INI sudah jadi cerita umum: Di Amerika orang harus antri
berjam-jm untuk mendapat premium yang berharga antara 170 -
Rp 300/liter. Karena suasana kemudian tambah gawat, Gubernur
North Carolina, AS, malahan mengerahkan sejumlah tentara
mengawal pompa bensin. Sebab sebelumnya di Levittown, para
pengemudi yang gondok, telah membakari mobil. Dan seseorang
diberitakan telah mengorek pipa minyak yang menyebabkan sebuah
perusahaan kalang kabut untuk menanggulangi kebocoran itu.
Ribuan ton hasil bumi busuk. Sarana perhubungan umum lalu
dipadati penumpang berlebihan.
TEMPO: Krisis energi yang melanda Amerika dan negara EEC, memang
sedang menanjak. Apakah krisis semacam itu akan melanda
Indonesia?
Soebroto: Krisis gawat tidak akan terjadi pada kita. Selain
konsumsi energi masih rendah, kita juga memproduksi sendiri
bahan baku energi. Jadi memang berlainan 'krisis energi' di
Barat sana dengan di sini. Ketergantungan kita pada bensin
belum keterlaluan. Kalau motornya mogok ya didorong, kalau
listriknya mati ya pakai lilin. Tidak seperti di New York sana,
sekali listriknya mati, modar semuanya.
Tentu. Indonesia memang tidak cemas menghadapi krisis akibat
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menetapkan
harga patokan minyak dasar (floor) dan tertinggi (ceilling)
antara US$1 - 23,5/barrel. Bahkan sebaliknya suatu boom yang
cukup besar konon sedang ditunggu.
Sebulan yang silam, beberapa hari sebelum harga baru OPEC
ditelurkan, Indonesia menaikkan harga ekspor minyak mentahnya
rata-rata dengan US$18/barrel. Jakarta diperkirakan akan
menerima pendapatan kotor dari ekspor 1,3 juta barrel/hari
minyak mentah, dalam setahun sebesar Rp 5,5 triliun. Awal pekan
ini, menyusul ketetapan OPEC, sejak 15 Juli Indonesia menaikkan
harga ekspor minyak mentah antara US$19,36 (jenis Klamono) -
US$23,5 (jenis Attaka, Bekapai dan Badak).
Jelas devisa yang didapat tentu bakal bertambah. Kemampuan
pemerintah membiayai pembangunan semakin kuat. Tapi masalah
berikutnya tidak terlalu menggembirakan. Sebab di lain pihak
Menteri Keuangan Ali Wardhana, harus mulai berhitung,
menyisihkan dana yang cukup besar, untuk memberi subsidi Bahan
Bakar Minyak (BBM) yang kebutuhannya cenderung naik terus.
Kenapa? Setelah BBM dalam negeri dinaikkan April kemarin dan
gejolak harga belum lagi berhasil dijinakkan pemerintah bertekad
tidak akan menaikkan harga BBM lagi.
Dulu, setelah harga BBM didongkrak, pemerintah mengambil
kebijaksanaan memberi subsidi silang kepada minyak tanah, minyak
diesel dan minyak bakar, serta solar masing-masing sebesar Rp
0,44 Rp 28,09 dan Rp 25,14. Ketika itu, dalam tahun anggaran
1979/80, jumlah subsidi diperhitungkan akan mencapai Rp 400
milyar. Kini dengan proyeksi kebutuhan BBM masih berkisar 20,410
milyar setahun -- yang sebagian besar masih diimpor dari Arab
Saudi (crude oil) dan Kuwait (kerosene) -- pemerintah menyatakan
akan memberi tambahan subsidi.
Besarkah tambahan subsidi kali ini?
Karena kita tidak menaikkan BBM lagi, defisit memang makin
besar. Tapi kita akan memakai tambahan pendapatan kenaikan
harga minyak ekspor itu untuk menutup subsidi tambahan tadi.
Untuk siapa sebenarnya subsidi itu? Siapa yang menerima subsidi
terbanyak? Pertanyaan ini sering dikemukakan. Rumahtangga
tuan Kartono, tahun 1970 hanya memakai listrik 100 watt dan 1
liter minyak tanah sehari untuk kompor serta menumpang bis kota
bila pergi ke kantor. Hampir 10 tahun kemudian setelah karirnya
di kantor meningkat, dan rumahnya pindah di Kemang, Jakarta,
terjadi perubahan. Listriknya meningkat 20 kali lipat untuk
menghidupkan televisi, setrika listrik, tape recorder stereo,
lemari es, lampu kristal berikut satu unit AC.
SEMENTARA itu Abdulgani, pedagang buah di Pasar Minggu, Jakarta,
dalam waktu bersamaan, masih memakai minyak tanah dan accu
(untuk televisi) sebagai sumber energi. Kini setelah usaha
bahan bangunannya naik, konsumsi minyak tanahnya untuk
menyalakan 6 petromaks dan sejumlah lampu tempel berikut sebuah
kompor -- meningkat jadi 10 liter sehari dari sebelumnya yang
hanya 2 liter.
Dilihat sekilas, pemerintah tampaknya memberi subsidi banyak,
sebesar Rp 500/hari kepada Gani. Menurut hasil Survey Sosial
Ekonomi Nasional, 3 tahun lalu, antara 85-90% minyak tanah
memang dikonsumsi rumah tangga. Separuh dari jumlah itu, minyak
tanah tadi dikonsumsi 72% penduduk berpenghasilan rendah,
dengan pendapatan di bawah Rp 5000 per kepala/bulan. Jadi banyak
masyarakat lapisan bawah, menerima subsidi ini. Tapi subsidi
untuk listrik, yang sebagian besar energinya dibangkitkan
dengan BBM, baik oleh PLN maupun agregat pribadi, jumlahnya
cukup besar juga. Diketahui, bahwa pemakaian BBM oleh PLN,
nampak naik dengan cukup pesat. Menurut angka dari drs. Joedo
Soembono, Direktur Pembekalan Dalam Negeri Pertamina, di tahun
1975 pemakaian minyak solar PLN misalnya hanya 295 ribu kilo
liter. Tahun lalu: sudah 820 ribu kilo liter. Sementara itu asas
pemerataan belum tercapai dalam hal listrik.
Jadi benarkah subsidi ini sebagian besar jatuh untuk golongan
atas?
Setelah minyak tanah, memang minyak solar yang terbanyak dalam
pemakaian. Tapi kalau melihat jangan separuh-separuh begitu,
dong. Harus diperhitungkan juga berapa liter yang dipergunakan
untuk kepentingan industri. Secara tidak langsung, ini
bertujuan supaya barang produksi itu bisa bersaing dan murah.
Kini tuan Kartono, tidak lagi mengendarai bis kota. Pulang pergi
ke kantornya di suatu Departemen, ia memakai Toyota Hardtop
yang menghirup premium 10 liter sehari. Untuk mengantar
anak-anak ke sekolah dan babu belanja disediakan Corolla yang
menelan premium 10 liter sehari.
Selama hampir 10 tahun belakangan ini, pemerintah tampaknya
tidak berhasil mengerem permintaan akan kendaraan
"non-komersial" yang dipakai pribadi. Perakitan sedan sampai
akhir 1978 mencapai 141.000 lebih berbanding dengan 366.000
lebih kendaraan "non-komersial". Maksud pemerintah mengatur
pemilikan kendaraan non-komersial dibanding komersial dengan 20%
80%, agaknya tinggal angan-angan.
Memang dibanding pemilikan kendaraan "non-komersial" di Amerika
yang 144 juta buah itu Indonesia belum apa-apa. Dengan anggota
ASEAN saja, Indonesia masih jauh tertinggal. Meskipun impor
mobil built-up dengan silinder di atas 3000 cc sudah tidak
diperkenankan, pemerintah dan perusahaan swasta nampaknya
menggalakkan pemakaian mobil pribadi. Semacam tambahan gaji atau
"pembayaran" diberikan dalam bentuk mobil. Dan tak sedikit dari
jenis yang setiap kilometernya banyak menghabiskan premium.
Pemborosan macam itu disinyalir juga banyak terjadi di gedung
tinggi, milik pemerintah maupun swasta, yang menggunakan sistim
pendingin (AC) sentral. Ambil gedung DPR misalnya. Walau tidak
banyak anggota DPR yang reses datang ke situ, beban rutin di
gedung DPR itu tetap 2,7 megawat -- yang meneguk 5.000 liter
solar setiap hari.
Susah memang kerja di gedung tinggi tanpa AC. Mematikan sebagian
aliran AC, untuk menghemat energi, dalam sistim AC sentral,
tidak mungkin dilakukan.
Adakah sebenarnya kemauan politik pemerintah dalam menghemat
energi?
Sekarang sedang dipersiapkan peraturannya. Mobilisasi
penghematan energi memang perlu, tapi tidak sekeras Amerika,
yang masyarakatnya demikian tergantung pada listrik dan mobil.
Jadi dalam berhemat kita harus hati-hati juga. Karena penggunaan
energi Indonesia masih rendah, sekitar 1 barrel per
kapita/tahun. Sementara Amerika sudah 600 barrel per
kapita/tahun.
Toh menurut catatan Direktorat Pembekalan Dalam Negeri
Pertamina, penjualan BBM menunjukkan kecenderungan yang terus
meningkat. Pada periode 1975-1979 permintaan akan BBM setiap
tahun tumbuh sekitar 13,8% (lihat tabel).
Yang patut dicatat ialah bahwa pola lama belum berubah:
meningkatnya permintaan akan BBM di Indonesia, sebagian besar
datang dari rumah tangga (40%) yang tidak produktif, sementara
sektor perhubungan, industri dan listrik hanya menyerap 35% dan
25%.
Sampai berapa jauh pemerintah mempunyai kemauan mengontrol
konsumsi BBM dalam negeri?
Yang perlu dihemat adalah kebutuhan BBM di sektor yang
konsumtif. Sistim jatah di negara yang masih belum sempurna
administrasinya, belum perlu. Sebab kita masih bisa mengatur
demand (permintaan), Tapi jangan sampai pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang sedang take off jadi terhambat, gara-gara
konservasi energi yang akan dilakukan kelak. Kelak, misalnya,
insentif akan kita selenggarakan. Industri yang memakai batu
bara sebagai pembangkit energi, akan diberi keringanan pajak,
sementara yang pakai solar dan diesel dibebani pajak tinggi.
Yang merisaukan adalah bahwa peranan BBM sebesar hampir 90%
sebagai pembangkit energi utama di Indonesia. Ini dinilai banyak
ahli akan merupakan ancaman yang berat terhadap naik turunnya
volume minyak ekspor. Seminar Kursus Staf dan Pimpinan Lembaga
Minyak dan Gas meramalkan, konsumsi per kapita akan BBM pada
tahun 2.000 mencapai 4 barrel, atau 2,5 juta bawel setiap hari.
Kalau produksi ladang-ladang minyak Indonesia masih pada tingkat
1,6 juta barrel/hari, seperti sekarang, minyak tentu saja tidak
akan mampu melayani permintaan akan energi.
Maka kini pemerintah pun mulai melirik pada pilihan sumber
energi nonminyak, untuk mengurangi tekanan kebutuhan BBM yang
meningkat. Gas alam, batubara, panas bumi, nuklir dan air yang
lama terabaikan, mulai diperhatikan. Gas alam dan batu bara
tersedia melimpah. Potensi panas bumi (geothermal) Indonesia,
sebagian besar terletak di Jawa, sekitar 1.575 MW-baru akan
dimanfaatkan tahun 1992 kelak. Air yang potensinya 31.000 MW
baru dimanfaatkan $.8000 MW saja.
Sumber energi lain mana yang mendapat prioritas pemerintah untuk
dikembangkan?
Yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah gas dan batu bara.
Konsumsi gas, setelah industri petrokimia berkembang baik,
melampaui perkiraan semula. Yang paling murah untuk
mendapatkan energi adalah dari nuklir. Tapi sejak location
sampai beroperasi dibutuhkan waktu 15 tahun, diperlukan dana
US$1 milyar untuk memperoleh energi 600 MW. Energi dari air
juga termasuk murah, tapi untuk mendirikan Pembangrkit Listrik
Tenaga Air dibutuhkan investasi yang mahal. Yang jelas setelah
sumber energi non-minyak dikembangkan, mudah-mudahan peranan
minyak sebagat sumber energi pada akhir Pelita III tinggal
77-78% saja.
Banyak orang di Indonesia, nampaknya tidak terlalu risau dengan
krisis energi yang melanda banyak negara industri. Djoko
Djatmiko, misalnya, anggota Komisi VI (Perindustrian,
Pertambangan dan Penanaman Modal) dari Fraksi Karya Pembangunan,
mengatakan: "Terlampau pagi sebenarnya kalau kita bicara soal
penghematan energi."
Terlalu pagi memang untuk kebanyakan rakyat Indonesia. Tapi
mungkin sudah cukup siang untuk lapisan paling atas dalam
kebutuhan hidup. Dengan kata lain ini juga suatu masalah
pemerataan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini