Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYANGKANLAH sebuah pasar yang berisi setengah miliar penduduk. Betapa sedapnya bila produk Anda bisa dilempar ke sana. Jumlahnya bakal melonjak dan keuntungan tentu kian berlipat ganda. Pasar besar itulah yang bakal segera terwujud 17 tahun mendatang di kawasan Asia Tenggara, tempat kita termasuk di dalamnya.
Rancangan tentang pasar raksasa itu telah digariskan para pemimpin negara Asia Tenggara lewat Deklarasi Bali Concord II, pekan lalu, di Pulau Dewata. Sesuai dengan deklarasi itu, pada tahun 2020 bakal terwujud pula masyarakat keamanan dan masyarakat sosial budaya Asia Tenggara. "Semoga ini menjadi landasan baru bagi terbentuknya ASEAN yang stabil dan makmur untuk kesejahteraan anak-anak kita," kata Presiden Megawati seusai meneken deklarasi tersebut.
Di masa depan bahkan terbentang harapan memperluas kerja sama ASEAN dengan Cina, Jepang, Korea, dan India. Tujuannya adalah mewujudkan mimpi membentuk pasar bersama yang terdiri atas tiga miliar penduduk. "ASEAN harus bisa mengarahkan negara lain di kawasan ini untuk menciptakan masyarakat ekonomi Asia Timur," ujar Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, yang dikenal sebagai pendukung kuat cita-cita tersebut.
Sesuai dengan kesepakatan Bali Concord II, pada akhir 2005 semua hambatan nontarif di setiap negara ASEAN harus telah dihapuskan. Dan aturan dasar perdagangan antarnegara harus dibuat transparan dengan standar yang sama. Batas antarnegara pun akan segera menjadi kabur. Barang, jasa, dan modal bakal leluasa melintas dari satu negara ke negara yang lain.
Sebuah produk yang dihasilkan di salah satu negara anggota akan serta-merta dianggap sebagai "made in ASEAN". Barang bisa dijual di Jakarta, Kuala Lumpur, Manila, ataupun Hanoi dengan harga yang lebih rendah ketimbang produk serupa yang dibuat di luar kawasan ASEAN. "Pasar bersama," kata Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, "memang dibuat untuk meningkatkan keunggulan komparatif bagi produk dan daya saing penanaman modal di kawasan ini."
Toh, ada juga pihak yang belum puas. Singapura dan Thailand ngotot agar pelaksanaan pasar bersama itu dimulai pada tahun 2015, lima tahun lebih cepat ketimbang rancangan semula. Usul mereka ditolak, tapi kedua negara itu diperbolehkan mencuri start dengan menyatukan pasar mereka secara bilateral.
Namun semua negara menyetujui percepatan pelaksanaan pasar bersama untuk 11 sektor industri dari jadwal semula pada tahun 2020 menjadi 2010. Sektor-sektor yang dianggap sebagai andalan dan bisa menjadi proyek percontohan masyarakat ekonomi ASEAN itu adalah otomotif, elektronik, kayu, karet, tekstil, penerbangan, pariwisata, kesehatan, agrobisnis, e-business, dan perikanan.
Namun, bagi para pengusaha, pasar bebas itu bak pisau bermata dua. Selain mengiming-imingi keuntungan, kerangka itu bisa mendatangkan kerugian. Tanpa adanya pembenahan kebijakan pemerintah, pengusaha yang bergerak di industri manufaktur terang-terangan menyatakan kekhawatirannya atas penerapan kesepakatan itu.
Ketua Asosiasi Produsen Sepatu, Anton J. Supit, misalnya, mengeluhkan sejumlah kondisi yang membuat produk teman-temannya sulit bersaing. Ia menunjuk lemahnya penegakan hukum, sistem ketenagakerjaan, penerapan otonomi daerah yang membingungkan, dan maraknya gejala premanisme yang membuat ongkos produksi membubung tinggi. Belum lagi prasarana yang begitu buruk. "Pelabuhan Tanjung Priok itu sudah menjadi pelabuhan yang termahal di Asia," ujarnya.
Di bidang pertekstilan, para pengusaha juga mengeluhkan masih berlangsungnya jual-beli kuota tekstil di Departemen Perindustrian dan Perdagangan, yang membuat biaya produksi tekstil menjadi tinggi. "Akibatnya, produk tekstil kita kalah bersaing dengan produk Cina," kata Anton.
Karena itu, Anton mengaku ngeri dengan langkah Menteri Rini Soewandi meneken perjanjian mempercepat pasar bersama bagi 11 sektor industri. "Itu langkah yang nekat. Bisa-bisa pasar dalam negeri kita diambil negara lain," ujarnya.
Namun, secara teknis, industri manufaktur kita dari sono-nya juga bermasalah. "Industri manufaktur kita keropos karena tak didukung industri dasar yang tangguh," ujar Poltak Hotradero, analis dari PT Dinamika Usaha Jaya. Sampai sekarang, hampir semua mesin dan bahan baku industri masih diimpor. Pabrik besi dan baja, misalnya, masih mendatangkan bahan baku bijih besi dari luar negeri. Itu sebabnya harga produk menjadi mahal dan tidak kompetitif.
Di era ketika aneka produk manufaktur Cina menyerbu pasar dengan harga murah, industri manufaktur Indonesia kian mati angin. Sampai di sini, muncul usul untuk melakukan reorientasi. "Ketika Cina sudah bikin radio elektronik yang harganya cuma ceban (Rp 10 ribu—Red.) di emperan Tanah Abang, ngapain lagi kita habis-habisan di industri elektronik?" ujar Poltak.
Di era pasar bebas, kata Poltak, mungkin Indonesia tak perlu malu bila kembali bertumpu pada keunggulan komparatifnya, yaitu sumber daya alam. Tengok saja, gas alam masih berlimpah. Energi panas bumi kita adalah yang terbesar di dunia. Sayang, cuma dipakai merebus telur oleh para turis yang piknik ke gunung. Bandingkan dengan Islandia, yang menggunakannya untuk energi melebur aluminium. Cadangan batu bara masih cukup untuk konsumsi 400 tahun ke depan pada tingkat konsumsi seperti sekarang.
Dan potensi-potensi itu belum tergali. Pemanfaatan panas bumi, contohnya, masih sangat minim, cuma sekitar 1 persen dari total potensi. Padahal itu bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik dengan harga murah. "Kenapa kita tidak menjual listrik tenaga panas bumi ke Singapura?" kata Poltak bersemangat.
Potensi lain yang belum dikembangkan adalah gas alam. Salah satu konsumen gas alam kita adalah Cina. Besarnya kebutuhan Cina akan gas alam dan batu bara membuat neraca perdagangan Indonesia-Cina selalu surplus buat Indonesia. "Padahal, di banyak negara lain, Cina selalu menjadi sumber defisit," kata staf ahli Menteri Koordinator Perekonomian, Mahendra Siregar.
Sekarang gas alam masih dijual secara mentah atau sekadar dikompresikan dan dikirim menggunakan kapal tanker. Padahal gas alam bisa digunakan untuk pabrik pupuk dan bahan baku oleochemical. Bila diolah menjadi pupuk saja, potensi pasarnya luar biasa besar.
Cina saat ini termasuk konsumen pupuk terbesar di dunia. Thailand, yang sangat intensif di sektor pertanian, dan Malaysia, di sektor perkebunan, juga termasuk pelahap pupuk yang gembul. Belum lagi Indonesia sendiri banyak mengkonsumsi pupuk. "Kenapa kita tidak habis-habisan saja mengembangkan industri pupuk yang bahan dasarnya dari gas alam?" ujar Poltak.
Bila kapasitas produksi semakin besar, harga pun bisa semakin murah. Industri pupuk tetap bisa menikmati keuntungan, kendati tipis, dan rakyat juga bisa menikmati harga pupuk yang lebih murah. Untuk mengolah itu semua memang dibutuhkan modal yang besar. Tapi, dengan perencanaan yang terukur, Indonesia bisa mengundang investor untuk menggarap industri pupuk secara besar-besaran. "Syaratnya," kata Poltak, "setiap deal harus transparan untuk memperoleh biaya produksi terendah."
Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo