ADA juga cerita lucu tapi getir dari antri bensin di Amerika
Serikat. Antri bensin di pompa swasta itu cukup menjengkelkan.
Tapi ternyata juga para diplomat PBB yang berasal Arab di New
York ikut terharu.
Pada suatu hari delegasi Irak memajukan keluhan pada suatu
Panitia PBB. Mereka meminta supaya para diplomat dibebaskan
dari siksaan antri itu. Maka dipertimbangkanlah usul supaya
pompa yang ada tapi jarang terpakai di lantai bawah gedung PBB
diaktifkan. Tapi bensinnya dari mana? Anggota delegasi Spanyol
mengusulkan -- tentu bercanda -- supaya para anggota OPEC
mensuplai tanki pompa PBB itu.
Kisah ini sempat jadi berita internasional -- suatu gambaran
tentang krisis minyak yang kembali melanda dunia. Bahwa keadaan
ini cukup gawat, tujuh negara industri maju -- Amerika,
Inggeris, Perancis, Jerman Barat, Italia, Kanada dan Jepang --
khusus membicarakannya dalam KTT mereka di Tokyo Juni lalu.
Bersamaan dengan KTT Tokyo itu, 13 negara anggota OPEC di Jenewa
menetapkan harga baru per barrel minyak mentah -- berkisar
antara $ 18 dan $ 23«, berarti naik sekitar 50% dari Desember
lalu. Kenaikan ini diduga akan menimbulkan resesi ekonomi
dunia, mendorong inflasi, menambah pengangguran dan mengerem
pertumbuhan ekonomi.
OPEC menjadi sasaran emosi dunia, terutama amarah Amerika
Serikat. Waktu memperingati 4 Juli, hari kemerdekaan bangsa 203
tahun lalu, agitasi di Amerika malah menyebut akan perlunya
suatu "perjoangan kemerdekaan ke-2" --sekali ini melawan OPEC.
AS yang mampu mendaratkan manusia di bulan 10 tahun lalu pekan
ini sungguh merasa dicekik oleh OPEC. Sejak 1973-74, kejutan
OPEC pertama kali dengan kenaikan harga dan sebagai akibat
tindakan negara-negara Arab yang memakai minyak sebagai
"senjata" dalam konflik Timur Tengah, AS sungguh mempelajari
kemungkinan merebut ladang minyak secara militer, bila perlu,
untuk menjamin arus suplai.
Belakangan ini, terutama sejak revolusi Iran dan kejatuhan Shah
Riza Pahlevi, arus suplai minyak memang terganggu lagi.
Ayatullah Khomeini, berbeda dengan Shah, tidak memerlukan banyak
uang. Ia telah menutup kran ekspor yang mengakibatkan permintaan
dunia akan minyak jauh melebihi suplai, dan harganya pun
menanjak terutama di pasaran bebas (spot). Sebelum Iran
bergolak, pernah terjadi glut, kelebihan suplai minyak di dunia,
hingga buat sementara mereka di negara maju umumnya kembali
memboros pemakaian energi.
Harga minyak di Rotterdam, suatu pasaran Spot yang utama, pernah
mencapai $ 40 per barrel. Walaupun Khomeini sudah mengizinkan
produksi dan Iran mengekspor lagi -- tapi masih jauh di bawah
tingkat normal dulu yang hampir 6 juta barrel/hari, harga
Rotterdam itu masih di atas $ 30. Maka OPEC terakhir ini hanya
mencoba menyesuaikan harga, yang pada hakekatnya masih di bawah
tingkat spot.
Dengan keputusan OPEC di Jenewa, harga bebas itu pekan lalu
tetap tinggi walaupun agak mereda. Soalnya ialah suplai masih
kurang. Keseluruhannya OPEC ditaksir kini menghasilkan 31 juta
barrel/hari. Sebagian anggotanya, terutama negara-negara Arab
yang sudah kaya, kini cenderung membatasi produksi walaupun bisa
meningkatkannya lagi setiap waktu. Tujuannya berganda:
Menggunakan lagi minyak sebagai "senjata" untuk tujuan
politik. Ini menonjol sekali dari Libya dan Iran. Orang kuat
Libya, Kolonel Muammar Gaddafi, seperti dikutip suatu majalah
Arab, mengancam untuk menghentikan ekspor minyak negerinya
sampai selama 4 tahun. Ia menyerukan pada negara Arab lainnya
supaya berbuat sama. Libya memproduksi sekitar 2 juta
barrel/hari. Hampir 10% dari jumlah impor minyak AS datang dari
Libya.
BUKAN saja Libya, bahkan juga Arab Saudi (mensuplai 23% dari
kebutuhan impor minyak AS tahun lalu) mengaitkan politik harga
minyak dengan penyelesaian sengketa Timur Tengah, khususnya soal
Palestina. Taktik Arab Saudi dalam hal ini, tulis International
Herald Tribune, suatu koran Amerika, adalah blackmail
(pemerasan).
Menyesuaikan sasaran pendapatan devisa dari ekspor minyak
dengan kebutuhan anggaran negara. Selama ini hanyak surplus
pendapatan mereka dijadikan investasi di Amerika dan Eropa,
lebih dimanfaatkan di luar negeri daripada di dalam negeri
sendiri.
Ini suatu pemborosan, kritik ahli ekonomi Mesir terkenal, Samir
Amin, yang dikutip The Middle East, suatu majalah yang berpusat
di London. "Jika anda tidak bisa memakai uang minyak, maka anda
harus membatasi produksi . . . Minyak di dunia Arab seakan-akan
memainkan peran seperti halnya emas di Spanyol selama abad ke-16
dan ke-17: Yaitu, membangkitkan gambaran kekayaan, sementara
mereka yang menikmati kekayaan itu berada di tempat lain."
Kenyataan ini rupanya mulai disadari dunia Arab, terutama sejak
revolusi Iran.
Jika begitu, suplai minyak dunia akan terus berkurang. Blok
Barat sangat tergantung pada sumber minyak Timur Tengah, yang
mensuplai sekitar 5% kebutuhan AS, 32% Eropa dan 53% Jcpang. Ada
kemungkinan cekikan kaum produsen minyak Timur Tengah makin
ketat terasa oleh Barat, baik dalam segi suplai maupun harga.
AS khususnya akan menjadi sasaran cekikan tadi, apalagi bila
sengketa Palestina berkepanjangan. Tapi apakah AS akhlrnya
menggunakan kekuatan militernya? Kalangan di luar pemerintahan
Carter, demikian Asian Wall Street Journal, makin santer
menganjurkan gerakan militer itu. "Bahkan beberapa pejabat
pemerintahan secara pribadi," berpendapat serupa. Tapi semua itu
mengundang risiko besar, antara lain Uni Soviet akan membalas,
kata koran itu.
Ada juga dianjurkan, kabarnya, supaya AS menghentikan bantuan
makanan dan teknologi pada negara anggota OPEC. Ini juga
dianggap tak bijaksana -- karena sekarang bukan hanya AS
memonopoli suplai makanan dan teknologi.
Negara Barat lainnya, walaupun turut terpukul oleh OPEC, tenang
saja. Bahkan berusaha makm merangkul negara-negara Arab.
Perancis, misalnya, mendekati Irak guna menjual perlengkapan
militer, industri dan juga reaktor nuklir. Sebagai imbalan, Irak
akan menjamin suplai minyak untuk Perancis.
Irak yang sudah membeli jet tempur Mirage, kabarnya, berhasrat
memperoleh senjata buatan Perancis lainnya sebagai usaha
mengurangi ketergantungannya pada Uni Soviet. Penjualan minyak
Irak ke Perancis memang naik 20% dari tingkat sebelumnya --
500.000 barrel hari.
Para pejabat Inggeris dan Jerman Barat, mengikuti jejak
Perancis, telah pergi pula ke Baghdad untuk tujuan sama Paling
akhir Jepang mengirim Menteri Perdagangan dan Industri, Masumi
Esaki, ke Timur Tengah, termasuk Irak dan Arab Saudi. Harga
bukan soal besar bagi Jepang, asalkan mendapat suplai minyak.
Suplai ke Jepang terganggu sejak revolusi Iran.
Jika minyak perlu dikaitkan dengan politik, Jepang pun sudah
bersiap. Sekelompok 100 anggota parlemen yang mewakili berbagai
partai di Jepang sejak Juni mempromosikan politik Palestina yang
simpatik bagi negara-negara Arab.
Namun Tujuh Besar yang ber-KTT di Tokyo sudah sama-sama melihat
bahwa kesulitan suplai minyak perlu diatasi dengan menetapkan
batas pemakaiannya --dengan ancer-ancer sampai 1985 ke tingkat
tahun lalu. Ini tidak akan gampang. Dan itu mereka sadari.
AS mengancar-ancarkan batas 8,5 juta barrel/hari sampai 1985,
sedikit di atas jumlah impornya sekarang yang sudah membuat
antri panjang di pompa bensin. Tapi antri itu, seperti terbukti
di banyak negara industri lainnya, bisa ditiadakan dengan
mencatut pengawasan harga. Pemerintahan Carter tadinya enggan
membiarkan harga bahan bakar minyak (BBM) ditetapkan oleh
kekuatan pasar, karena kuatir harganya melonjak yang mungkin
berakibat risiko politik bagi Jimmy.
Pemerintah Singapura malah lebih berani membebaskan harga BBM.
Karena minyak makin sukar diperoleh di pasar dunia, demikian
penjelasan resmi pekan lalu di sana, "suplai akan pergi ke
tempat yang harganya sesuai."
Di Inggeris, harga bensin setinggi dua kali lipat yang dibayar
pengendara mobil di AS. Tapi tidak ada antri bensin di Inggeris.
Bagi negara industri, kesulitan suplai minyak memaksa rakyatnya
merobah gaya hidup. Tingkat hidupnya yang tinggi akan menurun.
Kebiasaan bepergian dengan mobil pribadi, misalnya, menjadi
perlu dikurangi. Pertumbuhan ekonominya mungkin berkurarg --
seperti di Jepang dari 6,3% yang direncanakan ke 4,8% tahun ini,
dan seperti di AS diduga turun ke 2,2% dari 4% tahun lalu.
Inflasi di AS, yang sebelum kenaikan harga OPEC sudah tinggi,
diduga akan mencapai belasan prosen.
Bagi negara melarat, tingkat hidupnya yang rendah akan lebih
sukar ditingkatkan. "Impian mereka untuk pembangunan akan
menjadi suatu cakrawala yang lebih jauh. Ataukah dunia harus
berubah arah meskipun belum jelas kemana lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini