Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Analis Ini Beberkan Penyebab Penggunaan Energi Surya di Indonesia Masih Rendah

Analis IESR Alvin Putra S mengatakan masih sedikit yang menggunakan energi surya di Indonesia.

13 Agustus 2024 | 17.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) on grid Selong kapasitas 7 MWp yang dioperasikan Vena Energy di Kelurahan Geres, Kecamatan Labuhan Haji, Selong, Lombok Timur, NTB, Senin, 15 Juli 2024. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi NTB menyebutkan potensi energi terbarukan di NTB saat ini mencapai13.563 Megawat (MW) yang terdiri dari bioenergi 298 MW, sampah kota 32 MW, angin 2.605 MW dan tenaga surya 10.628 MW. ANTARA/Ahmad Subaidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Analis Sistem Ketenagakerjaan dan Energi Terbarukan Institute for Essential Service Reform (IESR) Alvin Putra S, mengatakan masih sedikit yang menggunakan energi surya di Indonesia. Apalagi jika dibandingkan negara-negara tetangga, Indonesia jauh tertinggal bila dibandingkan Cina, misalnya, yang mendominasi pasar energi surya dunia dan disusul India.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Indonesia harus menambahkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat dari 2023-2030, artinya setiap tahun secara global perlu menambahkan 1.000 giga watt (GW) dari pembangkit energi terbarukan,” kata Alvin di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 13 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal, menurut dia, sebenarnya potensi energi surya di Tanah Air cukup besar. Dalam catatannya, Indonesia selama dua atau tiga tahun terakhir sudah menunjukkan progres yang signifikan, namun masih kalah dengan negara tetangga seperti Filipina, Thailand, bahkan Malaysia.

“Tahun 2021 sampai 2023 penambahannnya hampir 400 walaupun sepertiganya didorong oleh adanya PLTS Terapung Cirata itu 145 mega watt (MW),” ujarnya.

Kendati demikian, Alvin menuturkan perkembangan energi surya di Indonesia punya kendalanya sendiri karena modul lokal lebih mahal dari modul impor. Padahal, kata dia, berdasarkan draf Rancangan Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 di tahun 2060 energi surya akan berperan sebesar 13 persen. 

Artinya di 2030, kata dia, Indonesia membutuhkan 14 GW energi surya dan di tahun 2060 sebanyak 164 GW dengan hitungan untuk sampai ke 2030 membutuhkan penambahan 2 GW per tahunnya.

“Salah satu yang menjadi pendorongnya adalah modul lokal masih lebih mahal dibandingkan produk-produk impor. Solusinya membangun industri produksi wafer dan sel silika,” ujarnya.

Selain Cina dan India, Secara global, lonjakan pasar tenaga surya juga terjadi di Jerman dengan kapasitas fotovoltaik terpasang baru diperkirakan akan tumbuh dengan persentase dua digit pada 2024, menurut Asosiasi Tenaga Surya Jerman (BSW) dilansir dari Antara.

Asosiasi industri tersebut memperkirakan bahwa permintaan akan tetap tinggi setelah tahun 2024. Setiap perusahaan kedua (second company) dan lebih dari 60 persen pemilik properti pribadi di Jerman tertarik untuk berinvestasi dalam sistem tenaga surya, menurut sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga riset pasar YouGov atas nama BSW.

Bagus Pribadi

Bagus Pribadi

Bergabung dengan Tempo pada September 2023. Kini menulis untuk desk Jeda yang mencakup olahraga dan seni.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus