Keppress 39 Tahun 1991 mulai mengundang pro dan kontra. Secara resmi pinjaman luar negeri buat swasta tidak dibatasi, tapi penjatahannya sedang digodok pekan ini. DALAM waktu dekat, pembatasan pinjaman komersial luar negeri akan menjadi tantangan besar bagi dunia usaha serta perekonomian Indonesia. Sekarang, suku bunga pinjaman yang meroket telah menghambat bisnis real estate dan industri otomotif. Namun, tahun depan, diduga akan lebih banyak sektor bisnis yang tersumbat. Bankir Mochtar Riady, yang terkenal dengan visi yang tajam, melihat bahwa situasi ekonomi dan bisnis tahun 1992 akan lebih suram. Alasannya, pertama, kebijaksanaan uang ketat akan lebih ketat. Kedua, investasi swasta akan lebih terbatas pula. Ketiga, ekspor Indonesia harus bersaing terutama menghadapi barang-barang RRC. Mochtar Riady memang tidak langsung mengaitkan proyeksi suram itu dengan kuota pinjaman komersial luar negeri. Namun, bisa dipastikan, bank-bank devisa dan saudagar besar yang selama ini mempunyai akses ke luar negeri, mau tak mau, harus menahan diri. Peluang untuk mencari pinjaman luar negeri praktis sudah tipis. Suatu analisa dari OECD (organisasi 24 negara industri terkemuka) yang dikutip kantor berita AFP pekan lalu melaporkan bahwa pinjaman komersial yang sudah diteken Indonesia tahun 1991 telah mencapai US$ 4,9 milyar. Plafon pinjaman komersial untuk tahun anggaran berjalan yang ditetapkan Tim PKLN ( Pinjaman Komersial Luar Negeri) maksimal US$ 5,9 milyar. Sampai pekan lalu, Tim PKLN, yang dibentuk berdasar Keppres 39, tampak berusaha keras merumuskan bagaimana membagi kuota pinjaman untuk perusahaan-perusahaan swasta. Namun, sebelum pembagian ditetapkan, keputusan Tim PKLN yang menentukan plafon pinjaman komersial luar negeri telah memacu sikap pro dan kontra. Ada yang memihak teknokrat, tetapi tak kurang pula yang mempertanyakan mengapa pinjaman komersial swasta perlu dikendalikan juga. Dari begitu banyak proyek, yang sering disebut-sebut adalah Aromatic Arun milik Pertamina dan Olefin Cilegon milik Chandra Asri. Mengapa? Arun merupakan industri paling hulu, penyandang dananya siap sedia, pembangunannya sangat mendesak, dan menurut perkiraan Pertamina, selama tiga tahun pertama sudah bisa mencatat surplus enam juta dolar. Nah, proyek yang menguntungkan seperti ini mengapa harus ditunda? Adapun Olefin Cilegon tidak saja sudah diresmikan oleh Presiden Soeharto, tapi investasinya juga telanjur menumpuk. Mungkin karena itu, tiga hari sebelum Tim PKLN mengumumkan daftar 15 megaproyek yang boleh mencari offshore loan, orang dalam proyek ini konon mendengar kepastian bahwa olefin boleh jalan terus. Tentu saja mereka terhenyak ketika mengetahui olefin masuk kotak. Padahal, pembangunan proyek olefin Cilegon sudah dimulai Desember 1990. Bahkan, kalau dihitung sejak tahap pembebasan 120 ha tanah, umur proyek lebih dari tiga tahun. "Tim PKLN kan baru dibentuk awal September 1991. Apakah tugas mereka juga berlaku surut?" demikian sumber TEMPO dalam nada melabrak. Pembangunan proyek, kata sumber tadi, bahkan secara fisik sudah berlangsung tujuh bulan. Hasilnya, konstruksi yang direncanakan sekitar 9.000 m2, kini sudah selesai 3.000 m2 (30%). Pipa-pipa yang dipasang di bawah tanah sudah rapi 50%. Dalam hal pasokan dana, mulai dari pembebasan tanah hingga pembangunan fisik, sudah dihabiskan US$ 130 juta. Praktis proyek ini sudah menyedot dana US$ 680 juta atau sekitar Rp 1,3 trilyun, sementara biaya totalnya diperkirakan US$ 1.800 milyar. Kendati dana yang diperlukan memang raksasa, ada sindikasi bank Jepang -- dipimpin Marubeni Corp -yang siap mengucurkan US$ 1.120 milyar. Perusahaan ini sudah pula memberikan bridging loan US$ 400 juta. Sumber TEMPO yang banyak mengenal seluk-beluk olefin itu menambahkan bahwa pinjaman komersial yang diperoleh bersifat jangka panjang. "Pinjaman dari sindikat Marubeni berjangka 10,5 tahun. Kewajiban membayar cicilan baru dimulai bila proyek sudah mulai berproduksi, yakni dihitung 3,5 tahun sejak diteken. Jadi, tidak hari ini teken, lalu besoknya sudah harus mencicil," tangkisnya seakan ingin membantah pernyataan pihak teknokrat. Ia mengakui, proyek olefin merupakan industri substitusi impor yang butuh modal dolar sedangkan pendapatannya rupiah. Dari mana devisa untuk membayar utang Marubeni? "Lha, cicilannya setahun hanya sekitar US$ 250 juta. Dewasa ini impor olefin kita setiap tahun sekitar US$ 1.200 juta," kata pengusaha itu. Namun, diakuinya, proyek olefin yang dipimpin Prajogo Pangestu itu barangkali menghadapi masalah politis. Soalnya, pantaskah pabrik raksasa senilai Rp 3,5 trilyun ditegakkan, sementara banyak pengusaha menengah-kecil tak sanggup membayar kredit pada bank? Belum lama ini PT Askrindo (Asuransi Kredit Indonesia) -sebuah BUMN yang biasa menjamin pinjaman-pinjaman pengusaha kecil -mengungkapkan bahwa ada lebih dari 50 bank yang mengajukan klaim. Soalnya, banyak kredit macet. Angka klaim pada PT Askrindo -seperti dilaporkan Bankers Trust Securites Research edisi 25 Oktober 1991 -pada tahun 1990 baru sekitar Rp 71,4 milyar. Tahun ini, pada semester pertama saja, klaim telah mencapai Rp 109 milyar. Kondisi ekonomi secara keseluruhan, tampaknya mengharuskan semua pihak berhati-hati. Meskipun terkena penjadwalan, ada BUMN (Telkom dan Indosat) yang ingin meneruskan proyeknya. Bukan tidak mungkin, swasta juga tergoda untuk jalan terus. Dalam situasi begini, selain harus menjaga keseimbangan antara proyek pemerintah dan swasta, Tim PKLN tampaknya juga diharapkan bisa adil menjatah pinjaman luar negeri bagi swasta, yang tahun ini cuma tersisa US$ 3 milyar. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini