membuat bisnis kocar-kacir. Di sinilah Undang-Undang Cipta Kerja malah memukul tujuannya sendiri. Mengorbankan lingkungan dan mengurangi hak-hak buruh justru tidak membuat Indonesia lebih menarik di mata investor.
Yang paling memusingkan investor: bagaimana kelanjutan undang-undang ini? Pemerintah harus menyiapkan ratusan peraturan pelaksanaannya. Orang Inggris punya ungkapan the devil is in the detail. Masalah terbesar justru ada pada rinciannya. Tak ada jaminan bahwa spirit ratusan aturan pelaksana itu bakal sejalan sepenuhnya dengan spirit Undang-Undang Cipta Kerja untuk membuat semua urusan menjadi lebih sederhana.
Ada pula unsur perebutan wewenang di sini. Undang-Undang Cipta Kerja banyak mengatur pengalihan wewenang, dari daerah ke pusat dan dari kementerian ke presiden. Birokrat pusat ataupun pemerintah daerah tak akan berdiam diri melihat wewenangnya menguap begitu saja. Proses penyusunan aturan pelaksanaan dapat menjadi kesempatan bagi mereka untuk menarik kembali wewenang itu. Jangan heran jika kelak muncul aturan pelaksanaan yang bertabrakan dengan undang-undang. Toh, begitulah karakter regulasi di Indonesia selama ini.
Rasanya, nyaris mustahil pemerintah mampu mensinkronkan ratusan aturan pelaksana itu sesuai dengan spirit Undang-Undang Cipta Kerja. Apalagi jika ada beban harus membuat peraturan secepat-cepatnya. Tak terbayangkan bagaimana kualitas ratusan aturan yang dibuat dengan tergesa-gesa dan penuh benturan kepentingan. Pasar masih menunggu bagaimana konkretnya dampak undang-undang baru ini dalam wujud aturan pelaksanaannya. Ini penyebab penting investor tak larut dalam sentimen positif.
Dan masih ada masalah yang lebih pelik. Rencana amendemen Undang-Undang Bank Indonesia atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang akan menggunduli independensi bank sentral masih bergulir. Bagi pasar finansial, ini ancaman yang lebih menakutkan daripada keruwetan Undang-Undang Cipta Kerja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo