Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bisnis pariwisata belum pulih meski pelonggaran mobilitas berlaku.
Ada ancaman kredit macet jika pendapatan belum normal.
Pengusaha meminta tambahan waktu program restrukturisasi kredit.
PELONGGARAN pembatasan mobilitas masyarakat sejak awal tahun ini bak madu corbezzolo. Alih-alih manis, madu langka asal pegunungan di Pulau Sardinia, Italia, itu malah pahit. Ini yang dirasakan pelaku bisnis hotel dan restoran tatkala mendapat skor kredit yang buruk dari perbankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maulana Yusran, bos PT Tirapah Bysra Management, perusahaan pengelola Hotel Hangtuah di Padang, mengeluh lantaran pelonggaran mobilitas tak mampu menggenjot tingkat kunjungan wisata hingga hunian hotel. Pendapatan pelaku industri pariwisata pun makin mengkeret dan mereka sulit membayar utang kepada bank.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, banyak pengusaha pariwisata yang mendapat status “Collect 3” alias catatan kredit buruk. Dampaknya, mereka tak bisa mendapatkan modal kerja tambahan untuk membenahi usaha. “Catatan bank bisnisnya tidak baik, jadi tidak dapat approval," kata Maulana, yang menjabat Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, kepada Tempo, Jumat, 29 Juli lalu.
Jika dibandingkan dengan dua tahun lalu, Maulana mengakui ada sedikit perubahan. Namun, tutur dia, tekanan arus kas belum bisa pulih mengingat penurunan pendapatan yang sangat tajam terjadi selama dua tahun. Sementara itu, pemulihan, yang sebenarnya juga tak lancar, baru berjalan beberapa bulan. Dia mencontohkan masa libur panjang Lebaran yang dimanfaatkan untuk mudik dan berwisata. "Kenaikan jumlah pengunjung selama lima hari tak bisa memulihkan tekanan yang terjadi selama satu tahun," ujarnya.
Kondisi ini yang memaksa pengusaha menyusun strategi baru untuk memperpanjang napas. Agar beban kredit agak ringan, mereka berharap fasilitas restrukturisasi kredit yang masuk agenda pemulihan ekonomi nasional bisa terus berlangsung. Program restrukturisasi yang disediakan bank bermacam-macam, dari pengurangan beban bunga, perpanjangan tenor cicilan, hingga skema konversi utang menjadi penyertaan modal.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan sebagian besar pengusaha pariwisata belum siap menghadapi akhir program restrukturisasi kredit yang, menurut Otoritas Jasa Keuangan, selesai pada Maret 2023. Dia juga mengingatkan bahwa bank dan para kreditor bakal sulit menanggung beban yang menumpuk akibat pemberian fasilitas restrukturisasi. "Mereka akan bermasalah juga jika (masa restrukturisasi) tak diperpanjang," ucapnya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Haryadi Sukamdani di Gedung APINDO, Jakarta, 10 Februari 2021. Tempo/Tony Hartawan
Restrukturisasi kredit ditetapkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 Tahun 2020. Beleid ini mengatur skema restrukturisasi kredit untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Menurut sejumlah pernyataan OJK, nilai restrukturisasi kredit pada Desember 2020 mencapai Rp 829,93 triliun untuk 6,26 juta nasabah. Di akhir tahun 2021 nilainya Rp 663,5 triliun. Sedangkan pada April lalu, nilai kredit yang mendapat fasilitas ini mencapai Rp 606,3 triliun.
Melalui Peraturan OJK Nomor 17 Tahun 2021, lembaga pengawas jasa keuangan ini menetapkan masa berlaku stimulus perekonomian bagi debitor bank yang terkena dampak Covid-19 sampai 31 Maret 2023. Kebijakan tersebut, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK periode 2017-2022, Wimboh Santoso, mencakup penilaian kualitas aset berdasarkan ketepatan pembayaran untuk kredit atau pembiayaan dengan plafon hingga Rp 10 miliar dan penetapan kualitas lancar atas kredit atau pembiayaan yang direstrukturisasi.
•••
MENJELANG berakhirnya program restrukturisasi, bank mulai berbenah. Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Aestika Oryza Gunarto mengatakan, secara umum, kredit nasabah yang terkena dampak pandemi cukup baik dan jumlah permohonan restrukturisasi menurun. "Ini seiring dengan makin terkendalinya pandemi sehingga aktivitas bisnis dapat kembali normal," katanya.
Pada akhir Juni lalu, BRI mencatatkan fasilitas restrukturisasi kredit Rp 129,55 triliun. BRI pun menyiapkan non-performing loan coverage atau pencadangan 266,26 persen. Angka itu meningkat jika dibandingkan dengan pencadangan pada akhir kuartal II 2021 yang mencapai 252,29 persen. BRI juga kian selektif melakukan restrukturisasi kredit, khususnya untuk nasabah yang ditengarai sudah tidak memiliki kemampuan membayar.
Penurunan persentase restrukturisasi kredit juga dicatatkan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. BNI mencatatkan penurunan hingga 50 persen dari awal masa pandemi. Nilai tertinggi mencapai Rp 102 triliun. "Sekarang sisa 50 persen dari kondisi peak," ujar Direktur Utama BNI Royke Tumilaar pada Kamis, 28 Juli lalu. Tren itu, menurut Royke, terus berlanjut.
Untuk mengantisipasi kredit macet ketika program restrukturisasi berakhir, BNI menyiapkan beberapa jalan bagi debitor. Royke menjelaskan, BNI antara lain akan mengawasi kondisi debitor bermasalah dan membantu mereka dengan strategi yang tepat. BNI, dia menambahkan, juga membangun provisi sesuai dengan profil risiko debitor. Royke mengatakan non-performing loan biasanya terjadi pada nasabah yang tidak menguasai pasar atau produknya kurang kompetitif. "Nasabah seperti ini cepat sekali menurun kondisinya dan kekuatan finansialnya juga langsung menurun secara tajam," tuturnya.
BNI membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sejak 2020. Selain itu, Royke melanjutkan, ada penyesuaian terhadap debitor-debitor peserta restrukturisasi yang dianggap sulit pulih sehingga skor kreditnya menjadi “Collect 2”. "Pembentukan CKPN juga lebih besar dan juga sesuai dengan kondisi riilnya," ucap Royke.
Bagi pengusaha, program restrukturisasi kredit adalah penyelamat di tengah kesempitan. Karena itu pula banyak pengusaha yang tidak siap jika fasilitas ini dicabut dengan pertimbangan kondisi usaha dianggap sudah normal. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah mengusulkan kepada pemerintah agar memperpanjang masa restrukturisasi kredit setidaknya hingga 2025. Sedangkan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) melayangkan surat kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif agar mempertimbangkan perpanjangan program ini.
Sedikit harapan muncul pada Februari lalu, saat Presiden Joko Widodo meminta Otoritas Jasa Keuangan tidak membatasi waktu restrukturisasi kredit perbankan. Namun, kenyataannya, kata Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, surat yang ia layangkan kepada Kementerian Pariwisata pada Juni lalu belum mendapat tanggapan. Demikian pula permohonan audiensi kepada OJK bersama Apindo. Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani masih berharap OJK bakal memperpanjang masa restrukturisasi karena banyak pelaku industri mengalami kesulitan membayar utang kepada bank.
Toh, OJK sangat berhati-hati menetapkan langkah, apakah akan memperpanjang atau menghentikan program restrukturisasi kredit sesuai dengan jadwal. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK periode 2022-2027, Dian Ediana Rae, masih menyimpan jawabannya. “Akan kami umumkan tepat pada waktunya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo