Bank-bank devisa kini bagai rusa dahaga, yang mudah dijerat bank luar negeri. Mengapa perlu pedoman BI? RAPAT Kerja DPR Komisi VII dengan Gubernur Bank Indonesia Adrianus Mooy, Kamis pekan lalu, terasa agak panas. Ketika seorang anggota DPR menanyakan masalah neraca pembayaran (balance of payment), Gubernur Mooy dengan nada agak keras menuding perusahaan-perusahaan yang belakangan ini terkesan sangat rakus menyedot pinjaman luar negeri (offshore loans). "Kalau mereka tidak bisa mengatur sendiri, sudahlah. Biar kami keluarkan pedoman. Kalau tidak, BI terpaksa bertindak sebagai pengumpul informasi," kata Mooy dengan nada tinggi. Ia tampaknya tak senang melihat tingkah laku bank-bank devisa dan perusahaan-perusahaan besar (seperti Astra International) yang kini berlomba-lomba menarik pinjaman dari luar negeri. Akibatnya, mereka dijerat kreditur dari luar negeri dengan bunga tinggi. Buktinya, suku bunga pinjaman sudah berkisar 9%-9,45% per tahun yang berarti 2,5%-3% di atas LIBOR (suku bunga pinjaman antarbank London) yang kini 6,5% per tahun. Hal ini antara lain dikenakan pada Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Niaga, dan Bank Ekspor Impor Indonesia, yang masing-masing telah menarik pinjaman US$ 38 juta, US$ 60 juta, dan US$ 80 juta. Jangka waktu pinjaman rata-rata berkisar tiga tahun. Kondisi ini rupanya mengejutkan Gubernur BI. Ketika dua bulan lalu menghadiri sidang Bank Pembangunan Asia di Kanada, ia juga berniat mencari pinjaman US$ 400 juta dari bank-bank komersial. Syarat yang diminta sekarang, ternyata, berbeda dibandingkan tahun 1989. Dua tahun silam, persyaratan jauh lebih lunak. Untuk bunga, selama empat tahun pertama ditentukan 0,5% di atas LIBOR ditambah fee untuk para underwriter ( lembaga-lembaga yang menjualkan surat utang itu) 0,25%. Sedangkan untuk empat tahun terakhir, bunganya 0,675% di atas LIBOR ditambah fee 0,3125%. Bahkan, pada bulan November tahun 1988, ketika Bank Bumi Daya pertama kali muncul di pasar uang internasional, ternyata, utang BBD senilai US$ 50 juta itu hanya dikenai bunga 6,5% (LIBOR: 6,8%). Kalau bank-bank devisa di sini berebut mencari dana luar negeri, tak lain karena dampak samping paket deregulasi Oktober 1988 dan Maret 1989, terakhir mencabut plafon pinjaman luar negeri bank-bank devisa. Lalu mereka "menjual" pinjaman tersebut dalam bentuk kredit dengan bunga 26%. Setidaknya mereka bisa meminjamkannya kepada bank-bank non-devisa kecil, yang belakangan megap-megap terkena gebrakan Sumarlin. Lagi pula, biaya untuk mendapat pinjaman dari luar negeri relatif jauh lebih murah daripada mengerahkan deposito. Hanya 9%. Lebih untung karena Pemerintah tidak melakukan devaluasi sehingga mereka tak perlu men-swap dolar pinjamannya ke BI. Paling-paling hanya menanggung risiko kemerosotan kurs rupiah terhadap dolar (tahun 1990 hanya sekitar 4%). Praktis, biaya dana tersebut hanya sekitar 13%. Tapi langkah mereka telah menimbulkan kesan buruk di luar negeri, sekaligus menciptakan momok bagi perekonomian Indonesia. Dalam tinjauan ekonomi Indonesia yang diterbitkan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) edisi 6 Mei 1991, dikatakan bahwa utang luar negeri Indonesia pada akhir tahun anggaran 1990/1991 menggelembung sampai US$ 66 milyar, naik US$ 8 milyar dibandingkan tahun anggaran sebelumnya yang tercatat US$ 58 milyar. "Kenaikan ini terjadi karena pinjaman swasta yang naik 46% hingga mencapai US$ 21 milyar," kata IMF. Semua pinjaman swasta itu jelas merupakan utang komersial yang berbunga mahal, dan relatif lebih singkat jatuh temponya. Dan pinjaman itu diputarkan saja dalam kredit rupiah. Ini terbukti dari cadangan devisa di BI yang justru meningkat tajam hingga mencapai US$ 11,5 milyar. Berarti, Bank Indonesia terpaksa membeli dolar-dolar tersebut dan mengeluarkan rupiah. Tak heran jika api inflasi menyala hingga mendekati 10%. Secara mikro, penilaian luar negeri terhadap bank-bank yang berebutan offshore loan juga memburuk. "Kekayaan devisa bersih bank-bank komersial amblas sangat tajam hingga mencapai titik paling rendah dalam sejarah," kata IMF. Itu berarti, kemampuan bank-bank devisa untuk membayar pinjaman luar negeri (likuiditas) semakin tipis. Gubernur BI kali ini rupanya condong mengambil tindakan preventif. Maka, sejak dini BI akan memberi jasa informasi bagi mereka yang ingin mencari pinjaman luar negeri. Dengan demikian, mereka tahu berapa tingkat bunga yang wajar, bagaimana situasi internasional. Dan yang penting, kata juru bicara BI Siswanto, "Jangan berebutan." Selain itu, ia menasihatkan agar pencari pinjaman itu berkonsultasi dahulu dengan BI. "Jangan sampai karena pinjaman itu, bank-bank kita mengalami mismatch," kata Siswanto. Gagasan ini disambut baik. "Pedoman itu perlu. Habis, selama ini kita sering diadu domba," ujar Vice President BII, Hidayat Thandradjaja. Tahun lalu BII telah meneken tiga kali offshore loan, berjumlah US$ 173 juta. "Yang kami cairkan baru US$ 120 juta. Pinjaman pertama berbunga 0,6% di atas LIBOR. Yang kedua sudah berbunga 0,75% di atas LIBOR. Hidayat mengakui bahwa offshore loan itu lebih murah dari dana masyarakat di dalam negeri. Deputi Presiden Bank Bali, W. Kidarsa, berpendapat bahwa pinjaman luar negeri hanya diperlukan sebagai pelengkap. Soalnya, di dalam negeri cukup tersedia sumber-sumber dana dolar. Nyatanya, pada akhir 1990, Bank Bali menghimpun dana pihak ketiga (deposito, giro, dan tabungan) Rp 1,9 trilyun. Dari jumlah itu, 37% berbentuk dolar. Lalu, Februari berselang Bank Bali mendapat offshore loan USS 100 juta. Dengan dana tersebut, Bank Bali mencoba menurunkan bunga deposito. Ia berharap akan diikuti bank-bank lain. "Ternyata, tidak terjadi," kata Kidarsa terus terang. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini