TAK lama lagi persaingan hidup-mati akan mewarnai bisnis angkutan udara di Indonesia. Tanda-tandanya sudah kelihatan sejak tahun lalu. Maskapai swasta Sempati, yang memiliki pesawat bermesin jet, tidak lagi puas dengan jalur penerbangan dometik dan lintas batas seperti ke Penang, Kualalumpur, dan Singapura. Beberapa bulan lalu, usul Sempati untuk terbang ke Perth (Australia) dan Taipei dikabulkan. Bahkan rencana Sempati terbang ke Eropa juga tak jadi masalah. Setidaknya, itulah yang dikatakan Dirjen Penerbangan Udara, Zainuddin Sikado. Adapun jalur ke Perth, itu akan dilayani Sempati awal Mei depan, setelah tiga pesawat Airbus yang dipesannya tiba akhir bulan ini. Tahun ini juga Sempati akan memperoleh tambahan dua pesawat B 737-200 bekas yang dibeli dari All Nippon Airways. Berarti, armada Sempati ditunjang oleh 21 pesawat, termasuk 7 Fokker-100 dan 5 F-27. Pada saat yang sama, maskapai swasta Bouraq juga melebarkan sayapnya dengan tiga pesawat jet bekas, yang kelak menjadi tujuh. Sementara itu Garuda, yang diproyeksikan menerbangi jalur internasional saja, sampai kini masih melayani jalur domestik yang gemuk seperti JakartaSurabaya, JakartaSemarang, dan JakartaMedan. Singkatnya, ada tiga maskapai penerbangan yang memperebutkan pasar angkutan udara domestik itu pun Merpati Nusantara Airlines belum diperhitungkan. Tak mengherankan bila kilat persaingan mulai memercik di sana- sini. Sempati, misalnya, memberikan ganti rugi sebesar Rp 2.000 untuk setiap menit keterlambatan. Paling menarik perhatian adalah diskon 11,4% yang ditawarkan Sempati kepada setiap penumpang wanita dalam rangka memperingati Hari Kartini. Tawaran ini hanya berlaku selama bulan April. Tapi tak sedikit yang beranggapan bahwa perang tarif sudah bertambah marak. Namun Dirut Sempati, Hasan M. Soedjono, tidak melihat adanya indikasi semacam itu. Ia berpendapat, pasar penerbangan tak peka terhadap harga tiket. ''Pengguna jasa penerbangan di Indonesia itu inelastis. Berapa pun harga berubah, itu tidak akan mempengaruhi rencana perjalanan mereka,'' ujar Hasan. Sebegitu jauh, Pemerintah dingin-dingin saja, walaupun ada pejabat yang terkesan sedikit ''gerah'' melihat gaya promosi yang dilancarkan Sempati. Tak aneh bila Sempati akan terus menawarkan diskon. Bulan Mei, misalnya, perusahaan itu akan memberikan potongan harga sekitar 20% untuk para guru, karena pada bulan ini ada Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Kalau sampai begitu, apa masih belum layak disebut perang tarif? Hasan Soedjono tidak menjawab pertanyaan ini. Komentarnya pun asal saja. ''Heran,'' ujarnya, ''kami naikkan jadi masalah, diturunkan juga dibicarakan orang.'' Yang pasti, entah karena persaingan atau sebab lain, di kancah angkutan udara ada satu perusahaan yang berani jor-joran menawarkan tarif miring, yakni Sempati. Yang juga pasti adalah setiap maskapai kini berusaha memiliki pesawat jet. Tahun ini armada Bouraq akan bertambah dengan tujuh Boeing 737- 200. Investasi ini lumayan besar, karena untuk pesawat yang dibeli dengan cara leasing itu Bouraq harus membayar US$ 1.000 sampai US$ 2.000 per pesawat per jam penerbangan. Katakanlah setiap pesawat terbang 10 jam per hari, maka untuk tujuh pesawat diambil murahnya saja maskapai ini harus membayar sekitar US$ 70.000 atau Rp 150 juta per hari. Mandala, biarpun agak terlambat, juga akan membeli Boeing 737- 200 bekas. Tentu saja pembelian ini akan menimbulkan beban esktra, tapi pilihan lain tak ada. Kalau cuma mengandalkan 11 unit Vickers Viscount dan pesawat Electra, Mandala tetaplah dikategorikan sebagai pesawat pedagang antarpulau. Selain itu, 11 pesawat tersebut sangat boros. Menurut Hermanus Winarto, corporate secretary Mandala, untuk biaya suku cadangnya saja, dalam setahun Mandala menghabiskan tak kurang dari Rp 40 miliar. ''Jadi, selama ini kami terbang dengan spare part, bukan dengan pesawat,'' katanya. Merpati bagaimana? Sebagai BUMN yang menjadi anak Garuda, ''burung'' yang satu ini tampaknya hanya bisa menunggu. Maksudnya, selain menunggu pesawat lungsuran dari sang induk, Merpati kini juga tengah menanti restu dari Pemerintah untuk segera memiliki Fokker-100. Seperti diketahui, Menteri Keuangan pada kabinet lalu telah menyetujui kredit yang diajukan Merpati sebesar US$ 90 juta untuk membeli tiga pesawat Fokker. ''Tapi, karena ganti kabinet, kami sekarang sedang mengajukan rekonfirmasi kepada menteri yang baru,'' kata Ridwan Fatarudin, Dirut Merpati Airlines. Dengan jetisasi, persaingan di kalangan maskapai penerbangan tak dapat tidak akan semakin tajam. Apalagi membeli jet berarti menghadang risiko tinggi. Soalnya, maskapai-maskapai ini harus membayar cicilan dan bunga utangnya dengan dolar, sementara perolehan mereka dalam rupiah. Justru kenyataan itulah yang oleh Hasan M. Soedjono diakui sebagai salah satu faktor yang membuat Sempati bersikap agresif. ''Utang dan bunga yang kami tanggung besar, dan inilah yang menyebabkan selama tiga tahun kami belum berhasil mencapai titik impas,'' katanya. Bahkan, sepanjang tiga tahun ini, kendati di kertas mencatat keuntungan (tahun lalu Rp 30 miliar), Sempati secara operasional tetap merugi antara Rp 1 miliar dan Rp 2 miliar. Menurut Hasan, tidaklah mengherankan bila Sempati selalu mengincar jalur gemuk di dalam maupun luar negeri. Ia mengingatkan bahwa Sempati sudah telanjur investasi dengan membeli pesawat baru, sementara maskapai lain boleh membeli pesawat bekas yang harganya jauh lebih murah. ''Jadi, jangan bilang bahwa kami selalu menjadi anak emas dan memperoleh banyak fasilitas dari Pemerintah. Semua perusahaan penerbangan juga memperoleh fasilitas yang sama, adil,'' kata Hasan. Kalau memang benar, kelak semua maskapai tentu boleh menerbangi jalur mana saja, sehingga bukan mustahil persaingan akan berkobar dan ikut membakar mereka. Apakah bijaksana membiarkan hal itu mengarah ke sana? Pihak pengambil keputusan tentu harus meninjau lagi kebijaksanaan yang digariskan di sektor ini, secepatnya. Lantas, bagaimana dengan Garuda? ''Saya kira bukan masalah,'' jawab Wage Mulyono, Dirut Garuda, kalem sekali. Alasannya, jalur yang kini terlihat gemuk memang benar-benar tambun, sehingga sangat mungkin dinikmati secara beramai-ramai. Ke Guangzhou, RRC, contohnya. Menurut Wage Mulyono, ditambah dengan satu maskapai pun, rute ke sana tetap ramai. Jadi, ''Kalau Sempati mau menerbangi rute ini, pesawatnya pasti akan penuh, dan Garuda sendiri tetap fully booked,'' katanya. Wage betul, tapi perkiraan yang dilontarkan Dirut Merpati juga tak ada salahnya. Kata Ridwan, saat ini persaingan tidak begitu terasa, sebab yang menjadi ajang pertarungan merupakan jalur yang benar-benar gemuk. Namun diakuinya, ''Lama-kelamaan maskapai seperti Sempati akan menjadi kompetitor kami.'' Satu hal lagi yang perlu diingat adalah buntut negatif yang ditimbulkan oleh persaingan itu. Menurut bekas Dirut Garuda, R.A.J. Lumenta, jika persaingan di jalur gemuk dibiarkan, jalur penerbangan lokal terutama penerbangan antarkabupaten seperti SurabayaLarantuka akan terabaikan. Padahal jalur-jalur ini seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah. Memang, jalur-jalur yang dikenal sebagai rute kering ini merupakan beban Merpati. Tapi, kalau Merpati tetap dibebani, ''Apa nantinya tidak akan bangkrut?'' ujar seorang pengamat. Padahal, perusahaan lain dengan suka cita mengerubuti rute-rute gemuk dengan lahapnya. Budi Kusumah, Dwi S. Irawanto, Diah Purnomowati, Bina Bektiati, dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini