Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana penerapan sistem kerja empat hari dalam seminggu di Daerah Khusus Jakarta mendapat perhatian dari kalangan pengusaha. Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Darwoto menilai kebijakan itu tidak bisa diterapkan secara seragam di semua industri. Sebelum diimplementasikan, pemerintah diminta untuk mengukur produktivitas tenaga kerja Indonesia yang masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain, seperti Vietnam dan Filipina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau kita bicara empat hari kerja, kita harus ukur dulu produktivitasnya. Produktivitas kita masih kalah dibanding negara-negara ASEAN lain. Secara ideal, sistem ini mungkin baik, tapi apakah bisa diimplementasikan di semua sektor? Belum tentu,” ujar Darwoto di Gedung Permata Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat, 31 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, penerapan kerja empat hari tidak bisa diterapkan di industri manufaktur yang sangat bergantung pada rantai pasok. Jika hanya satu bagian dari rantai produksi yang menerapkan sistem kerja empat hari, bisa terjadi gangguan pada keseluruhan proses produksi.
“Kalau sektor manufaktur hanya kerja empat hari, sementara supply chain lainnya tetap lima atau enam hari, bisa ada masalah. Ini bisa memutus mata rantai produksi,” kata Darwoto.
Selain itu, untuk sektor layanan publik, sistem kerja empat hari juga bisa menimbulkan tantangan baru. Dia menyebut kalau layanan publik hanya buka empat hari, berarti harus ada penyesuaian jam kerja hingga malam. Sistem itu, kata dia, harus tetap menjamin hak istirahat karyawan, terutama bagi yang bekerja dalam sistem shift.
Darwoto menegaskan dalam industri manufaktur yang bekerja dengan tiga shift, sistem ini akan sulit diterapkan. Jika jam kerja dipadatkan menjadi 10 jam per hari agar tetap memenuhi 40 jam kerja per minggu, maka akan terjadi perubahan drastis dalam pola kerja yang dapat mengurangi waktu istirahat pekerja.
Meskipun sistem kerja empat hari mungkin bisa diterapkan di sektor perkantoran, tantangan lain tetap ada. Darwoto menyoroti bahwa layanan terhadap konsumen juga harus diperhitungkan.
“Kalau kantor hanya buka empat hari, sementara pelanggan tetap beroperasi lima atau enam hari, bisa terjadi ketimpangan layanan. Perlu ada uji coba dulu sebelum kebijakan ini benar-benar diterapkan,” ujarnya.
Darwoto juga menilai meskipun di beberapa negara Eropa sistem ini sudah berjalan dengan baik, kondisi di Indonesia berbeda. Banyak pekerja sektor informal yang mengandalkan pendapatan harian dan tidak bisa bekerja hanya empat hari dalam seminggu.
“Di Eropa mungkin berhasil karena mereka sudah terbiasa. Tapi di Indonesia, banyak pekerja informal yang menggantungkan pendapatannya dari kerja harian. Jika kantor menerapkan sistem empat hari kerja, mereka akan mencari penghasilan tambahan di hari lainnya. Ini juga harus dipikirkan,” kata Darwoto.
Menurut Apindo, wacana kerja empat hari sebaiknya dikaji lebih dalam dan diuji coba terlebih dahulu agar tidak menimbulkan gangguan pada dunia usaha maupun kesejahteraan tenaga kerja.
Pilihan Editor: 30 Ribu UMKM Mendaftar Program Makan Bergizi Gratis, Pemerintah Siapkan Skema Pendanaan