Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Di Sana Gawat, Di Sini Belum

Wawancara Tempo dengan menteri pertambangan dan energi Soebroto tentang krisis energi di dunia akibat keputusan OPEC dan pengaruhnya terhadap konsumsi bahan bakar minyak di dalam negeri. (en)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI sudah jadi cerita umum: Di Amerika orang harus antri berjam-jm untuk mendapat premium yang berharga antara 170 - Rp 300/liter. Karena suasana kemudian tambah gawat, Gubernur North Carolina, AS, malahan mengerahkan sejumlah tentara mengawal pompa bensin. Sebab sebelumnya di Levittown, para pengemudi yang gondok, telah membakari mobil. Dan seseorang diberitakan telah mengorek pipa minyak yang menyebabkan sebuah perusahaan kalang kabut untuk menanggulangi kebocoran itu. Ribuan ton hasil bumi busuk. Sarana perhubungan umum lalu dipadati penumpang berlebihan. TEMPO: Krisis energi yang melanda Amerika dan negara EEC, memang sedang menanjak. Apakah krisis semacam itu akan melanda Indonesia? Soebroto: Krisis gawat tidak akan terjadi pada kita. Selain konsumsi energi masih rendah, kita juga memproduksi sendiri bahan baku energi. Jadi memang berlainan 'krisis energi' di Barat sana dengan di sini. Ketergantungan kita pada bensin belum keterlaluan. Kalau motornya mogok ya didorong, kalau listriknya mati ya pakai lilin. Tidak seperti di New York sana, sekali listriknya mati, modar semuanya. Tentu. Indonesia memang tidak cemas menghadapi krisis akibat Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menetapkan harga patokan minyak dasar (floor) dan tertinggi (ceilling) antara US$1 - 23,5/barrel. Bahkan sebaliknya suatu boom yang cukup besar konon sedang ditunggu. Sebulan yang silam, beberapa hari sebelum harga baru OPEC ditelurkan, Indonesia menaikkan harga ekspor minyak mentahnya rata-rata dengan US$18/barrel. Jakarta diperkirakan akan menerima pendapatan kotor dari ekspor 1,3 juta barrel/hari minyak mentah, dalam setahun sebesar Rp 5,5 triliun. Awal pekan ini, menyusul ketetapan OPEC, sejak 15 Juli Indonesia menaikkan harga ekspor minyak mentah antara US$19,36 (jenis Klamono) - US$23,5 (jenis Attaka, Bekapai dan Badak). Jelas devisa yang didapat tentu bakal bertambah. Kemampuan pemerintah membiayai pembangunan semakin kuat. Tapi masalah berikutnya tidak terlalu menggembirakan. Sebab di lain pihak Menteri Keuangan Ali Wardhana, harus mulai berhitung, menyisihkan dana yang cukup besar, untuk memberi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang kebutuhannya cenderung naik terus. Kenapa? Setelah BBM dalam negeri dinaikkan April kemarin dan gejolak harga belum lagi berhasil dijinakkan pemerintah bertekad tidak akan menaikkan harga BBM lagi. Dulu, setelah harga BBM didongkrak, pemerintah mengambil kebijaksanaan memberi subsidi silang kepada minyak tanah, minyak diesel dan minyak bakar, serta solar masing-masing sebesar Rp 0,44 Rp 28,09 dan Rp 25,14. Ketika itu, dalam tahun anggaran 1979/80, jumlah subsidi diperhitungkan akan mencapai Rp 400 milyar. Kini dengan proyeksi kebutuhan BBM masih berkisar 20,410 milyar setahun -- yang sebagian besar masih diimpor dari Arab Saudi (crude oil) dan Kuwait (kerosene) -- pemerintah menyatakan akan memberi tambahan subsidi. Besarkah tambahan subsidi kali ini? Karena kita tidak menaikkan BBM lagi, defisit memang makin besar. Tapi kita akan memakai tambahan pendapatan kenaikan harga minyak ekspor itu untuk menutup subsidi tambahan tadi. Untuk siapa sebenarnya subsidi itu? Siapa yang menerima subsidi terbanyak? Pertanyaan ini sering dikemukakan. Rumahtangga tuan Kartono, tahun 1970 hanya memakai listrik 100 watt dan 1 liter minyak tanah sehari untuk kompor serta menumpang bis kota bila pergi ke kantor. Hampir 10 tahun kemudian setelah karirnya di kantor meningkat, dan rumahnya pindah di Kemang, Jakarta, terjadi perubahan. Listriknya meningkat 20 kali lipat untuk menghidupkan televisi, setrika listrik, tape recorder stereo, lemari es, lampu kristal berikut satu unit AC. SEMENTARA itu Abdulgani, pedagang buah di Pasar Minggu, Jakarta, dalam waktu bersamaan, masih memakai minyak tanah dan accu (untuk televisi) sebagai sumber energi. Kini setelah usaha bahan bangunannya naik, konsumsi minyak tanahnya untuk menyalakan 6 petromaks dan sejumlah lampu tempel berikut sebuah kompor -- meningkat jadi 10 liter sehari dari sebelumnya yang hanya 2 liter. Dilihat sekilas, pemerintah tampaknya memberi subsidi banyak, sebesar Rp 500/hari kepada Gani. Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional, 3 tahun lalu, antara 85-90% minyak tanah memang dikonsumsi rumah tangga. Separuh dari jumlah itu, minyak tanah tadi dikonsumsi 72% penduduk berpenghasilan rendah, dengan pendapatan di bawah Rp 5000 per kepala/bulan. Jadi banyak masyarakat lapisan bawah, menerima subsidi ini. Tapi subsidi untuk listrik, yang sebagian besar energinya dibangkitkan dengan BBM, baik oleh PLN maupun agregat pribadi, jumlahnya cukup besar juga. Diketahui, bahwa pemakaian BBM oleh PLN, nampak naik dengan cukup pesat. Menurut angka dari drs. Joedo Soembono, Direktur Pembekalan Dalam Negeri Pertamina, di tahun 1975 pemakaian minyak solar PLN misalnya hanya 295 ribu kilo liter. Tahun lalu: sudah 820 ribu kilo liter. Sementara itu asas pemerataan belum tercapai dalam hal listrik. Jadi benarkah subsidi ini sebagian besar jatuh untuk golongan atas? Setelah minyak tanah, memang minyak solar yang terbanyak dalam pemakaian. Tapi kalau melihat jangan separuh-separuh begitu, dong. Harus diperhitungkan juga berapa liter yang dipergunakan untuk kepentingan industri. Secara tidak langsung, ini bertujuan supaya barang produksi itu bisa bersaing dan murah. Kini tuan Kartono, tidak lagi mengendarai bis kota. Pulang pergi ke kantornya di suatu Departemen, ia memakai Toyota Hardtop yang menghirup premium 10 liter sehari. Untuk mengantar anak-anak ke sekolah dan babu belanja disediakan Corolla yang menelan premium 10 liter sehari. Selama hampir 10 tahun belakangan ini, pemerintah tampaknya tidak berhasil mengerem permintaan akan kendaraan "non-komersial" yang dipakai pribadi. Perakitan sedan sampai akhir 1978 mencapai 141.000 lebih berbanding dengan 366.000 lebih kendaraan "non-komersial". Maksud pemerintah mengatur pemilikan kendaraan non-komersial dibanding komersial dengan 20% 80%, agaknya tinggal angan-angan. Memang dibanding pemilikan kendaraan "non-komersial" di Amerika yang 144 juta buah itu Indonesia belum apa-apa. Dengan anggota ASEAN saja, Indonesia masih jauh tertinggal. Meskipun impor mobil built-up dengan silinder di atas 3000 cc sudah tidak diperkenankan, pemerintah dan perusahaan swasta nampaknya menggalakkan pemakaian mobil pribadi. Semacam tambahan gaji atau "pembayaran" diberikan dalam bentuk mobil. Dan tak sedikit dari jenis yang setiap kilometernya banyak menghabiskan premium. Pemborosan macam itu disinyalir juga banyak terjadi di gedung tinggi, milik pemerintah maupun swasta, yang menggunakan sistim pendingin (AC) sentral. Ambil gedung DPR misalnya. Walau tidak banyak anggota DPR yang reses datang ke situ, beban rutin di gedung DPR itu tetap 2,7 megawat -- yang meneguk 5.000 liter solar setiap hari. Susah memang kerja di gedung tinggi tanpa AC. Mematikan sebagian aliran AC, untuk menghemat energi, dalam sistim AC sentral, tidak mungkin dilakukan. Adakah sebenarnya kemauan politik pemerintah dalam menghemat energi? Sekarang sedang dipersiapkan peraturannya. Mobilisasi penghematan energi memang perlu, tapi tidak sekeras Amerika, yang masyarakatnya demikian tergantung pada listrik dan mobil. Jadi dalam berhemat kita harus hati-hati juga. Karena penggunaan energi Indonesia masih rendah, sekitar 1 barrel per kapita/tahun. Sementara Amerika sudah 600 barrel per kapita/tahun. Toh menurut catatan Direktorat Pembekalan Dalam Negeri Pertamina, penjualan BBM menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Pada periode 1975-1979 permintaan akan BBM setiap tahun tumbuh sekitar 13,8% (lihat tabel). Yang patut dicatat ialah bahwa pola lama belum berubah: meningkatnya permintaan akan BBM di Indonesia, sebagian besar datang dari rumah tangga (40%) yang tidak produktif, sementara sektor perhubungan, industri dan listrik hanya menyerap 35% dan 25%. Sampai berapa jauh pemerintah mempunyai kemauan mengontrol konsumsi BBM dalam negeri? Yang perlu dihemat adalah kebutuhan BBM di sektor yang konsumtif. Sistim jatah di negara yang masih belum sempurna administrasinya, belum perlu. Sebab kita masih bisa mengatur demand (permintaan), Tapi jangan sampai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang take off jadi terhambat, gara-gara konservasi energi yang akan dilakukan kelak. Kelak, misalnya, insentif akan kita selenggarakan. Industri yang memakai batu bara sebagai pembangkit energi, akan diberi keringanan pajak, sementara yang pakai solar dan diesel dibebani pajak tinggi. Yang merisaukan adalah bahwa peranan BBM sebesar hampir 90% sebagai pembangkit energi utama di Indonesia. Ini dinilai banyak ahli akan merupakan ancaman yang berat terhadap naik turunnya volume minyak ekspor. Seminar Kursus Staf dan Pimpinan Lembaga Minyak dan Gas meramalkan, konsumsi per kapita akan BBM pada tahun 2.000 mencapai 4 barrel, atau 2,5 juta bawel setiap hari. Kalau produksi ladang-ladang minyak Indonesia masih pada tingkat 1,6 juta barrel/hari, seperti sekarang, minyak tentu saja tidak akan mampu melayani permintaan akan energi. Maka kini pemerintah pun mulai melirik pada pilihan sumber energi nonminyak, untuk mengurangi tekanan kebutuhan BBM yang meningkat. Gas alam, batubara, panas bumi, nuklir dan air yang lama terabaikan, mulai diperhatikan. Gas alam dan batu bara tersedia melimpah. Potensi panas bumi (geothermal) Indonesia, sebagian besar terletak di Jawa, sekitar 1.575 MW-baru akan dimanfaatkan tahun 1992 kelak. Air yang potensinya 31.000 MW baru dimanfaatkan $.8000 MW saja. Sumber energi lain mana yang mendapat prioritas pemerintah untuk dikembangkan? Yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah gas dan batu bara. Konsumsi gas, setelah industri petrokimia berkembang baik, melampaui perkiraan semula. Yang paling murah untuk mendapatkan energi adalah dari nuklir. Tapi sejak location sampai beroperasi dibutuhkan waktu 15 tahun, diperlukan dana US$1 milyar untuk memperoleh energi 600 MW. Energi dari air juga termasuk murah, tapi untuk mendirikan Pembangrkit Listrik Tenaga Air dibutuhkan investasi yang mahal. Yang jelas setelah sumber energi non-minyak dikembangkan, mudah-mudahan peranan minyak sebagat sumber energi pada akhir Pelita III tinggal 77-78% saja. Banyak orang di Indonesia, nampaknya tidak terlalu risau dengan krisis energi yang melanda banyak negara industri. Djoko Djatmiko, misalnya, anggota Komisi VI (Perindustrian, Pertambangan dan Penanaman Modal) dari Fraksi Karya Pembangunan, mengatakan: "Terlampau pagi sebenarnya kalau kita bicara soal penghematan energi." Terlalu pagi memang untuk kebanyakan rakyat Indonesia. Tapi mungkin sudah cukup siang untuk lapisan paling atas dalam kebutuhan hidup. Dengan kata lain ini juga suatu masalah pemerataan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus