Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERING telepon akan kian nyaring terdengar di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Masyarakat setempat boleh berharap, permintaan sambungan telepon baru akan kembali dilayani, setelah absen tiga tahun.
Harapan itu membersit sekitar dua pekan lalu, saat para pemegang saham PT Mitra Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI) mengumumkan penjualan kepemilikan mereka kepada Alberta Telecommunications seharga US$ 266 juta. MGTI merupakan perusahaan yang memegang kontrak kerja sama operasi (KSO) dengan Telkom di dua provinsi itu. Adapun sang pembeli merupakan unit dari perusahaan investasi PT Saratoga Investama Sedaya, yang sebagian sahamnya dimiliki Edwin Soeryadjaya, putra pendiri Astra, William Soeryadjaya.
Transaksi jual beli ini mengagetkan dunia telekomunikasi. Soalnya, hingga awal tahun ini masih terdengar kabar bahwa Telkom tengah bernegosiasi membeli seluruh kepemilikan MGTI, atau yang kerap disebut buyout. Pada tahun 2002 Telkom sudah memborong saham dua mitra KSO-nya, yaitu Ariawest International di Jawa Barat dan Pramindo Ikat Nusantara di Sumatera.
Sejatinya, buyout merupakan jalan tengah yang ditawarkan oleh para mitra KSO Telkom, setelah pemerintah mencabut hak monopoli Telkom dalam menyelenggarakan jasa telepon tetap domestik. Dituangkan dalam UU Telekomunikasi Tahun 1999, penganuliran itu terang mementahkan kontrak KSO yang masih berlaku hingga tahun 2010. Kekecewaan para mitra KSO Telkom pun memuncak. Sebelumnya, Pramindo, Ariawest, MGTI, Cable and Wireless Mitratel, serta Bukaka Singtel Internasional, sudah merasa dikibuli dalam hal kenaikan tarif telepon, yang ternyata lebih kecil nilainya dari janji semula.
Sekitar tiga tahun lalu, para mitra KSO pun harus membuang mimpi untuk menangguk untung dari pola KSO. Mereka lalu mendesak Telkom agar mengembalikan investasi yang mereka telah tanamkan dengan pola buyout di atas. Berbagai tawaran telah disodorkan pemerintah, juga Telkom, untuk menawar tuntutan itu. Salah satu yang pernah dilakukan adalah dengan memangkas porsi distributable Telkom revenue (DTR), yang semula menjadi jatah Telkom, hingga tersisa 10 persen saja selama satu setengah tahun. Namun, para mitra tetap bergeming ditawari iming-iming itu. "Dihitung dengan cara apa pun, mitra KSO tidak akan bakal balik modal," ucap seorang petinggi mitra KSO kepada TEMPO, dua tahun silam.
Belakangan, kesabaran mitra KSO, seperti Ariawest, kian tipis. Perusahaan yang sebagian sahamnya juga dimiliki oleh Edwin Soeryadjaya ini kemudian menyeret Telkom ke mahkamah arbitrase internasional di Jenewa. Tuntutan ganti rugi yang mereka ajukan tidak kepalang besarnya, US$ 1,3 miliar. Untung bagi Telkom, Ariawest akhirnya mencabut gugatan meski secara hukum posisinya kuat. Kedua pihak sepakat menempuh jalan damai melalui metode buyout.
Tak lama setelah itu, saham Pramindo pun diborong Telkom.
Berbeda dengan saat menghadapi Ariawest dan Pramindo, tatkala buyout seakan menjadi pilihan terbaik, Telkom bersikap maju-mundur dalam menanggapi proposal serupa dari MGTI. Pertengahan tahun lalu, ketika Presiden Direktur MGTI meminta Telkom melakukan buyout, pejabat Telkom justru menampiknya. "Kami tidak punya anggaran untuk membeli MGTI," Direktur Keuangan Telkom, Mursyid Amal, berkelit.
Toh, dalam rapat umum pemegang saham Telkom tahun ini, gagasan untuk buyout MGTI kembali berkumandang. Hanya, kedua belah pihak tidak pernah bersepakat tentang besaran angkanya. Pemegang saham MGTI minta agar Telkom membayar US$ 268 juta. Sedangkan penawaran tertinggi Telkom terhenti di angka US$ 220 juta saja. "Terserah keputusan MGTI," ujar Kristiono, Direktur Utama Telkom, sekitar empat bulan lalu. Ia mengaku tidak berkeberatan MGTI jauh ke tangan lain, selama investor tersebut bukan merupakan operator telepon.
Gertakan Kristiono bukan tanpa alasan. Sebelumnya, Indosat—salah satu pemegang saham MGTI—pernah mengakui adanya investor lain, di samping Telkom, yang mengikuti tender saham MGTI. Widya Purnama, Direktur Utama PT Indosat, saat itu hanya memberikan petunjuk bahwa perusahaan tersebut berasal dari Hong Kong.
Lalu mengapa tiba-tiba nama Alberta yang keluar sebagai pembeli MGTI? Rupanya, perusahaan asal Hong Kong yang dimaksud tak lain adalah Gilbert Global Equity, yang merupakan mitra Saratoga. Kedua perusahaan penggalang uang tersebut pernah berkolaborasi saat menawar PT Astra International. Seorang petinggi Saratoga menuturkan, semula pihaknya akan menggunakan bendera Gilbert untuk mengambil kepemilikan MGTI. Namun belakangan Gilbert memilih mundur karena para penyandang dana mereka masih tak yakin dengan kondisi investasi di Indonesia.
"Untuk mengambil MGTI, kami memang mengubah strategi," ujar Sandiaga S. Uno, Presiden Direktur Alberta sekaligus Managing Director Saratoga. Maksud Sandi, dalam beberapa kesempatan investasi sebelumnya Saratoga mempersilakan sang mitra asing berjalan di depan mereka, tapi kali ini justru kebalikannya. "Kami yang memimpin," kata Sandi, yang berkeberatan menyebut siapa saja yang akan membiayai pengambilalihan MGTI.
Di Indonesia jejak investasi Saratoga cukup panjang. Sementara perusahaan investasi asing baru masuk usai Pemilu 1999, perusahaan ini sudah start sejak 1998. Kala itu Saratoga mengambil alih Astra Microtonics, yang sekarang bernama Advanced Interconnect Technology, dari kelompok Astra International. Debut itu terhitung sukses. Langkah Saratoga ringan terayun. Tak mengherankan jika industri kayu, pertambangan, hingga tepung terigu pun dirambahnya. Kini, total penjualan perusahaan-perusahaan yang menginduk ke Saratoga mencapai US$ 600 juta.
Meski berinduk kepada perusahaan yang memiliki portofolio besar, langkah Alberta masuk ke MGTI belum pasti mulus. Hanya berselang beberapa hari setelah namanya diumumkan sebagai pemenang, Alberta langsung mendapat perlawanan. Serikat Pekerja (Sekar) Telkom Divisi Regional IV langsung datang menghadang.
Kegarangan Sekar tak boleh dipandang sebelah mata. Pada tahun silam, mereka "sukses" mementahkan rencana pengalihan aset Telkom di Divisi Regional IV ke Indosat. Padahal, transaksi senilai Rp 300 miliar itu merupakan kesepakatan pemegang saham Indosat dan Telkom dalam rangka mengakhiri kepemilikan silang kedua perusahaan di berbagai perusahaan telekomunikasi.
Akan berhasil jugakah mereka kali ini? Entahlah. Yang pasti, serangkaian aksi penolakan, mulai dari ancaman mogok kerja hingga lobi intensif ke Kementerian Negara BUMN dan kantor Wakil Presiden telah mereka lakukan.
Sekar mengangkat kapak perlawanan dengan sebuah tuduhan: masuknya Alberta ke MGTI cuma akal-akalan "mafia telekomunikasi" untuk mencari uang cepat. Keengganan Telkom menawar MGTI dengan harga lebih tinggi, serta kenyataan bahwa Alberta membeli MGTI dengan uang pinjaman, dijadikan pembenar teori konspirasi yang digadang-gadang para pemimpin Sekar. "Kami berharap aset negara tidak jatuh ke tangan investor luar," ujar Syahrul Akhyar, Ketua Sekar, usai menemui Wakil Presiden Hamzah Haz.
Toh, seruan Sekar itu ditanggapi dingin oleh Kristiono. "Buat apa, sih, kita mengejar aset? Toh, tahun 2010 nanti, aset itu juga balik ke Telkom dengan harga Rp 100," ia menyergah. Bagi Kristiono, kendali operasi jauh lebih strategis. Ini mungkin titik temu antara manajemen Telkom dan Alberta. Sebagai perusahaan investasi, Alberta lebih peduli tentang balik tidaknya modal yang mereka keluarkan. "Soal kendali operasi, bisa kita negosiasikan," ujar Sandi.
Langkah seiring Alberta dan Telkom ini malah kian mengobarkan kecurigaan Sekar. "Alberta berani karena mereka nanti akan meminta jaminan pendapatan dari Telkom," begitu Syahrul menuding, sembari menyimpulkan transaksi ini berpotensi merugikan Telkom di masa depan.
Benar tidaknya segala syak wasangka Syahrul masih terlalu dini untuk bisa dibuktikan. Baik Kristiono maupun Sandi mengakui negoisasi masih terus berlangsung. Namun, seorang sumber TEMPO menduga dalam pola KSO yang baru Telkom akan menanggung seluruh biaya pembangunan sambungan telepon dan menikmati pendapatan dari jaringan tersebut. Adapun jatah Alberta adalah pendapatan dari jaringan yang telah ada, dengan porsi pembagian yang kini berlaku.
Hal itu dinilai logis oleh Joshua Tanja, analis keuangan yang menekuni industri telekomunikasi. "Harga US$ 266 juta yang ditawarkan MGTI pas buat Alberta," katanya.
Bagi Telkom, penyelesaian macam ini juga akan jatuh lebih murah dibandingkan dengan langkah buyout, seperti yang pernah dilakukannya atas Ariawest dan Pramindo. Apalagi keengganan Telkom untuk mengambil alih seluruh saham MGTI juga terasa masuk akal jika melihat peta persaingan industri telekomunikasi terkini. Memborong saham MGTI, yang berarti membeli jaringan telepon tetap lama, jelas tidak semenarik pilihan lain, seperti membangun jaringan telepon tetap baru, mengembangkan jaringan telepon tetap bergerak, atau meluaskan jaringan telepon seluler.
Thomas Hadiwinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo