Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Antara Antri Dan Cekikan

Negara-negara blok barat dan Jepang, terutama Amerika sangat terpukul dengan krisis energi akibat tindakan OPEC. Negara-negara Arab cenderung menggunakan minyak sebagai senjata politik dalam konflik Timur-Tengah. (en)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA juga cerita lucu tapi getir dari antri bensin di Amerika Serikat. Antri bensin di pompa swasta itu cukup menjengkelkan. Tapi ternyata juga para diplomat PBB yang berasal Arab di New York ikut terharu. Pada suatu hari delegasi Irak memajukan keluhan pada suatu Panitia PBB. Mereka meminta supaya para diplomat dibebaskan dari siksaan antri itu. Maka dipertimbangkanlah usul supaya pompa yang ada tapi jarang terpakai di lantai bawah gedung PBB diaktifkan. Tapi bensinnya dari mana? Anggota delegasi Spanyol mengusulkan -- tentu bercanda -- supaya para anggota OPEC mensuplai tanki pompa PBB itu. Kisah ini sempat jadi berita internasional -- suatu gambaran tentang krisis minyak yang kembali melanda dunia. Bahwa keadaan ini cukup gawat, tujuh negara industri maju -- Amerika, Inggeris, Perancis, Jerman Barat, Italia, Kanada dan Jepang -- khusus membicarakannya dalam KTT mereka di Tokyo Juni lalu. Bersamaan dengan KTT Tokyo itu, 13 negara anggota OPEC di Jenewa menetapkan harga baru per barrel minyak mentah -- berkisar antara $ 18 dan $ 23«, berarti naik sekitar 50% dari Desember lalu. Kenaikan ini diduga akan menimbulkan resesi ekonomi dunia, mendorong inflasi, menambah pengangguran dan mengerem pertumbuhan ekonomi. OPEC menjadi sasaran emosi dunia, terutama amarah Amerika Serikat. Waktu memperingati 4 Juli, hari kemerdekaan bangsa 203 tahun lalu, agitasi di Amerika malah menyebut akan perlunya suatu "perjoangan kemerdekaan ke-2" --sekali ini melawan OPEC. AS yang mampu mendaratkan manusia di bulan 10 tahun lalu pekan ini sungguh merasa dicekik oleh OPEC. Sejak 1973-74, kejutan OPEC pertama kali dengan kenaikan harga dan sebagai akibat tindakan negara-negara Arab yang memakai minyak sebagai "senjata" dalam konflik Timur Tengah, AS sungguh mempelajari kemungkinan merebut ladang minyak secara militer, bila perlu, untuk menjamin arus suplai. Belakangan ini, terutama sejak revolusi Iran dan kejatuhan Shah Riza Pahlevi, arus suplai minyak memang terganggu lagi. Ayatullah Khomeini, berbeda dengan Shah, tidak memerlukan banyak uang. Ia telah menutup kran ekspor yang mengakibatkan permintaan dunia akan minyak jauh melebihi suplai, dan harganya pun menanjak terutama di pasaran bebas (spot). Sebelum Iran bergolak, pernah terjadi glut, kelebihan suplai minyak di dunia, hingga buat sementara mereka di negara maju umumnya kembali memboros pemakaian energi. Harga minyak di Rotterdam, suatu pasaran Spot yang utama, pernah mencapai $ 40 per barrel. Walaupun Khomeini sudah mengizinkan produksi dan Iran mengekspor lagi -- tapi masih jauh di bawah tingkat normal dulu yang hampir 6 juta barrel/hari, harga Rotterdam itu masih di atas $ 30. Maka OPEC terakhir ini hanya mencoba menyesuaikan harga, yang pada hakekatnya masih di bawah tingkat spot. Dengan keputusan OPEC di Jenewa, harga bebas itu pekan lalu tetap tinggi walaupun agak mereda. Soalnya ialah suplai masih kurang. Keseluruhannya OPEC ditaksir kini menghasilkan 31 juta barrel/hari. Sebagian anggotanya, terutama negara-negara Arab yang sudah kaya, kini cenderung membatasi produksi walaupun bisa meningkatkannya lagi setiap waktu. Tujuannya berganda:  Menggunakan lagi minyak sebagai "senjata" untuk tujuan politik. Ini menonjol sekali dari Libya dan Iran. Orang kuat Libya, Kolonel Muammar Gaddafi, seperti dikutip suatu majalah Arab, mengancam untuk menghentikan ekspor minyak negerinya sampai selama 4 tahun. Ia menyerukan pada negara Arab lainnya supaya berbuat sama. Libya memproduksi sekitar 2 juta barrel/hari. Hampir 10% dari jumlah impor minyak AS datang dari Libya. BUKAN saja Libya, bahkan juga Arab Saudi (mensuplai 23% dari kebutuhan impor minyak AS tahun lalu) mengaitkan politik harga minyak dengan penyelesaian sengketa Timur Tengah, khususnya soal Palestina. Taktik Arab Saudi dalam hal ini, tulis International Herald Tribune, suatu koran Amerika, adalah blackmail (pemerasan).  Menyesuaikan sasaran pendapatan devisa dari ekspor minyak dengan kebutuhan anggaran negara. Selama ini hanyak surplus pendapatan mereka dijadikan investasi di Amerika dan Eropa, lebih dimanfaatkan di luar negeri daripada di dalam negeri sendiri. Ini suatu pemborosan, kritik ahli ekonomi Mesir terkenal, Samir Amin, yang dikutip The Middle East, suatu majalah yang berpusat di London. "Jika anda tidak bisa memakai uang minyak, maka anda harus membatasi produksi . . . Minyak di dunia Arab seakan-akan memainkan peran seperti halnya emas di Spanyol selama abad ke-16 dan ke-17: Yaitu, membangkitkan gambaran kekayaan, sementara mereka yang menikmati kekayaan itu berada di tempat lain." Kenyataan ini rupanya mulai disadari dunia Arab, terutama sejak revolusi Iran. Jika begitu, suplai minyak dunia akan terus berkurang. Blok Barat sangat tergantung pada sumber minyak Timur Tengah, yang mensuplai sekitar 5% kebutuhan AS, 32% Eropa dan 53% Jcpang. Ada kemungkinan cekikan kaum produsen minyak Timur Tengah makin ketat terasa oleh Barat, baik dalam segi suplai maupun harga. AS khususnya akan menjadi sasaran cekikan tadi, apalagi bila sengketa Palestina berkepanjangan. Tapi apakah AS akhlrnya menggunakan kekuatan militernya? Kalangan di luar pemerintahan Carter, demikian Asian Wall Street Journal, makin santer menganjurkan gerakan militer itu. "Bahkan beberapa pejabat pemerintahan secara pribadi," berpendapat serupa. Tapi semua itu mengundang risiko besar, antara lain Uni Soviet akan membalas, kata koran itu. Ada juga dianjurkan, kabarnya, supaya AS menghentikan bantuan makanan dan teknologi pada negara anggota OPEC. Ini juga dianggap tak bijaksana -- karena sekarang bukan hanya AS memonopoli suplai makanan dan teknologi. Negara Barat lainnya, walaupun turut terpukul oleh OPEC, tenang saja. Bahkan berusaha makm merangkul negara-negara Arab. Perancis, misalnya, mendekati Irak guna menjual perlengkapan militer, industri dan juga reaktor nuklir. Sebagai imbalan, Irak akan menjamin suplai minyak untuk Perancis. Irak yang sudah membeli jet tempur Mirage, kabarnya, berhasrat memperoleh senjata buatan Perancis lainnya sebagai usaha mengurangi ketergantungannya pada Uni Soviet. Penjualan minyak Irak ke Perancis memang naik 20% dari tingkat sebelumnya -- 500.000 barrel hari. Para pejabat Inggeris dan Jerman Barat, mengikuti jejak Perancis, telah pergi pula ke Baghdad untuk tujuan sama Paling akhir Jepang mengirim Menteri Perdagangan dan Industri, Masumi Esaki, ke Timur Tengah, termasuk Irak dan Arab Saudi. Harga bukan soal besar bagi Jepang, asalkan mendapat suplai minyak. Suplai ke Jepang terganggu sejak revolusi Iran. Jika minyak perlu dikaitkan dengan politik, Jepang pun sudah bersiap. Sekelompok 100 anggota parlemen yang mewakili berbagai partai di Jepang sejak Juni mempromosikan politik Palestina yang simpatik bagi negara-negara Arab. Namun Tujuh Besar yang ber-KTT di Tokyo sudah sama-sama melihat bahwa kesulitan suplai minyak perlu diatasi dengan menetapkan batas pemakaiannya --dengan ancer-ancer sampai 1985 ke tingkat tahun lalu. Ini tidak akan gampang. Dan itu mereka sadari. AS mengancar-ancarkan batas 8,5 juta barrel/hari sampai 1985, sedikit di atas jumlah impornya sekarang yang sudah membuat antri panjang di pompa bensin. Tapi antri itu, seperti terbukti di banyak negara industri lainnya, bisa ditiadakan dengan mencatut pengawasan harga. Pemerintahan Carter tadinya enggan membiarkan harga bahan bakar minyak (BBM) ditetapkan oleh kekuatan pasar, karena kuatir harganya melonjak yang mungkin berakibat risiko politik bagi Jimmy. Pemerintah Singapura malah lebih berani membebaskan harga BBM. Karena minyak makin sukar diperoleh di pasar dunia, demikian penjelasan resmi pekan lalu di sana, "suplai akan pergi ke tempat yang harganya sesuai." Di Inggeris, harga bensin setinggi dua kali lipat yang dibayar pengendara mobil di AS. Tapi tidak ada antri bensin di Inggeris. Bagi negara industri, kesulitan suplai minyak memaksa rakyatnya merobah gaya hidup. Tingkat hidupnya yang tinggi akan menurun. Kebiasaan bepergian dengan mobil pribadi, misalnya, menjadi perlu dikurangi. Pertumbuhan ekonominya mungkin berkurarg -- seperti di Jepang dari 6,3% yang direncanakan ke 4,8% tahun ini, dan seperti di AS diduga turun ke 2,2% dari 4% tahun lalu. Inflasi di AS, yang sebelum kenaikan harga OPEC sudah tinggi, diduga akan mencapai belasan prosen. Bagi negara melarat, tingkat hidupnya yang rendah akan lebih sukar ditingkatkan. "Impian mereka untuk pembangunan akan menjadi suatu cakrawala yang lebih jauh. Ataukah dunia harus berubah arah meskipun belum jelas kemana lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus