Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua langkah The Fed yang bisa mengguncang pasar global.
Kredibilitas anggaran dan rupiah merosot mendorong pembalikan modal.
Ada potensi berakhirnya masa emas lonjakan harga komoditas.
AKHIRNYA, Ketua The Federal Reserve (The Fed) Jay Powell berganti haluan. Di depan Senat Amerika Serikat, Selasa, 30 November lalu, ia menyampaikan bahwa melawan inflasi kini merupakan sasaran utama kebijakannya. Ini perubahan besar karena sebelumnya Powell selalu teguh berpegang pada pandangan bahwa inflasi hanyalah fenomena sementara yang tidak memerlukan penanganan segera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbaliknya pandangan Powell akan membawa konsekuensi besar bagi pasar finansial global. Jika upaya melawan inflasi sekarang menjadi prioritas, The Fed akan mengambil dua kebijakan yang dapat memicu perubahan penempatan dana investasi di seluruh dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah pertama The Fed adalah mempercepat pengurangan suntikan likuiditas ke pasar alias tapering. Pasar sudah cukup lama mengantisipasi percepatan tapering sehingga dampaknya sudah tecermin pada harga berbagai aset finansial ataupun perubahan alokasi investasi yang terjadi sejak pertengahan tahun ini.
Yang akan membawa dampak lebih besar adalah kebijakan kedua. The Fed bakal mempercepat kenaikan suku bunga. Kini analis di pasar sudah memperkirakan bahwa The Fed akan menaikkan bunga pada Maret 2022, jauh lebih cepat ketimbang perkiraan sebelumnya ketika Powell masih menganggap inflasi bukan persoalan permanen.
Mengetatnya likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar global yang langsung berlanjut dengan naiknya suku bunga akan membuat pasar bergejolak hebat, sebagaimana terjadi pada 2013. Pasar negara-negara berkembang, seperti Indonesia, akan menerima tekanan berat. Dana investasi yang selama ini nyaman tinggal di sini, karena memperoleh imbalan bunga besar, akan tertarik keluar. Otomatis kaburnya modal asing ini akan membuat kurs rupiah tertekan.
Fenomena itu sebetulnya sudah terasa. Kurs rupiah tak kunjung menguat meskipun Indonesia sedang menikmati surplus neraca transaksi berjalan yang besar karena harga komoditas ekspor melambung. Nilai rupiah bahkan mulai merosot melampaui 14.300 per dolar Amerika Serikat pada 3 Desember, Jumat pekan lalu.
Salah satu indikator yang dapat menggambarkan kredibilitas rupiah di mata pasar adalah jumlah dana asing yang tertanam di obligasi pemerintah RI. Makin mencorong reputasi fiskal pemerintah dan prospek rupiah, makin besar dana yang ditempatkan investor asing di sini. Jika rumus ini patokannya, kredibilitas rupiah makin pudar. Di awal 2021, dana asing yang tertanam di obligasi pemerintah RI masih sebesar Rp 987 triliun. Pelan tapi pasti, dana itu merembes keluar menjadi Rp 914 triliun per 2 Desember 2021.
Bukan hanya perubahan kebijakan The Fed, ada faktor lain yang juga membuat kepercayaan asing terhadap rupiah terus menurun. Defisit anggaran pemerintah yang amat besar membuat utang menggunung. Walhasil, monetisasi utang terus terjadi. Pemerintah, yang tak mampu mengerem kebutuhan belanja, terus bergantung pada Bank Indonesia untuk mendapat pinjaman. Terakhir, awal Desember ini, BI kembali membeli obligasi pemerintah RI secara langsung senilai Rp 58 triliun.
Pemerintah dan BI memandang mekanisme ini sebagai cara berbagi beban dalam mengatasi pandemi. Tapi, bagi pasar, istilah berbagi beban hanyalah eufemisme. Dalam bahasa terang, langkah ini hanya monetisasi utang yang makin menggerus nilai rupiah, sama dengan BI mencetak uang untuk mengongkosi anggaran pemerintah yang tekor. Kebijakan yang mengundang sentimen negatif di pasar ini pun masih akan berlanjut tahun depan. BI berencana membeli lagi obligasi pemerintah senilai Rp 224 triliun.
Selain tapering, kenaikan bunga The Fed, dan monetisasi utang pemerintah, masih ada faktor yang harus masuk perhitungan: kemungkinan turunnya harga komoditas. Sepanjang 2021, lonjakan harga komoditas ekspor yang luar biasa benar-benar mendukung nilai rupiah. Jika ekonomi global mendingin, inflasi mereda sebagaimana prioritas The Fed, kemungkinan besar harga komoditas bakal turun juga.
Memasuki 2022, yang datang dalam tempo tak sampai sebulan lagi, investor harus bersiap mengantisipasi. Rezeki ekstra yang sudah menahan nilai rupiah tidak ambrol setahun terakhir mungkin tak akan bertahan lama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo