Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Indonesia menahan kenaikan suku bunga.
Surplus perdagangan memungkinkan Bank Indonesia menahan suku bunga.
Bunga rendah membuat investor asing hengkang.
BANK Indonesia makin tertinggal kereta kenaikan suku bunga. Pekan lalu, The Federal Reserve menaikkan lagi bunganya sebesar 0,75 persen. Dengan demikian, sudah empat kali The Fed menaikkan bunga tahun ini. Total kenaikannya sudah mencapai 2 persen. Bunga The Fed sekarang berada dalam rentang 2,25-2,5 persen. Sebaliknya, BI masih menahan bunga rujukannya, BI 7-Day Reverse Repo Rate, yang kini 3,5 persen. Tingkat bunga serendah ini—rekor terendah sepanjang sejarah—sudah bertahan selama 17 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang ada beberapa kondisi yang memungkinkan BI tidak menaikkan bunga. Salah satunya BI menilai laju inflasi belum berbahaya, walaupun sudah naik lebih dari dua kali lipat dalam enam bulan terakhir. Inflasi tahunan naik dari 1,87 persen di akhir Desember 2021 menjadi 4,35 persen pada akhir Juni 2022. Tapi angka ini masih jauh lebih rendah ketimbang inflasi tahunan di Amerika Serikat yang mencapai 9,1 persen per Juni 2022. Maka, ketika The Fed panik menaikkan bunga untuk meredam inflasi, BI masih bisa mempertahankan bunga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Indonesia sedang mendapat keuntungan ekstra. Rezeki nomplok itu adalah surplus neraca perdagangan yang amat besar karena harga berbagai komoditas ekspor sedang melejit tinggi. Nikmat surplus perdagangan sudah membuai Indonesia selama 25 bulan berturut-turut, sejak Mei 2020. Selama semester I 2022 saja, surplus perdagangan Indonesia mencapai US$ 24,89 miliar. Surplus raksasa ini membuat keseimbangan eksternal Indonesia tetap aman. Ada aliran dolar hasil ekspor amat besar yang menyangga kebutuhan valuta asing untuk membayar utang luar negeri ataupun impor berbagai barang dan jasa.
Dua faktor ini membuat BI berani menahan bunga. Jika bunga tetap rendah, hal ini merupakan insentif bagi ekonomi secara keseluruhan untuk bergerak lebih kencang. Dus, momentum pertumbuhan tetap terjaga. Namun strategi itu tentu juga membawa beberapa konsekuensi yang mesti kita antisipasi.
Suku bunga yang rendah di sini ketika suku bunga The Fed terus melejit tinggi sudah memicu pelarian modal asing dari pasar finansial Indonesia, terutama dari pasar obligasi pemerintah. Itu sebabnya, meskipun Indonesia menikmati surplus perdagangan yang amat besar, cadangan devisa kita ternyata tidak naik secara proporsional.
Pelarian modal asing sudah menetralkan efek positif surplus perdagangan. Pada akhir 2020, posisi cadangan devisa kita US$ 135,89 miliar. Setelah ada banjir devisa dari surplus perdagangan selama 25 bulan berturut-turut, posisi cadangan devisa Indonesia nyaris tak bertambah, US$ 136,4 miliar per Juni 2022.
Tren terbangnya modal asing akan terus berlangsung selama suku bunga di dalam negeri tetap rendah. Konsekuensi yang paling terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah kurs rupiah yang akan terus menurun.
Pelarian modal asing yang begitu masif juga mengubah lanskap pasar finansial Indonesia. Satu sisi positifnya: makin kecil modal asing yang tertanam di sini, makin kecil risiko timbul krisis jika ada gejolak eksternal. Tapi, di sisi lain, jika saat ini dana asing terus keluar, mampukah investor domestik menyerap obligasi pemerintah yang mereka jual? Saat ini dana investor domestik yang tertanam di obligasi pemerintah sudah amat besar. Ada lonjakan berkali-kali lipat ketimbang sebelum masa pandemi (lihat tabel).
Masih ada pasokan obligasi pemerintah yang mesti diserap investor domestik. Untuk menutup defisit anggaran tahun ini, pemerintah berencana menjual surat utang senilai Rp 868 triliun. Hingga 10 Juli 2022, pemerintah baru berhasil menjual obligasi dalam rupiah ataupun mata uang asing senilai Rp 537,67 triliun. Artinya, masih ada kebutuhan menjual surat utang lagi sekitar Rp 330 triliun. Investor domestik akan makin gelagapan menelan obligasi pemerintah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo