Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan turunnya ekspor dan impor pada Juni lalu mesti diwaspadai. Surplus neraca perdagangan sebesar US$ 200 juta, kata dia, tidak menjadi kabar baik. "Data ini justru mengindikasikan bahwa ekonomi kita menyusut atau melambat," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Shinta, penurunan impor hampir 75 persen terjadi pada barang penopang kegiatan industri, seperti peralatan (barang modal), bahan mentah, dan bahan baku setengah jadi. Dia menilai melambatnya impor barang penopang produksi terjadi setelah permintaan atas produk industri yang diekspor melemah. Indonesia pun dia nilai belum mampu merebut peluang dari perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. "Industri dalam negeri belum menggantikan produk asal Cina yang dikenai tarif tinggi oleh Amerika," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menyebutkan impor nonmigas pada Juni lalu turun 20,55 persen atau menjadi US$ 9.870,8 juta jika dibandingkan dengan Mei. Penurunan impor terbesar terjadi pada golongan mesin/pesawat mekanik (18,79 persen), mesin dan peralatan listrik (22,74 persen), besi dan baja 28,72 persen, serta plastik dan barang dari plastik (18,45 persen). Sebaliknya, impor aluminium, perhiasan, dan kendaraan bermotor serta komponennya naik masing-masing 103,17 persen, 114,98 persen, dan 26,68 persen.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan ekspor dan impor terpengaruh oleh cuti panjang Ramadan-Idul Fitri. "Neraca perdagangan Januari-Juni 2019 masih defisit US$ 1,93 miliar," ujar dia.
BPS mencatat nilai impor pada Juni sebesar US$ 11,58 miliar dan ekspor US$ 11,78 miliar. Ekspor pada Juni turun 8,98 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Dibanding bulan lalu, ekspor turun 20,54 persen.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan turunnya ekspor tidak hanya disebabkan oleh faktor musiman, tapi juga ekonomi global yang kurang sehat. "Memang ekonomi dunia, perdagangan, sedang bermasalah," ujar Darmin.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menuturkan melorotnya nilai ekspor terjadi karena volume perdagangan dunia memang melemah akibat perang dagang. Meski begitu, ia mengklaim kebijakan pemerintah dalam mengendalikan impor sedikit berhasil sehingga neraca perdagangan bisa surplus US$ 200 juta. "Yang perlu dikhawatirkan adalah perang dagang AS-Cina karena terkait dengan merebut pengaruh political economy global. Pengaruhnya sudah terasa ke Indonesia," kata dia.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menuturkan neraca perdagangan Juni lalu menunjukkan kelanjutan surplus yang semu. Menurut dia, surplus tersebut tidak sehat karena impor dan ekspor sama-sama turun.
Bhima tak melihat perang dagang Amerika-Cina berpihak pada Indonesia. Dia pun melihat peluang impor minyak dan gas dalam jumlah besar. Masalah berikutnya yang harus diwaspadai ialah gejala perang dagang antara Jepang dan Korea Selatan, mitra utama ekonomi Indonesia. "Kalau dibiarkan terus, berikutnya kita akan alami lonjakan defisit yang besar. Secara keseluruhan, defisit neraca dagang diprediksi akan lebih lebar dibanding 2018," ujar Bhima.
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo