Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sesudah 20 tahun nep

Malaysia melaksanakan new economic policy (nep) dengan sasaran 30% penguasaan ekonomi ditangan pribumi.untuk pemerataan di bidang ekonomi.new de- velopment policy, agar pribumi mampu berkompetisi.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PEMERATAAN di bidang ekonomi harus diwujudkan, sebagai komitmen dunia usaha terhadap kebersamaan nasional," demikianlah inti imbauan Ketua Umum DPP Golkar Wahono, ketika menbuka Seminar Bidang Ekonomi DPP Golkar, Ahad malam berselang, di Bandung. Saran Wahono ini tentu penting apalagi menyinggung pemerataan sebagai isu sentral dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, sejauh ini, pemerataan lebih muncul sebagai isu politik daripada isu ekonomi. Pelimpahan saham konglomerat ke koperasi, misalnya -- sebagai upaya ke arah pemerataan -- ternyata tidak begitu lancar. Padahal, komitmen politik untuk itu tak perlu diragukan. Komitmen itu secara eksplisit digemakan oleh pemimpin nasional kendati memang belum memperoleh keabsahan dalam bentuk undang-undang. Dalam hal itu harus diakui, Malaysia melangkah lebih maju dari lndonesia. Pada 19?0, Malaysia mulai melaksanakan New Economic Policy (NEP), yang sasaran utamanya 30% penguasaan ekonomi harus berada di tangan bumiputra (pribumi). Kini, sesudah 20 tahun, Malaysia meninjau kembali NEP. Hasilnya? Menurut statistik resmi -- sebagaimana dikutip Asian Financc -- bumiputra baru menguasai 20% usaha swasta. Tapi, ada pihak-pihak yang memperkirakan, angka itu sudah mencapai 25% atau bahkan 31%. Seperti yang bisa dikaji dari sejarah, NEP merupakan jawaban pemerintah Malaysia terhadap konflik rasial di Tanah Semenanjung, yang memuncak dalam kerusuhan anti-Cina pada 1969. Menyadari nasib anak Melayu yang dipertaruhkan saat itu (di Malaysia, dewasa ini Melayu meliputi 59% dari total penduduk yang 17,5 juta jiwa, Cina 32%, dan India 9%), komitmen politik dalam NEP terbukti bukanlah satu hal yang sia-sia. Selama 20 tahun sejak NEP dicanangkan, bumiputra memperoleh peluang lebih besar untuk memasuki lapangan kerja. Selain itu, bumiputra diprioritaskan untuk berbagai peluang bisnis di segala sektor. Juga bukan rahasia jika keturunan Cina merasa diperlakukan tidak adil, sesuatu yang juga dinyatakan oleh kelompok itu secara vokal. Agaknya, mereka lupa bahwa di mana pun, pembangunan ekonomi tidak pernah berlangsung tanpa cacat. Tapi, bila dilihat secara umum, NEP yang dijalankan dengan konsekuen telah mendatangkan sukses. Porsi untuk bumiputra jelas membesar. Rasio pemilikan modal antara bumiputra, non-bumiputra, dan asing berubah dari 2,4 : 34,5 : 63,3 (1970) menjadi 20 untuk bumiputra, sedangkan porsi asing menciut ke 30 (1990). Angka-angka di lapangan juga cukup meyakinkan. Laju pertumbuhan (GDP) dari tahun ke tahun terus meningkat: 5,2% (1987), 7,4% (1988), 7,6% (1989), dan 10% (1990). Boom ekonomi terlihat di kota serta di kampung-kampung. Tidak kurang penting adalah pendapat H. Osman-Rani, seorang ekonom dan profesor pada Universiti Kebangsaan Malaysia (dimuat dalam Southeast Asian Affairs 1991), yang menegaskan bahwa porsi ekonomi non-bumiputra tidak pernah berkurang, biarpun porsi Melayu meningkat. Yang menciut adalah porsi para investor asing. Kalau pendapat ini benar, dari ketiga pelaku ekonomi di Tanah Semenanjung, tak ada satu pun yang dirugikan. Kini Malaysia tampaknya tidak lagi perlu mempersoalkan pembagian kue ekonomi, biarpun empat tahun silam ada selentingan bahwa porsi Melayu sebaiknya ditingkatkan menjadi 50%. Belum lama ini, PM Mahathir justru menegur kaum bumiputra. "NDP (New Development Policy) bukanlah formula untuk bisa cepat kaya. Dan bumiputra harus belajar untuk mampu berkompetisi," ujarnya tajam, seperti yang dikutip majalah Time (edisi 8 Juli 1991). Mahathir memang selalu menggantungkan impian setinggi bintang bagi bangsa Melayu, tapi ia tak segan-segan memarahi mereka. Dahulu ia berharap, Malaysia akan menjadi negara kedua termakmur di Asia, sesudah Jepang, dan negaranya akan segera masuk dalam kelompok NIC (new industrialized countries). Ketika dua sasaran itu tidak tercapai -- yang lebih dahulu terkategori sebagai NIC ternyata Muangthai -- Mahathir tanpa jera menetapkan sasaran baru yang lebih ambisius. Dalam NDP yang menggantikan NEP, Mahathir menggariskan bahwa pada tahun 2020, Malaysia sudah harus terangkat kelasnya sebagai negara maju. Mungkin sudah terbiasa dengan impian besar, warga Malaysia tak lagi takjub. Sebaliknya, mereka menerima konsep NDP dengan lapang, mungkin karena tekanan pada pemerataan dan porsi Melayu dialihkan ke kemakmuran. Lagi pula, sudah digariskan, bila target 30%, penguasaan ekonomi oleh Melayu sudah tercapai, kontrol atas pembagian kue akan dikendurkan. Lalu, agar laju pertumbuhan tetap tinggi, Malaysia akan bersikap longgar terhadap penanaman modal asing. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Mahathir, yang sering dituduh kaku, kalau perlu ternyata juga bisa luwes. Setelah penguasaan ekonomi oleh bumiputra mencatat kemajuan (kini 20%), ia tidak Iagi terpaku pada urusan pemerataan. Ketika ia yakin bahwa kebijaksanaan ekonomi yang baru, menuntut kualitas kepemimpinan yang lebih bermutu, tanpa ragu ia mencopot seorang profesional seperti Daim Zainuddin dari jabatan menteri keuangan, lalu menggantinya dengan Anwar Ibrahim, tokoh karismatis yang sama sekali tidak berpengalaman dalam bisnis. Akhirulkata, dari Malaysia barangkali ada dua hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran tentang pemerataan. Pertama. ketekunan pemerintah untuk membela pribumi. Kedua, kedewasaan pemerintah untuk tidak terus-menerus membela pribumi. Dalam kedua hal itu, mungkin kita masih sering kagok. Entah di mana penyebab dan kendalanya, tetapi sering terjadi, apabila kita mesti membela, yang terjadi justru sebaliknya. Dan pada saat kita harus tidak membela, malah ada saja yang kebagian ini itu, entah kredit lunak, entah proteksi, macam-macam. Anehnya pula, mereka yang beruntung itu umumnya adalah pihak-pihak yang sudah terlalu kuat untuk dibela. Singkat kata, kita sering kagok, dan tiap kali salah alamat. Isma Savitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus