Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Antara Pengusaha Jalur Cepat dan Lambat

Pengusaha pribumi diisukan dalam kondisi gersang. bank pemerintah dan bumn akan membantu kelompok 17, pengusaha pribumi, dalam tambahan modal kerja.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isu kegersangan yang menggerogoti pengusaha pribumi kini terangkat lagi. Benarkah dana trilyunan dari bank pemerintah tersalur ke nonpri? Dan apa yang disebut Kelompok 17? PERTEMUAN pengurus Perbanas dengan Wakil Presiden Sudharmono, Sabtu pekan silam, telah menggugah perhatian masyarakat pengusaha di Jakarta. Pertemuan itu sebenarnya hanya kunjungan kerja biasa, yang lazim dilakukan oleh pengurus baru sebuah organisasi besar di negeri ini. Tapi, dalam kesempatan itu Sudharmono berpesan, agar masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam perbankan dihindari sejak dini. Diingatkan pula oleh Wakil Presiden, sebaiknya perbankan swasta meningkatkan kerja sama mereka dengan Bank Perkreditan Rakyat, untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi. Mengapa kepada para bankir, orang kedua di negeri ini merasa perlu membicarakan SARA? Bicara tentang perbankan, dewasa ini ada 110 bank swasta anggota Perbanas, yang sebagian besar dimotori -- melalui penyerta saham mayoritas atau dalam bentuk susunan manajemennya -- oleh kelompok keturunan Cina. Kenyataan ini, menurut sejumlah pengamat ekonomi dalam negeri, menyebabkan akses kredlt lebih terbuka bagi pengusaha Cina daripada pengusaha pribumi. Pernyataan Sudharmono itu pun lalu dikaitkan dengan kondisi gersang yang kini menimpa pengusaha pribumi. Pada saat yang bersamaan, rata-rata pengusaha nonpri bagaikan hidup dalam kehijauan, sehat segar, tak kurang suatu apa. Pendeknya, kelompok pribumi tidak memperoleh peluang yang sama dengan nonpri. Kenyataan yang bagaikan langit dan bumi itu diungkapkan secara terus terang oleh Rachmat Saleh (bekas Gubernur BI dan Menteri Perdagangan RI), di hadapan para bankir peserta Kongres XI Perbanas di Hotel Horison, Jakarta, awal Juni lalu. Ia mengatakan (sesuai dengan rekaman Perbanas), perkembangan ekonomi telah menyebabkan perbankan memiliki kedudukan strategis, tidak hanya berfungsi sebagai pelayan masyarakat, tapi juga sebagai pengatur jalannya perkembangan ekonomi. "Oleh karena itu, perbankan harus terus-menerus menjaga ketertiban, tidak saja secara finansial, tapi nonfinansial harus memantapkan kedudukannya secara sosial politis," kata tokoh yang suka bicara blak-blakan itu. Menurut Rachmat Saleh, pemilik bank harus mendekatkan usahanya kepada lingkungan sekitarnya. Selain itu, senantiasa mempercayakan pimpinan usahanya kepada tenaga-tenaga profesional, baik pribumi maupun nonpri. Ini perlu karena perusahaan-perusahaan besar umumnya memilih keluarganya untuk menempati jabatan pimpinan. Dan juga, perlu adanya konsistensi sedemikian rupa sehingga banyak tenaga pribumi yang ditarik dan benar-benar dilibatkan dalam usaha bank. Kepada peserta Kongres Perbanas, yang banyak di antaranya keturunan Cina, Rachmat Saleh bicara spontan. "Kalau saya menggunakan istilah pribumi dan nonpri, janganlah Saudara merasa tersinggung," ujarnya lantang. "Saya menganggap Saudara sebagai orang terpelajar yang berwawasan luas sehingga dapat menerima hal itu sebagai masalah yang perlu kita nilai secara obyektif. Istilah itu adalah suatu realita yang harus kita hadapi, bukan untuk kita hindari," katanya pula dengan tegas. Selang beberapa waktu kemudian, sejumlah pengusaha pribumi yang menonjol, kabarnya, telah bergabung dalam suatu forum yang disebut-sebut sebagai Kelompok 17. Mereka antara lain terdiri dari Fadel Muhammad (kelompok Bukaka), Aburizal Bakrie (Bakrie Group), Iman Taufik (Gunanusa), Pontjo Soetowo (Nugra Santana Group), dan Hosein Soeropranoto (Direktur Rajawali Nusantara Indonesia) -- yang disebut terakhir berkedudukan sebagai koordinator, ketika Kelompok 17 menemui pejabat pemerintah (dari Departemen Keuangan). Kelompok 17 itu, dalam pertemuan dengan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, Menteri Muda Keuangan Nasrudin Sumintapura, dan Dirjen Moneter Oskar Surjaatmadja, dijanjikan akan dibantu. Sebuah sumber yang tak mau disebut namanya menambahkan, bantuan itu berupa tambahan modal kerja yang diperoleh baik dari BUMN maupun bank pemerintah. BUMN yang sudah ditunjuk untuk membantu Kelompok 17 di antaranya adalah Taspen dan Astek. Tapi sebegitu jauh, belum ada gambaran kongkret tentang bagaimana bantuan tersebut akan diberikan. Bantuan semacam itu diperlukan karena seperti diungkapkan sumber TEMPO tersebut, "Kami ini berjalan di jalur lambat, sementara mereka yang nonpri berada di jalur cepat." Soalnya, para pengusaha nonpri -- biarpun ada pengetatan likuiditas -- tetap memiliki akses yang mulus ke luar negeri. Mereka bisa memperoleh offshore borrowing. Menurut sumber yang sama, hanya beberapa pengusaha pribumi yang mampu seperti Ical (Aburizal) Bakrie. "Yang lain tetap saja kesulitan. Oleh karena itu, kami hanya minta diberi kelonggaran dalam mendapatkan pendanaan dan tampaknya Pemerintah pun sudah setuju." Faktor pendanaan (untuk mendukung strategi bisnis) tetaplah merupakan faktor penting agar bisa mengejar ketinggalan dan mengurangi kesenjangan. Syarat yang lain berupa kemampuan dan kesempatan, yang menurut pengakuan banyak pengusaha pri, mereka tidaklah ketinggalan. Jadi, kendala satu-satunya adalah dana. Kenyataan menunjukkan -- seperti apa yang diungkapkan oleh seorang bankir dari sebuah bank devisa swasta -- 80% dari kredit untuk swasta (diperkirakan mencapai Rp 90 trilyun) dikucurkan oleh bank-bank pemerintah, yang menyalurkannya ke pengusaha nonpri (seperti kelompok usaha Liem Soei Liong dan kelompok Astra). "Kami bank-bank swasta hanya menyalurkan 20% dari kredit nasional. Memang benar, sebagian besar kredit disalurkan ke nonpri. Tapi, yang banyak memberikan ke konglomerat-konglomerat itu bank-bank pemerintah karena dana kami tak akan cukup untuk membiayai proyek-proyek milik Liem Sioe Liong atau Prajogo Pangestu," kata bankir yang menolak disebutkan namanya itu. Menurut penilaian bankir itu juga, sejauh yang menyangkut Kelompok 17, persoalannya bukan pribumi dan nonpri. "Tapi lebih banyak karena rasa iri. Mereka memperoleh lebih sedikit dibandingkan yang didapat konglomerat tersebut," tuturnya. Berdasarkan alasan itu, banyak yang berpendapat, situasi seperti ini tak perlu dipertajam. Apalagi, para nonpri itu juga warga negara Indonesia, yang memiliki hak yang sama. "Saya jadi sedih dilahirkan sebagai Cina," kata Wakil Ketua Prasetiya Mulya Sofyan Wanandi, pada acara pemberian saham PT Tubantia Kudus Spinning Mills kepada tiga koperasi, Juni lalu. "Percayalah, di lubuk hati kami, ada rasa tanggung jawab besar terhadap masalah pemerataan dan kesempatan berusaha." Bos Gemala Group ini mengingatkan kalau masalah pro dan nonpri diperuncing, kelak bisa menyulut pertentangan etnis. Suara senada terpancar dari pernyataan Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani di depan Komisi I DPR RI, akhir Juni lalu. Katanya, "Masyarakat jangan menyalahkan pemerintah atau menangisi nasib jika kelompok nonpri sedang naik daun dalam dunia bisnis." Menurut L.B. Moerdani, masalah nonpri tidak perlu dibesar-besarkan karena mereka juga merupakan aset nasional yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa dan negara. Jika sekarang ini semua kelompok jadi waswas, persoalannya barangkali memang tidak sesederhana itu. Keterangan tentang adanya Kelompok 17 dan bantuan yang mereka harapkan secara tuntas dibantah oleh tokoh-tokoh yang disebutkan aktif di dalamnya. Ketua Biro Koperasi, Departemen Tenaga Kerja, dan Wiraswasta Golkar merangkap Ketua Departemen Teknologi Kadin Iman Taufik (bos Gunanusa) membantah keras. "Saya tidak tahu apa Kelompok 17 itu, siapa orangnya dan apa maunya," kata Taufik. Yang ia ketahui, pengusaha pribumi tidak minta perlindungan dan kemudahan. Katanya kepada TEMPO, "Nggak ada tuh dalam kamus kita begitu. Kalau mau usaha, yang fait saja." Akan halnya Hosein Soeropranoto, "sang koordinator", ia menolak diwawancarai. Bagaimana kejadian sebenarnya barangkali tak satu pihak dapat merinci dengan tepat. Namun, masih segar dalam ingatan kita Rakernas I Hippi, akhir Mei silam, yang antara lain hendak mengganti nama Himpunan Pengusaha Putera Indonesia (Hippi) kembali ke nama semula didirikan (17 Agustus 1976), yakni Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia. Rapat kerja tingkat nasional Hippi itu juga menyimpulkan bahwa kini benar-benar diperlukan suatu sistem yang menjamin agar pengusaha pribumi sebagai aset nasional bisa menonjol. Tentang penggantian nama itu, Menteri Dalam Negeri Rudini, yang hadir dalam acara itu, antara lain mengatakan, "Apa pun istilahnya, yang terpenting bagi saya adalah, kelompok pribumi harus turut maju." Pejabat lain yang juga hadir di situ dan memberikan pernyataan tegas adalah Dirjen Industri Kecil Trisura Suhardi. Seperti dikutip oleh harian Kompas, Suhardi antara lain menyayangkan, sampai sekarang tidak ada satu pun instansi atau departemen yang sudah membentuk tatanan sebagai penjamin kelangsungan hidup usaha pribumi. "Negara tetangga kita saja memiliki undang-undang khusus yang mendukung dan melindungi penduduk pribumi," katanya. Ia tidak menyebutkan NEP (New Economic Policy) pemerintah Malaysia, yang membuka peluang bagi pengusaha bumiputra agar memiliki andil paling tidak 30% dari kegiatan ekonomi bangsa (lihat Sesudah 20 Tahun). Tak terlalu istimewa bila akhir Juni lalu, 20 pengusaha pribumi bertandang ke Malaysia dan diterima pula oleh Menteri Keuangan Datuk Sri Anwar Ibrahim. Menurut sumber TEMPO yang dekat dengan mereka, para pengusaha Indonesia tersebut melakukan semacam studi perbandingan dengan Malaysia, dalam soal peningkatan usaha pribumi. Mengenai peristiwa yang sama, mingguan Warta Ekonomi menyebutkan bahwa pengusaha Indonesia itu bersama-sama rekannya dari Malaysia telah membentuk Indonesia-Malaysia Business Council (IMBC). Peristiwa itu terjadi 21 Juni 1991 di Kuala Lumpur. Menteri Anwar Ibrahim sendiri yang memimpin pertemuan dan memberikan pengarahan. Tapi situasi di kedua negara tentu berbeda. Sejarah pertumbuhan kapitalisme di sini diwarnai oleh persaingan yang tidak sepenuhnya mengikuti hukum pasar. Para pengusaha keturunan Cina, sejak zaman raja-raja Jawa sampai ke masa kolonial Belanda, selalu memperoleh kemudahan (fasilitas) yang membuat mereka tumbuh besar. Bahkan, pada masa Orde Baru, ada client capitalism, dengan contoh kongkret seperti William Soeryadjaya (Astra) dan Liem Sioe Liong. Di pihak lain, Pemerintah juga tak luput memberi perlindungan bagi pengusaha pribumi. Pada 1950-an, ada proyek Benteng, selanjutnya pada tahun 1980-an ada Keppres 14/1979, yang menggariskan bahwa untuk proyek sampai Rp 10 juta diutamakan pengusaha lemah (mengacu pada pribumi). Lalu ada Pakjan 1990, yang mengharuskan bank-bank memberikan 20% kreditnya ke pengusaha kecil. Sekarang, ketika pasar uang dalam negeri ketat, semua jadi pusing hingga kesempatan memperoleh kredit akhirnya bersinggungan dengan masalah pri dan nonpri. Maka, Ekonom Kwik Kian Gie menegaskan, "Cara mengatasinya jangan melihat pribumi dan nonpri, tapi cari intinya yang bisa memecahkan kesenjangan ekonomi." Ini disepakati oleh Ketua Dewan Pembina DPP Hippi Probosutedjo. Ketika ditemui wartawan TEMPO Rudy Novrianto di London, Probosutedjo mengatakan, masalahnya bukan pribumi atau nonpri. Tapi, perbedaan yang jauh antara konglomerat dan pengusaha kecil, baik dalam cara hidup, budaya, maupun pergaulan. "Perbedaan ketiga faktor itulah yang menyebabkan kesenjangan sosial," katanya. Mohamad Cholid, Max Wangkar, Moebanoe Moera, dan Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus